Industri Tempe Mulai Terimbas Harga Kedelai
TANGERANG, KOMPAS
TANGERANG, KOMPAS - Melemahnya rupiah akibat krisis ekonomi dunia mempengaruhi harga kedelai impor, bahan baku tempe dan tahu. Selama sepekan terakhir harga komoditi utama itu naik dari Rp 600.000 menjadi Rp 750.000 sampai Rp 800.000 per kuintal.
Meski sudah mengurangi produksi sampai 30 persen dan tenaga kerja berkurang sampai 50 persen, pengrajin tahu dan tempe di Kota Tangerang memilih masih tetap bertahan beroperasi dan belum menaikkan harga.
Dalam keterpurukan, mereka berharap, pemerintah segera mengendalikan harga kedelai.
Kondisi terpuruk dialami pengrajin tempe dan tahu itu terlihat di kawasan industri skala rumah tangga di Kali Sipon Jalan Irigasi Sipon, Gondrong dan Gang Jambu, Cipondoh, Kota Tangerang; serta Desa Pondok Jaya, Kecamatan Sepatan, Kabupaten Tangerang, Jumat (7/9/2018) dan Minggu (9/9/2018). Saat datang ke kawasan, suasana rumah produksi agak sepi.
Industri ini sudah ada sejak tahun 1980-an. Selama itu juga para pengrajin menggunakan kacang kedelai impor karena ketersediaan produk serupa lokal hampir tidak ada di pasaran.
Dasuki (44), pedagang tempe di Kali Sipon, Gondrong, Kota Tangerang mengatakan, harga kedelai naik sejak sepekan terakhir. Kendati harga kedelai sudah naik, namun ia dan pedagang tempe lainnya masih belum menaikkan harga jual untuk produk mereka. Bahkan, mereka juga masih mempertahankan ukuran tempe dan tidak mengurangi ukurannya.
"Harga belum kami naikkan. Tempe pun belum dikurangi ukurannya. Masih harga dan ukuran lama," kata Dasuki.
Sejauh ini, kata Dasuki, yang ia lakukan saat ini adalah mengurangi jumlah produksi hingga 30 persen. Juga dua pekerjanya sudah balik ke Jawa karena produksi menurun. Saat ini hanya tiga orang yang bekerja di tempat produksinya, Dasuki, istri, dan seorang saudaranya.
"Yang dua pekerja akan balik lagi kalau produksi sudah kembali normal. Tetapi, saya belum tahu kapan itu (produksi tempe) kembali normal," jelas Dasuki.
Tiga kali modal
Dasuki mengatakan, setiap hari ia memperoduksi tempe. Sistemnya tiga kali modal. Artinya, tempe yang dibuat hari ini akan dipasarkan dua hari kenudian.
Sembari menunggu tempe siap dipasarkan, Dasuki harus memproduksi tempe lagi untuk dua hari kemudian. Begitu seterusnya.
Menurut Dasuki, dari satu kuintal kedelai ia bisa memproduksi 140 potong seukuran 25 sentimeter (cm).
Dalam kondisi normal, harga kedelai Rp 600.000 per kuintal, sekali produksi ia membutuhkan modal sebesar Rp 800.000 untuk membeli bahan baku yakni kedelai dan ragi, serta kayu bakar. Anggaran itu tidak termasuk makanan dan lainnya.
Dari hasil penjualan tempe, ia memperoleh pendapatan sebeaar Rp 1,7 juta. "Keuntungannya bisa sampai Rp 850.000 per hari. Jumlah pendapatan ini, belum termasuk biaya makan, minum, rokok, dan upah kerja," kata Dasuki.
Pada saat ini, ketika harga kedelai naik menjadi Rp 770.000 per kuintal, ia harus mengeluarkan anggaran tambahan menjadi sebesar Rp 990.000 per sekali produksi.
"Kalau harga kedelai masih tinggi dan daya beli masyarakat menurun, saya belum yakin kalau pengrajin tempe masih bertahan seperti kondisi sekarang. Artinya kami terpaksa menaikkan harga atau mengurangi ukuran," kata Dasuki yang menjual produknya ke Pasar Babakan, Kota Tangerang dan secara eceran.
