Kemenhub Lebih Hati-hati Mengubah Peraturan Transportasi Daring
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Perhubungan akan segera mengubah peraturan baru terkait transportasi daring menyusul gugatan terhadap Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 108 Tahun 2017. Namun, pengubahan beberapa poin dalam permenhub tersebut akan dibuat lebih hati-hati.
”Kami sudah menyiapkan draftnya. Tetapi kami harus membahas kembali konsep dan skemanya, terlebih dengan perusahaan aplikasi transportasi daring atau aplikator,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Setiyadi saat dihubungi Kompas, Senin (10/9/2018).
Pada Maret 2018, Kemenhub berencana mengubah beberapa poin pada Permenhub No 108 Tahun 2017, seperti aturan mengubah perusahaan aplikasi transportasi daring menjadi perusahaan jasa transportasi. Kemudian, poin yang mengatur hubungan pengemudi dengan aplikator. Namun, rencana tersebut digugat di Mahkamah Agung.
Budi mengatakan, kali ini pihaknya akan lebih berhati-hati dalam mengubah Permenhub tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek. Hal ini mengingat pemerintah sudah dua kali mengganti permenhub, yaitu Permenhub No 32 Tahun 2016 dan Permenhub No 26 Tahun 2017.
Selain itu, pengemudi transportasi daring kembali mengadakan aksi untuk menuntut dua perusahaan aplikator pada minggu ini, yaitu tanggal 10 dan 12 September 2018. Di antara tuntutan mereka dalam aksi tersebut adalah menolak rencana perubahan perusahaan aplikasi menjadi perusahaan transportasi.
”Kami sudah tahu rencana aksi tersebut. Kami berharap pihak aplikator berinisiatif untuk menemui kami, paling lambat minggu depan. Kalau tidak, kami akan panggil mereka untuk meminta respons terkait tuntutan mitra mereka,” kata Budi.
Kami sudah tahu rencana aksi tersebut. Kami berharap pihak aplikator berinisiatif untuk menemui kami, paling lambat minggu depan. Kalau tidak, kami akan panggil mereka untuk meminta respons terkait tuntutan mitra mereka.
Pada aksi pertama yang dilangsungkan Senin (10/9/2018), sekitar 200 pengemudi taksi daring individu berkumpul di depan Gedung Lippo Kuningan, Jakarta Selatan, sejak pukul 10.00. Aksi yang dinamai Gerhana (Gerakan Hantam Aplikasi Nakal) menuntut empat hal, yaitu menagih janji aplikator, menolak rencana perusahaan aplikasi menjadi perusahaan transportasi.
Kemudian, menolak eksploitasi terhadap pengemudi daring, menolak kartelisasi dan monopoli bisnis transportasi daring. Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi aplikator, mereka akan meminta pemerintah menutup perusahaan-perusahaan aplikasi transportasi daring yang ada.
Pada kesempatan kali itu, mereka menuntut untuk bertemu dengan Country Director Grab Indonesia Rizki Kramadhibrata. Namun, pihak manajemen Grab yang berkantor di Gedung Lippo Kuningan hanya mengirimkan Pandu B selaku External Regulatory and Government Affairs Grab Indonesia.
”Kami sudah menerima informasi tuntutan mitra. Tapi kami masih menunggu arahan dari kementerian karena ada beberapa tuntutan yang sedang dibahas,” kata Pandu kepada perwakilan aksi yang kemudian enggan berdiskusi lebih lanjut. Aksi hari itu selesai sekitar pukul 17.00.
Aksi Dedi Heriyanto dari bagian humas mengaku pihaknya kecewa dengan pihak Grab yang dianggap tidak memiliki itikad baik. ”Perjuangan kami tidak akan berhenti di sini. Ini akan menjadi aksi nasional,” katanya.
Menurut Dedi, mereka telah mulai menyuarakan ketidakadilan dari pihak perusahaan aplikator sejak tiga tahun lalu. Selama 2018, aksi serupa sudah dilakukan lebih dari tiga kali. Pada aksi 12 September 2018, pihaknya akan mendatangi kantor Go-Jek di kawasan Blok M dan kantor Kemenhub RI di Jalan Merdeka Barat.
Melawan eksploitasi
Para pengemudi taksi yang datang menuntut Grab Indonesia mengatakan, banyak eksploitasi yang dilakukan perusahaan tersebut. Dedi mengatakan, seiring waktu, mereka tidak diperlakukan seperti mitra sebagaimana mestinya.
”Kami mitra tapi harus mematuhi kode etik dan mau bersedia menerima denda pelanggaran kode etik. Sementara kami tidak melihat mereka memiliki kode etik,” kata salah satu massa aksi Edward Simanungkalit (59). Hal tersebut menurut mereka tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Kemitraan No 17 Tahun 2013.
Mereka juga mengeluhkan potongan tarif yang dianggap semakin tidak manusiawi, paksaan untuk mengejar target yang diatur sepihak untuk mengejar bonus, dan lainnya. ”Sementara itu, mereka bisa seenaknya mengatur jumlah penumpang yang masuk ke aplikasi kami,” lanjut Edward.
Berkurangnya penumpang tersebut semakin dirasakan tahun ini. Di antara penyebabnya adalah pemberlakuan priority bidding atau prioritas pemberian pesanan kepada pihak-pihak tertentu, seperti pengemudi khusus yang bertarif lebih tinggi daripada pengemudi individu. Ini melanggar Undang-Undang Anti-Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat No 5 Tahun 1995.
Berkurangnya kesempatan pengemudi mendapatkan penumpang, khususnya di Jabodetabek, juga dipengaruhi pembatasan akses pengemudi taksi daring individu di dua bandara, yakni Halim Perdanakusuma dan Soekarno-Hatta. ”Akibatnya, pendapatan kami berkurang. Bahkan untuk membayar cicilan mobil yang kami gunakan untuk kerja saja susah,” kata Ajat (41).
Selain itu, mereka juga mengaku tidak pernah merasakan tanggung jawab pihak aplikator ketika mitra mereka mengalami musibah, baik itu kecelakaan di jalan atau kriminalisasi dari penumpang. ”Itu yang kami maksud dari eksploitasi yang tidak manusiawi,” kata Dedi. (ERIKA KURNIA)