DELI SERDANG, KOMPAS – Taman bacaan masyarakat berperan penting untuk mempercepat dan meningkatkan budaya literasi di masyarakat. Selain itu, gerakan ini bisa menjadi garda depan untuk menuntaskan angka buta aksara, terutama di daerah yang sulit terjangkau.
Saat ini setidaknya tercatat ada 8.000 taman bacaan masyarakat (TBM) di seluruh Indonesia. Awalnya, TBM terbentuk karena keprihatinan masyarakat setempat karena minimnya dukungan fasilitas literasi di daerah mereka.
“TBM ini yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Peran mereka sangat strategis dalam meningkatkan budaya literasi di daerah, apalagi di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Gerakan ini perlu diapresiasi dan terus ditingkatkan,” ujar Maman Suherman, penulis dan pegiat literasi, di sela-sela Festival Literasi Indonesia (FLI) 2018, Jumat (7/9/2018), di Deli Serdang, Sumatera Utara. Festival Literasi Indonesia merupakan rangkaian acara dari Hari Aksara Internasional 2018 yang diperingati setiap 8 September.
Hifni Djafar (35), pelopor TBM Rumah Kreatif Nusantara di Ende, Nusa Tenggara Timur menyatakan, sebelum TBM ini didirikan, fasilitas buku yang bisa diakses masyarakat setempat sangat terbatas. Meskipun ada, tidak ada sumber daya manusia yang menuntun anak-anak untuk memahami buku dengan baik dan benar.
“Berliterasi tidak hanya bisa baca dan tulis, tetapi bisa memaknai apa yang dibaca dan menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Inilah yang membuat saya mau mengembangkan TBM di Ende,” katanya.
Secara rutin, Hifni bersama empat relawan lain, menjalankan beberapa program seperti perpusatakaan alam bebas, perpustakaan desa, dan perpustakaan keliling di SMA. Program ini dibuat secara menarik sehingga anak-anak bisa belajar berliterasi secara menyenangkan dan tidak membosankan. Sesekali, ia mengajak anak belajar membaca di pinggir pantai dengan materi yang sesuai dengan kemaritiman.
Meski begitu, masih ada kendala yang ia hadapi, yaitu minimnya fasilitas ruang pembelajaran. Saat ini TBM tersebut berada di samping tempat tinggalnya berukuran 4x6 meter. Akses internet juga masih sulit. Padahal, intenet sangat diperlukan untuk mengajarkan literasi digital pada anak-anak di sana.
Saat ini, angka buta aksara di Provinsi NTT terbesar ketiga di Indonesia, yaitu sebanyak 5,15 persen, setelah Papua (28,75 persen) dan NTB (7,91 persen). Menurut UNESCO pada 2012, indeks membaca dari bangsa Indonesia hanya 0,001 persen, atau di antara 1.000 orang hanya satu orang yang membaca secara serius. Survei Most Literated Nation in The World pada 2015 pun menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara terkait status literasi masyarakat.
Mengembangkan potensi
Maman menambahkan, melalui TBM, komunitas di masyarakat bisa mengembangkan potensi yang dimiliki sesuai dengan karakter setempat. Untuk itu, taman bacaan masyarakat perlu difasilitasi berbagai praktik dan keterampilan yang berkaitan dengan kearifan budaya daerah.
“Fungsi literasi yang utama kan memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat,” katanya.
Ruhandi (33), pelopor TBM Kuli Maca di Desa Warungbanten, Lebak, Banten, yang juga Kepala Desa Warungbanten, mengatakan, masyarakat di daerahnya juga diajarkan untuk mengembangkan pertanian alami. Tujuannya agar perkembangan ekonomi di daerahnya bisa digerakkan secara masif.
Di setiap pos kampling atau pos keamanan di desanya juga disediakan sudut perpustakaan. Tidak hanya anak-anak saja yang bisa membaca buku di tempat tersebut, tetapi juga orangtua atau remaja yang sedang berjaga. “Kami juga berikan pengajaran untuk bermain alat musik daerah,” ujarnya.
Kolaborasi
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harris Iskandar menilai, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri untuk menuntaskan masalah buta aksara di Indonesia. Dengan jumlah 3,4 juta orang buta aksara di Indonesia, kolaborasi antara masyarakat, sekolah, orangtua, dan pemerintah menjadi sangat penting.
“Sinergi menjadi kata kunci. Untuk itu, semua harus berperan bersama dan menyatukan tujuan. Sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), Indonesia harus bebas dari buta aksara pada 2030,” ucapnya.