JAKARTA, KOMPAS - Komisi Yudisial menerima keluhan dari sejumlah hakim di daerah, yang merasa terbebani dengan adanya iuran untuk membiayai kejuaraan nasional tenis beregu memperebutkan Piala Ketua Mahkamah Agung. Kejuaraan tiga tahunan tersebut, tahun ini digelar di Provinsi Bali, pada 10-15 September 2018.
Iuran itu bukan satu-satunya yang membebani hakim di daerah. Hakim di daerah juga harus mencari uang, antara lain dari iuran pegawai, untuk menyelenggarakan turnamen tenis guna merayakan purnabakti seorang ketua pengadilan tinggi, atau untuk menerima kunjungan pimpinan MA ke daerahnya.
Juru bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi, saat dihubungi dari Jakarta Selasa (11/9/2019) mengatakan, KY sedang menginvestigasi berbagai laporan yang bisa mengganggu akuntabilitas dan kredibilitas lembaga peradilan tersebut.
Jika benar terjadi, lanjut Farid, iuran atau pengumpulan uang untuk keperluan di luar tugas pokok dan yang tidak berkaitan langsung dengan profesionalisme hakim ini, harus dihentikan. Iuran itu bakal memicu praktik korupsi di lembaga pengadilan, lantaran hakim atau unit pengadilan merasa harus menyediakan sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhan di luar dinas.
“Catatan KY, sudah ada 19 hakim yang ditangkap KPK. Artinya masih ada korupsi di lembaga peradilan. Pimpinan MA harus benar-benar memberi contoh baik,” katanya.
Tidak benar
Juru bicara MA Suhadi mengatakan, laporan tentang pungutan kepada hakim, antara lain dalam kejuaran tenis Piala ketua MA yang digelar Persatuan Tenis Warga Pengadilan (PTWP), adalah tidak benar.
“Penyelenggaraan kegiatan ini sudah ada anggarannya dari PTWP. Timnya pun sudah ditentukan, pemainnya sekian orang dan biayanya ditanggung masing-masing daerah. Dalam artian, mereka juga ada iuran setiap bulan untuk bisa membawa timnya ke tempat pertandingan,” katanya.
Mengenai besar iuran untuk hakim guna membawa timnya ke kejuaran itu, menurut Suhadi, tergantung pada musyawarah di tingkat daerah atau cabang. “Kegiatan ini acara wajib, karena PTWP sudah terbentuk sejak 1953. PTWP merupakan organisasi resmi di bawah MA. Jadi penyelenggaraannya pun gotong-royong dari iuran masing-masing. Iuran ada tiga, yakni untuk kabupaten, daerah (provinsi), dan pusat. Pusat selanjutnya yang mengumpulkan dana iuran penyelenggaraan kegiatan ini,” jelasnya.
Suhadi membantah bila iuran untuk tenis itu membebani hakim tingkat pertama. “Iurannya setiap bulan hanya Rp 20.000. Jadi tidak benar ada iuran untuk kegiatan di luar tugas pokok yang memberatkan mereka,” ujarnya.
Menurut Suhadi, juga tidak benar jika pengadilan mesti menyediakan sejumlah uang saat ada hakim agung atau pimpinan MA berkunjung, Di tiap kunjungan ke daerah, pimpinan pengadilan tinggi hingga pimpinan MA telah dibiayai melalui alokasi anggaran khusus yang telah diatur. “Tidak ada itu (pengumpulan uang). Kami (hakim agung) selalu pakai DIPA. Semua ada DIPA. Keluhan itu tidak benar,” urainya.
Semi dinas
Sementara itu Farid mengatakan, untuk kegiatan September ini, setiap pengadilan tinggi, baik umum maupun agama harus mengumpulkan tidak kurang Rp 150 juta guna mendukung kejuaraan tenis yang digelar PTWP di Bali tersebut.
Kegiatan tenis itu pun dianggap oleh sebagian hakim sebagai kegiatan semi-dinas. Hakim yang dikirim sebagai peserta kejuaraan itu mendapatkan dispensasi untuk meninggalkan tugas pokoknya, yaitu memeriksa dan memutus perkara. Di sisi lain, ada hakim yang terdorong ikut kegiatan itu, karena partisipasinya diyakini akan turut menentukan kariernya sebagai hakim.
Menurut Farid, KY juga menerima laporan dari hakim yang menceritakan, guna menerima kunjungan pimpinan MA, setiap pengadilan tinggi (PT) dan PT Agama diminta uang Rp 8 juta, sedangkan pengadilan kelas I B dipungut Rp 10 juta. Total, harus terkumpul Rp 200 juta. “Penyerahan uangnya tidak ditransfer, tetapi lewat kurir tanpa bukti tanda terima.,” kata Farid.
Deputi Direktur Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal berpendapat, laporan-laporan hakim itu harus disikapi KY dengan tegas.