Ada Pelanggaran HAM Berat oleh Aparat di Rumoh Geudong, Harus Ditindaklanjuti
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah mengirim laporan penyelidikan pro yustisia peristiwa pelanggaran HAM berat Rumoh Geudong dan Pos Sattis Lainnya di Pidie, Aceh, kepada Kejaksaan Agung. Dalam laporan itu, Komnas HAM menemukan telah terjadi praktik pelanggaran HAM berat yang dilakukan aparat.
Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis lainnya merupakan sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di Pidie, Aceh, dalam status Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989-1998.
Pada 25 Agustus 1998, Kompas pernah memberitakan, berdasarkan hasil Pemantauan Tim Aceh dari Komnas HAM, jumlah korban tewas tindak kekerasan selama penerapan DOM 1989-1998 di Aceh tercatat 781 orang. Adapun korban hilang berjumlah 163 orang, korban penganiayaan 368 orang, dan korban pemerkosaan 102 orang.
Penyelidikan pelanggaran HAM di Aceh ini kembali dilakukan Komnas HAM sejak 2013. Laporan penyelidikan kasus tersebut selesai pada Agustus 2018 dan diserahkan ke Kejaksaan Agung pada 28 Agustus 2018.
Penyerahan laporan ke Kejaksaan Agung ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Angka 5 juncto Pasal 20 Ayat 1 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pasal tersebut menyatakan bahwa Komnas HAM wajib meneruskan hasil penyelidikan proyustisianya kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti dengan penyidikan dan penuntutan.
Ketua Tim Ad Hoc Komnas HAM untuk Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat di Aceh Choirul Anam menyampaikan, dalam laporan tersebut, Komnas HAM menemukan lima elemen pelanggaran HAM berat, seperti penyiksaan, perampasan kemerdekaan, kekerasan seksual, pembunuhan, dan penghilangan secara paksa.
”Kami telah memeriksa 65 saksi dan ada bukti permulaan yang cukup atas dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan,” ujar Choirul dalam diskusi di Jakarta, Minggu (9/9/2018).
Menurut Choirul, praktik pelanggaran HAM berat tersebut dilakukan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) atau yang saat ini bernama Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Anggota ABRI saat itu dari tingkat pembuat kebijakan, seperti Panglima ABRI, hingga pelaksana lapangan, seperti Komandan Jenderal Kopassus, dan tingkat bawah lainnya dinilai bertanggung jawab terhadap kasus ini.
Panglima ABRI yang menjabat dalam kurun waktu tersebut antara lain Jenderal Try Sutrisno (1988-1993), Jenderal Edi Sudrajat (1993-1993), Jenderal Feisal Tanjung (1993-1998), dan Jenderal Wiranto (1998-1999).
Adapun Komandan Jenderal Kopassus yang menjabat dalam kurun waktu tersebut antara lain Brigadir Jenderal Kuntara (1987-1992), Brigjen Tarub (1992-1993), Brigjen Agum Gumelar (1993-1994), Brigjen Subagyo Hadi Siswoyo (1994-1995), Mayjen Prabowo Subianto (1995-1998), dan Mayjen Muchdi Purwoprandjono (1998-1998).
Segera ditindaklanjuti
Choirul menjelaskan, Kejaksaan Agung harus segera menindaklanjuti laporan tersebut ke tingkat penyidikan dan meminta keterangan sejumlah pihak yang terlibat guna memberikan keadilan kepada para korban. Choirul juga berharap Kejaksaan Agung dapat menyelesaikan kasus tersebut paling lambat 90 hari ke depan.
Sesuai dengan Pasal 22 UU No 26/2000, penyidikan wajib diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Namun, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 hari oleh Ketua Pengadilan HAM jika penyidikan belum dapat diselesaikan.
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, Kejaksaan Agung harus berani mengambil cara pandang yang berbeda untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Hal ini karena sering kali Kejaksaan Agung berhenti memproses kasus pelanggaran HAM berat dengan alasan kurangnya bukti.
”Tidak ada dalih yang dapat dijadikan alasan untuk tidak memproses kasus ini. Kejaksaan Agung harus bersikap proaktif dengan memintai keterangan semua pihak yang menjadi pimpinan ABRI saat itu,” ungkap Al Araf.
Kepala Bidang Strategi dan Mobilisasi Kontras Feri Kusuma mengatakan, negara dan semua pihak harus berkomitmen dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Menurut dia, negara jangan sampai membiarkan kejahatan tanpa hukuman atau impunitas kepada para pelaku pelanggaran HAM.
Saat ini, tercatat 10 kasus pelanggaran HAM berat, termasuk kasus Rumoh Geudong dan Pos Sattis, lainnya masih menunggu tindak lanjut dari Kejaksaan Agung dan pihak lainnya untuk segera dituntaskan.
”Kenyataannya, saat ini pelaku di tingkat atas meminta masyarakat melupakan pelanggaran HAM, padahal pelaku tersebut belum menerima pertanggungjawaban di pidana,” ujar Feri.