Dasuki sudah mulai bekerja di pabrik tempe di daerah Kali Sipon sejak tahun 1985. Saat itu, Dasuki yang hanya tamat SMP itu membantu kakaknya memproduksi tempa. Selanjutnya, tahun 1997, membuka pabrik tempe sendiri.
Fatmawati (33), pengrajin tahu di Kali Sipon mengatakan, saat ini harga kedelai mencapai Rp 800.000 per kuintal. Sementara harga tahu di pasaran masih Rp 400 per biji (ukuran standar) dan Rp 2.000 ukuran besar.
"Harga kedelai sudah naik dari Rp 600.000 per kuintal. Sementara harga tahu masih sama. Saya sendiri binggung mengakalinya. Mau naikkin harga diprotes sama pembeli. Enggak naikin harga, kita nombok. Kalau harga naik berlangsung lama, bisa bangkrut dan gulung tikar," kata Fatmawati yang baru enam bulan terakhir mengambil alih sebagai pemilik pabrik tahu. Sebelumnya, ia hanyalah kuli di pabrik tahu itu.
Pabrik tahunya memproduksi tahu bandung, jambi dan potong (ukuran besar).
Dalam kondisi normal, ia memproduksi 3 kuintal kedelai per hari. Dari produksinya itu, setiap 10 kg kedelai menjadi tahu 400 biji.
Akan tetapi, saat ini dengan harga kedelai naik dan kualitasnya turun, dalam 10 kg kacang itu, ia hanya dapat memproduksi 300 biji tahu saja.
"Jelas dalam sepekan ini merugi. Harga jual tahu masih tetap, ukuran tetap, dan produksi turun. Paling tidak, ada yang bisa dimakan," kata Fatmawati.
Ia mengatakan, saat ini harga kedelai naik. Namun, kualitasnya turun, sehingga hasil produksinya ikut menurun. Biasanya, dalam sehari, ia memproduksi 3.000 biji tahu. Saat ini, ia hanya memproduksi 2.500 biji tahu saja. "Pusing. Bingung bagaimana mengakalinya. Harga kedelai naik tapi kualitasnya turun. Kalau mau menaikkan harga tahu, konsumen pasti protes. Mereka enggak mau beli tahu. Kalau enggak produksi juga salah. Kami mau makan apa?" kata Fatmawati.
Dalam sekali produksi ia harus mengeluarkan uang Rp 3 juta. "Saat ini, kalau tahu terjual habis, alhamdulilah. Paling tidak, dapat untung sedikit saja. Itu sudah senang. Tetapi, kalau tidak terjual habis, bisa tekor sampai Rp 300.000 per hari," katanya.
Fatmawati memiliki 7 pedagang tahu keliling. Ia juga memiliki 6 pekerja, ditambah Fatmawati dan suaminya. Saat ini, tiga pekerjanya sudah balik kampung. "Pekerja saya yang pulang ini akan balik lagi kalau kondisi produksi sudah kembali normal," jelas Fatmawati.
Produksi dikurangi 50 persen
Salam (40), perajin tahu di Sepatan, Kabupaten Tangerang juga menurunkan produksi untuk mengakali harga kedelai yang sudah naik menjadi Rp 800.000 per kuintal. Dalam kondisi normal, ia menggunakan 300 kg kedelai per hari. Saat ini, harga kedelai sudah naik terpaksa ia mengurangi 50 persen produksinya menjadi hanya 150 kg per hari.
"Kami masih menunggu kepastian harga kedelai setelah dollar naik jadi Rp 14.700," jelas Salam.
Sebagai antisipasi harga kedelai, kata Salman, ia menyiasatinya dengan menghemat pemakain stok kedelai harga lama. "Kami belum mau berspekulasi menaikkan harga jual tahu dan mengurangi ukuran. Kalau salah berspekulasi, kami akan ditinggal pembeli," kata Salam.
Sejak tahun 1980an secara turun-temurun mereka telah menggunakan kedelai impor karena tidak tersedianya kedelai lokal.