SURABAYA, KOMPAS - Perkotaan diharapkan meningkatkan pengelolaan sampah warganya agar volume sampah terus berkurang. Penumpukan sampah bisa menjadi salah satu pemicu pemanasan global yang bisa berdampak pada perubahan iklim.
Itu mengemuka saat pelatihan Energi Kota dan Tindakan Iklim pada Kongres United Cities Local Goverment (UCLG) Asia Pacific ke-7, Rabu (12/9/2018) di Surabaya, Jawa Timur. Acara yang diikuti sekitar 800 perwakilan pemerintah daerah/kota, akademisi, dan organisasi nonpemerintah itu bertema Pembangunan Berbasis Inovasi Menuju Kota Berkelanjutan.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, volume sampah di Surabaya yang dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) Benowo berkurang empat tahun terakhir. Padahal, jumlah populasi di kota seluas 350 kilometer persegi tersebut selalu bertambah tiap tahun. “Meskipun jumlah penduduk bertambah setiap tahun, volume sampah selalu menurun,” ujarnya.
Volume sampah yang dibuang ke TPA Benowo pada 2014 sebanyak 1.441,62 ton. Volumenya terus berkurang menjadi 1.439,43 ton pada 2015, lalu 1.433 ton (2016), dan 1.417,6 ton (2017). Adapun jumlah penduduk selalu bertambah, yakni tiga juta jiwa pada 2014 dan naik menjadi 3,21 juta jiwa pada 2015. Lalu, kembali bertambah menjadi 3,30 juta jiwa (2016) dan 3,34 juta jiwa (2017).
Kota-kota besar menghadapi tantangan pembangunan di tengah perubahan iklim.
Gas metana (CH4) dari tumpukan sampah basah di TPA perlu dikurangi, karena turut membentuk gas rumah kaca. Sampah terbuka itu mengakibatkan timbunan sampah organik terdekomposisi secara anaerobik dan menghasilkan gas metana.
Gas metana berkekuatan merusak lapisan ozon hingga 20 kali lebih besar daripada karbon dioksida (CO2). Adapun sekitar satu ton sampah padat biasanya menghasilkan 50 kg gas metana.
Oleh sebab itu, Pemkot Surabaya, lanjut Risma, meningkatkan pengelolaan sampah dengan konsep 3R (Reuse, Reduce, dan Recycle) berbasis masyarakat. Sampah warga mulai dikelola dengan menggandeng keluarga, sekolah, pondok pesantren, kampus, dan perkantoran. Sampah-sampah dipilah dan dipilih agar bisa dimanfaatkan menjadi barang bernilai. Dengan demikian, volume sampah yang dibuang semakin berkurang.
Di Surabaya, sampah bisa dijual di Bank Sampah yang ada di hampir semua kecamatan. Sampah juga digunakan alat pembayaran Bus Suroboyo. Warga juga dilatih mengolah sampah menjadi pot tanaman, alas jogging track, dan kostum fashion show. “Ada pula 28 rumah kompos yang menyuplai pupuk untuk 420 taman di Surabaya. Jika menggunakan pupuk kimia bisa merusak tanah,” ujarnya.
Sumber energi
Risma mengatakan, Surabaya juga memanfaatkan sampah sebagai sumber energi. Sampah di sejumlah tempat pembuangan sementara diolah menjadi sumber listrik untuk menerangi taman. Di TPA Benowo, sampah diolah jadi energi listrik melalui pembangkit listrik tenaga sampah yang menghasilkan listrik 2 megawatt.
Di sisi lain, Pemkot Surabaya juga melakukan sejumlah penghematan energi dan mencari sumber energi baru terbarukan. Selain pemanfaatan sampah untuk sumber listrik, Pemkot Surabaya memanfaatkan cahaya matahari sebagai sumber listrik di gedung pemerintahan dan lampu lalu lintas.
Setelah menggunakan listrik energi surya, tagihan lampu lalu lintas turun dari Rp 2 juta per bulan jadi Rp 95.000 per bulan. "Ini jadi komitmen Surabaya menghadapi perubahan iklim, karena letak Surabaya hanya lima meter di atas permukaan air laut,” ucap Risma.
Manager International Urban Cooperation Asia, organisasi bidang perubahan iklim, Pablo Gandana mengatakan, kota-kota besar menghadapi tantangan pembangunan di tengah perubahan iklim. Ada 28 negara berkomitmen menjalankan program ramah lingkungan. “Targetnya konsumsi energi turun hingga 27 persen pada 2030,” katanya.
Sekretaris Jenderal UCLG ASPAC Bernadia Irawati Tjandradewi berharap, kota-kota yang mengikuti kongres dua tahunan ini bisa saling berbagi ilmu dalam mewujudkan kota berkelanjutan. Kebijakan yang dinilai berhasil menjawab tantangan perubahan iklim akan lebih dirasakan baik, jika semakin banyak kota di dunia yang menerapkannya.