Kota Bogor adalah satu dari 12 kota pertama yang menjadi deklarator Jaringan Kota Pusaka Indonesia sejak 2008. Sayang, nasib bangunan cagar budaya di kota ini masih memprihatinkan, bahkan lenyap.
Oleh
Ratih P Sudarsono
·5 menit baca
Berdiri di depan pintu gerbang SMP Yayasan Zailani Almansyur (YZA), kita tidak segera tersadar bahwa gedung sekolah ini peninggalan masa zaman kolonial Belanda. Mungkin, karena cat gedung di Jalan Semeru, Bogor Tengah, ini berwarna hijau yang tidak lazim dipakai pada bangunan zaman kolonial. Juga, dua pohon pucuk merah yang dibiarkan tumbuh tinggi menghalangi keutuhan penampakan depan gedung yang dibangun tahun 1906 itu.
"Bangunan ini bekas markas dan asrama tentara zaman Belanda. Karena itu, ada menara pengintainya. Kami menempati gedung ini dengan pinjam pakai selama 30 tahun dari TNI AD, untuk difungsikan sebagai sekolah sejak 1987," kata Kepala SMP YZA Asep Safe\'i, pekan lalu.
Menurut Asep, tinggal gedung utama dari lima bangunan yang relatif utuh di kompleks bekas asrama tentara ini. Lainnya sudah dibongkar untuk ruang-ruang kelas, yang saat ini digunakan 140 siswanya.
Ia menunjukkan sejumlah interior gedung yang masih utuh dan asli seperti daun pintu depan, beberapa jendela, teralis lubang angin, ruangan perpustakaan sekolah yang lantainya masih asli, tiang-tiang penyangga atap, kerangka atap, ruang di bawah atap gedung, serta bangunan menara pengintai.
Sayangnya, lantai menara ini penuh kotoran kelelawar. Dari lantai menara, ada lubang untuk masuk ke dalam ruangan di bawah atap. Kerangka atap dan kerangka lantai ruangan dari kayu masih utuh seperti aslinya.
Menurut Asep, merawat gedung sekolah yang menjadi cagar budaya ini sangat sulit. Apalagi tidak ada bantuan teknis dan dana pemeliharaan dari pemerintah. Pihaknya hanya tahu begitu saja kalau gedung sekolah jadi benda cagar budaya (BCB).
"Tahun 2012, kalau tidak salah, tiba-tiba dikasih buku dan di buku itu ada foto dan keterangan gedung sekolah kami adalah BCB di Kota Bogor," katanya.
Yadi, petugas kebersihan sekolah, mengaku sebisanya saja menjaga dan merawat BCB itu. Ia mengaku, pernah ada yang datang tertarik untuk membeli tiang-tiang kayu selasar belakang gedung. Satu tiang dihargai Rp 500.000.
"Kalau orang ngerti kayu, pasti ngiler lihat tiang, kayu, atau papan di gedung tua ini. Semuanya jati asli dan kuat. Kalau orang tidak sadar ini bangunan sejarah, habislah bangunan sejarah di Bogor," kata Yadi.
Camat Bogor Tengah Agustian Syah mengaku, tidak begitu paham tentang BCB di wilayahnya. Namun, ia tahu Kota Bogor adalah Kota Pusaka karena banyak bangunan kuno atau BCB. Bangunan khas ini menjadi jualan kepariwisataan Kota Bogor.
Ia baru tahu bahwa di kecamatannya ada 210 BCB dari 480 BCB atau yang diindikasikan BCB se-Kota Bogor. "Terus terangan, saya belum pernah khusus membahas BCB di wilayah kami, termasuk bertemu dengan para pemilik atau pengelola bangunan," katanya.
Ia berjanji akan memelajari peraturan terkait BCB, kemudian mencari solusi untuk mencegah BCB hilang atau rusak. "Kalau bantuan anggaran, kami nggak ada," katanya.
Menanti perda
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bogor Shahlan Rasyidi mengaku khawatir dengan nasib BCB. Faktanya, beberapa BCB sudah lenyap menjadi bangunan baru sama sekali.
