Saat Dana Desa "Mengikat" Petani Bertahan di Kampung
Oleh
Winarto Herusansono
·4 menit baca
Saban musim kering tiba, para petani di desa-desa pelosok Jawa Tengah biasanya berbondong-bondong ”menyerbu” kota demi mencari nafkah sementara. Namun, sejak ada dana desa, hal itu berubah. Mereka ”terikat” tinggal di kampung, menjadi tukang dan buruh untuk proyek-proyek padat karya bersumber dana desa.
Menyusuri Desa Boto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang, Selasa (11/9/2018), beberapa petani terlihat sedang bekerja. Mereka tidak mengolah sawah, tetapi menjadi tukang bangunan untuk infrastruktur kampung. Hamparan lahan sawah dibiarkan kering dan gersang.
Sejak kemarau mencapai puncaknya, dua embung di desa itu, embung Boto dan Penggung, mengering. Ketika musim hujan, kedua embung itu sangat berfungsi mampu mengairi irigasi lahan seluas lebih dari 50 hektar.
Pada musim kemarau tahun ini, sebagian besar lahan pertanian non-irigasi teknis dilanda kekeringan. Petani biasanya ke kota, bekerja sebagai tenaga serabutan atau tukang bangunan. Namun, kali ini, sebagian petani memilih tetap bertahan di desa.
Kepala Dusun Galeh, Desa Wonokerto, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Ekrok Djunaedi, Selasa, menuturkan, proyek padat karya dana desa ternyata membuat petani betah di desanya. Mereka bekerja sehari minimal tujuh jam. Banyak pekerjaan sudah menanti para petani itu, mulai dari mengerjakan penguatan tanggul, penguatan dinding saluran desa, sampai memperbaiki jalan desa.
”Dua tahun silam, biasanya saat musim kemarau tiba, petani terutama mereka yang masih produktif pergi ke kota-kota. Ya, kalau tidak ke Semarang, Surabaya, Solo, atau Yogyakarta, bahkan bisa sampai ke Jakarta. Mereka bekerja serabutan meninggalkan desanya. Seminggu pulang bisa mendapatkan uang Rp 1 juta lebih,” ujar Ekrok.
Sebagai contoh, di Dusun Galeh dengan jumlah penduduk sekitar 350 orang itu, hampir 70 persen saat musim kemarau memilih meninggalkan desanya. Hanya kaum perempuan desa ataupun petani rata-rata usia di atas 55 tahun yang masih tinggal bertahan.
Sutrimo (50), petani dari Desa Boto, Bancak, mengaku sudah dua minggu ini bersama sekitar 20 petani lain mengerjakan proyek penguatan tebing saluran dan tebing jalan desa. Bukan hanya para laki-laki yang bekerja, bahkan beberapa tukang di antaranya para perempuan.
”Kalau tidak ada proyek padat karya ini, mungkin saya sudah ke Ungaran, jadi tukang batu di rumah-rumah orang yang membutuhkan tenaga untuk merenovasi rumah atau ikut proyek perumahan baru,” ujar Sutrimo.
Petani lain, Nardi (49) dari Dusun Gunung, menyatakan, adanya proyek padat karya ini memang menolong petani di musim kemarau. Akibat lahan pertanian tidak bisa digarap minimal 2,5 bulan, petani kehilangan pendapatan sampai Rp 600.000 akibat lahannya tidak produktif. Dengan adanya kegiatan penguatan jalan dan peningkatan tanggul ini, pekerja bisa memperoleh tambahan penghasilan.
”Dengan adanya proyek dana desa ini, saya bisa mendapatkan upah Rp 75.000 per hari. Kalau tanpa makan siang, bisa dapat Rp 85.000 per hari. Saya bekerja bersama warga lain sudah dua minggu, ya penghasilannya tinggal dihitung saja. Saya pilih di desa kalau ada proyek dana desa,” ujar Nardi.
Kepala Desa Wonokerto Muh Zuhdi menuturkan, adanya proyek dana desa setdaknya bisa menahan sekitar 30 persen dari warganya tidak pergi ke kota di musim kemarau. Mereka bertahan ikut proyek-proyek padat karya untuk memperoleh penghasilan tambahan.
Tentu saja, pendapatan dari ikut padat karya yang dibiayai dana desa tidak sebesar kalau bekerja di perkotaan. Saat ini, upah tukang di perkotaan minimal Rp 100.000 per hari, belum termasuk rokok dan makan siang.
”Desa kami memperoleh dana desa untuk tahun 2018 sebesar Rp 840 juta. Dana itu sekitar 80 persen dimanfaatkan guna sarana infrastruktur desa, mulai dari jalan, saluran, sampai perbaikan sarana umum di desa. Ini setidaknya berguna bagi warga yang tetap di desa, tetapi bisa memperoleh penghasilan tambahan dari sektor non-pertanian,” ujar Zuhdi.
Kepala Bidang Irigasi dan Air Baku Dinas Pekerjaan Umum, Sumber Daya Air dan Penataan Ruang Provinsi Jawa Tengah Ketut Arsa Indra Watara mengemukakan, musim kemarau menyergap 1.163 desa di 253 kecamatan dari 21 kabupaten dan kota di Jawa Tengah. Pada situasi kekeringan ini, hampir sebagian besar lahan nonteknis ataupun sebagian irigasi teknis mengalami kekeringan dan tidak produktif.
Sedikitnya hampir 1,7 juta penduduk dilanda krisis air bersih ataupun air irigasi pertanian. Proyek dana desa setidaknya bisa menjadi katup pengaman bagi petani yang kehilangan penghasilan dari pertaniannya.