MAUMERE, KOMPAS - Komunikasi dan koordinasi antarinstansi terkait di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sikka dalam penanggulangan rabies masih lemah. Vaksinasi antirabies terhadap anjing yang dilakukan Dinas Pertanian dan Peternakan setempat tidak berdasarkan kasus gigitan terhadap manusia.
Bahkan, dinas kesehatan setempat pun nyaris tidak pernah melaporkan wilayah yang warganya digigit anjing rabies kepada Dinas Pertanian dan Peternakan agar dijadikan prioritas dalam pemberian vaksin pada hewan tertular rabies. Tak mengherankan, hingga kini Dinas Pertanian dan Peternakan baru memvaksin sekitar 35 persen populasi anjing di Kabupaten Sikka. Akibatnya, di lapangan terjadi kasus gigitan anjing yang tinggi, yang berdampak pada kebutuhan vaksin antirabies (VAR) pada manusia menjadi tinggi pula.
”Kebutuhan akan VAR menjadi tinggi karena pengaruh vaksinasi pada anjing yang lemah di lapangan sehingga cakupan vaksinasi itu rendah tak sampai 50 persen. Ini mengakibatkan rabies meningkat dan kasus gigitan menjadi tinggi, dan vaksinasi anjing di bagian hulu ini menjadi tugas dinas pertanian,” kata Kepala Dinas Kesehatan Sikka Maria Bernadina Sada Nenu di Sikka, Sabtu (8/9/2018).
Kasus gigitan anjing rabies di Sikka selama Januari-Juli 2018 sebanyak 750 kasus, dengan rincian bulan Januari 78 kasus, Februari 103 kasus, Maret (109), April (113), Mei (121), Juni (111), dan Juli 115 kasus. Populasi anjing di Sikka lebih kurang 54.000 ekor.
”Kalau selama ini vaksinasi antirabies pada anjing dilakukan optimal, peluang hewan ini tertular rabies makin kecil. Manusia pun terbebas dari gigitan itu. Kuncinya adalah vaksinasi antirabies pada anjing. Itu bukan kewenangan kami,” ujar Nenu.
Secara terpisah, Kepala Dinas Pertanian Sikka Hengki Sali mengakui, pelaksanaan vaksinasi memang belum optimal karena keterbatasan jumlah vaksin, juga anggaran untuk kegiatan vaksinasi bagi petugas kesehatan hewan Rp 7.500 per ekor. Untuk tahun ini sampai dengan bulan Agustus, vaksinasi di Sikka baru sekitar 35 persen atau baru menjangkau 19.000 anjing di 50 desa dan 15 kecamatan (dari total 21 kecamatan).
”Ini karena anggaran untuk kegiatan vaksinasi terbatas, begitu pula jumlah vaksin. Alokasi vaksin dari pusat melalui Dinas Peternakan NTT hanya 33.000 dosis untuk 33.000 anjing. Dari APBD Sikka, karena keterbatasan anggaran, tak ada alokasi untuk pengadaan vaksin dan vaksinasi anjing,” kata Hengki.
Sebelumnya, Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Fadjar Sumping Tjatur Rasa dalam rapat koordinasi dengan Dinas Pertanian Sikka, Dinas Kesehatan Sikka, serta Dinas Peternakan NTT, pada 6 September 2018 mengingatkan, dalam upaya penanggulangan rabies, perlu ditingkatkan komunikasi dan koordinasi lintas sektor. ”Kalau melihat korban meninggal akibat gigitan anjing sebagian besar anak-anak dan pelajar, juga perlu sosialisasi ke masyarakat yang dilakukan dinas pendidikan. Jadi, tak hanya penanganan rabies ini oleh dinas kesehatan dan dinas pertanian, tetapi perlu multisektor,” ujar Fadjar.
Sekretaris Komite Penanggulangan Virus Rabies Flores-Lembata Asep Purnama mengatakan, umumnya komunikasi dan koordinasi antarinstansi masih lemah, tidak hanya di Sikka, tetapi juga pada delapan kabupaten lain yang merupakan daerah endemis rabies.
Penjabat Bupati Sikka Flory Mekeng mengatakan sering menekankan peningkatan komunikasi dan koordinasi. ”Kami minta adanya reaksi cepat dalam penanganan jika ada laporan kasus gigitan anjing,” ujarnya. (sem)