JAKARTA, KOMPAS — Pelajar lebih suka pergi ke mal dan bioskop di akhir pekan dibandingkan museum. Galeri seni juga dinilai lebih menarik oleh kalangan pelajar.
Raka (14) dan Bunga (15) yang duduk di kelas X jurusan IPS salah satu SMA di Jakarta Barat mengunjungi Museum Tekstil, Sabtu (8/9/2018), karena ada tugas kelompok. Bersama empat rekan sekelasnya, mereka diminta mengumpulkan informasi tentang salah satu museum di Jakarta.
Meski demikian, museum bukanlah tujuan normal mereka di akhir pekan. ”Kalau weekend sih biasanya jalan ke mal atau nonton. Enggak pernah ke museum kalau enggak ada tugas,” kata Raka.
Bunga menambahkan, tidak pernah ada yang mengajaknya ke museum di akhir pekan. Meski demikian, ia merasa telah belajar hal baru di Museum Tekstil.
”Jadi bisa belajar jenis-jenis kain dan tenun. Bisa pegang juga meskipun sebenarnya enggak boleh,” ujarnya sembari tertawa.
Reza (21), mahasiswa yang sedang menjalani semester ke-7 di Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia, mengunjungi Museum Joang ’45, Jakarta Pusat, untuk survei ruang pameran. Survei tersebut merupakan bagian dari tugas salah satu mata kuliah.
Menurut Reza, Museum Joang ’45 bagus secara arsitektur, begitu pula penataan interiornya. Meski demikian, ia menilai, museum tidak begitu menarik untuk teman-teman seangkatannya.
”Menurut saya, minat ke museum di kalangan teman-teman saya cukup rendah. Mereka lebih tertarik dengan sisi seni dan arsitekturnya, bukan isi museumnya,” kata Reza.
Hingga pukul 15.00 WIB, jumlah pengunjung Museum Joang ’45 memang hanya mencapai 43 orang.
Galeri yang memamerkan karya seni lebih menarik bagi Reza dan teman-teman. Kendati begitu, dalam beberapa tahun terakhir, ia telah mengunjungi beberapa museum di Jakarta, seperti Museum Nasional dan Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
Menurut pengunjung Museum Joang ’45 lainnya, Anton FW (47) dan Nur Rasdianah (43), yang sering mengikuti kegiatan Komunitas Historia Indonesia (KHI), mereka memang hampir tidak pernah melihat anak muda yang menjadi anggota. Menurut Anton, konten-konten terkait kegiatan di museum telah ada di media sosial.
”Memang segmennya terbatas untuk orang yang suka museum saja. Mahasiswa dan siswa sudah jarang,” ujar Anton yang telah memahami sejarah Gedung Joang ’45 sejak 1938 ketika difungsikan sebagai Hotel Schomper.
Di lain pihak, Kepala Satuan Pelaksana Edukasi dan Informasi Unit Pengelola Museum Seni DKI Jakarta Mis Ari merasa tren pergi ke museum meningkat di masyarakat dalam 10 tahun terakhir. Para pemuda tetap mengunjungi museum meskipun lebih banyak berswafoto daripada mendalami koleksi museum.
”Bagi kami, anak-anak muda yang mengunjungi museum itu sudah menjadi poin positif. Setidaknya saat mereka posting di media sosial, mereka menyebutkan nama museumnya,” ucap Ari.
Untuk menarik lebih banyak pengunjung dari kalangan pelajar dan pemuda, UP Museum Seni DKI Jakarta telah menerapkan beberapa strategi. Salah satunya adalah lomba vlog (video blogger) melalui sosial media saat diadakan pameran atau workshop, salah satunya di Museum Tekstil.
Fasilitas digital
Berbeda dengan Museum Tekstil dan Museum Joang ’45, berbagai fasilitas digital telah tersedia dan siap digunakan di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta Pusat. Komputer layar sentuh menyediakan bermacam informasi, seperti profil para tokoh penulisan proklamasi, komik digital, hingga gim di komputer tablet.
Terdapat pula meja bertaplak putih sebagai layar dari proyektor di atasnya yang memancarkan tutur visual berisi animasi proses penculikan Soekarno-Hatta oleh angkatan muda hingga pembacaan proklamasi di Ruang Perumusan.
Pengunjung juga dapat mengunduh aplikasi SIJI di ponsel pintar mereka melalui Google Play Store. Melalui aplikasi tersebut, pengunjung dapat memindai foto-foto semasa pergerakan kemerdekaan. Foto yang dipindai akan dapat bergerak di tampilan layar ponsel. Museum Perumusan Naskah Proklamasi dilengkapi dengan Wi-Fi. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)