Pada tahun 2012, begitu menjadi kepala dinas, ia mendata BCB atau yang teridikasi BCB. "Saat itu, terdata 480 BCB atau teridentifikasi BCB. Yang sudah ditetapkan sebagai BCB Kota Bogor tidak sampai 100 buah."
Meskipun begitu, bangunan yang terindikasi BCB namun belum ditetapkan sebagai BCB, tetap harus diperlakukan sama sebagai BCB.
Ia berharap, DPRD segera mengesahkan perda cagar budaya sehingga peraturan wali kota bisa segera dibuat. "Jadi ada kejelasan payung hukum dalam proses penegakan hukumnya. Juga jelas insentif dan disintensifnya kepada pemilik atau pemanfaat BCB," tutur Shahlan.
Menurutnya, BCB yang dihancurkan menjadi bangunan atau rusak parah, rata-rata berupa rumah tinggal milik pribadi, sehingga sulit mencegahnya.
Kondisi yang disebut Shahlan banyak terlihat pada rumah-rumah di Jalan Pajajaran dan Ahmad Yani. Rumah-rumah berarsitektur kolonial menjadi toko, hotel, atau restoran baru. Bahkan ada bangunan baru yang mengubah bentangan alam cagar budaya kawasan dan cagar budaya konservasi.
Rudi Mashudi, planolog yang menjabat sebagai Kepala Bagian Perizinan Pemanfaatan Ruang, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu Kota Bogor, memastikan dinasnya sangat berhati-hati memberikan izin bangunan atau renovasi bangunan. Untuk BCB, pihaknya pasti meminta rekomendasi Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG), karena di Kota Bogor belum ada Tim Ahli Cagar Budaya (TACB).
Rudi mengakui, tidak mempunyai data jumlah dan lokasi BCB. Pihaknya akan mengkonfirmasikan ke dinas terkait, jika bangunan diperkirakan BCB.
Ia memastikan IMB yang dikeluarkan sudah melalui tahap penelitian, termasuk ada rekomendasi TABG. "Cek saja IMB-nya. Jika ada IMB, tidak ada yang merobohkan atau merusak BCB, termasuk izin pembangunan pengembangan RS PMI Bogor, itu bukan BCB," tuturnya.
Kepala Dinas PMPSP Denny Mulyadi juga memastikan, kepastian bangunan itu BCB harus ada regulasinya yakni perda dan penetapan wali kota. "Kalau tidak ada regulasinya, seperti bangunan RS PMI Bogor, tidak bisa disebut sebagai BCB, katanya.
Minim komitmen
Pemerhati budaya dan arsitektur pecinaan Kota Bogor Mardi Liem mengatakan, sejak Kota Bogor berkomitmen menjadi anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia dan menjadi Kota Pusaka, aksi pasti mewujudkan komitmen tersebut belum memuaskan. Baru dua aksi terkait perwujudan Kota Pusaka yaitu membangun gerbang Lawang Suryakancana di kawasan pecinan Jalan Suryakancana dan Lawang Dasakerta di kawasan Tugu Kujang.
Faktanya sekarang, banyak bangunan yang terindikasi BCB namun tidak mendapatkan perhatian pemda. Sosialisasi mengenai BCB malah membuat banyak pemilik bangunan BCB menjadi khawatir. Kekhawatiran itu antara lain berkaitan dengan anjloknya harga jual bangunan karena tidak boleh mengubah fisik bangunan. Sementara, untuk merawat bangunan tua justru memakan banyak biaya, yang semua ditanggung pemilik.
Selain itu, belum terlihat bagaimana pengamanan dan rehabilitasi kawasan-kawasan pusaka lain, seperti pemukiman khas arab, kawasan kesundaan, dan kawasan eropa atau kolonial.
Ditataran instasi pemda, lanjut Liem, juga belum ada kesamaan istilah dan persepsi.
Sementara di lapangan, perubahan bangunan terus terjadi.