Kunjungan ke Museum Tekstil Rendah, Pengelola Tingkatkan Promosi
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengelola Museum Tekstil berusaha meningkatkan jumlah pengunjung dengan menggelar berbagai acara, seperti pameran dan diskusi. Namun, tingkat kunjungan masih tergolong rendah. Pengunjung berharap pemerintah meningkatkan investasi untuk mempromosikan kekayaan tekstil Nusantara.
Pameran Tekstil Asia yang digelar di Museum Tekstil, Jakarta Barat, seiring dengan perhelatan Asian Games XVIII telah memasuki hari ke-31, Sabtu (8/9/2018). Sejak 9 Agustus lalu, warga dapat melihat berbagai jenis wastra tradisional dari sejumlah negara Asia. Terdapat kemiripan bahan serta metode pembuatan wastra negara Asia yang satu dengan yang lain.
Kepala Satuan Pelaksana Edukasi dan Informasi Unit Pengelola Museum Seni DKI Jakarta Mis Ari mengatakan, pameran tematis serupa digelar untuk meningkatkan daya tarik museum di mata pengunjung. Pameran juga disesuaikan dengan tren di masyarakat.
”Pameran Tekstil Asia ini digelar karena beberapa waktu lalu ada Asian Games. Kami bekerja sama dengan berbagai pihak, seperti kolektor tekstil, kedutaan besar, dan lembaga swadaya masyarakat,” ujar Ari.
Beragam koleksi wastra di Pameran Tekstil Asia dipinjam dari berbagai pihak, baik perseorangan, perusahaan, maupun kedutaan negara-negara Asia. Ini mencakup saree dari Sri Lanka, kebaya khas nyonya peranakan Singapura, kain hiasan dinding dari Kirgistan, sarung bantal Palestina, hingga tikar upacara dari Asahan, Sumatera Utara.
Pameran Tekstil Asia akan ditutup dengan acara diskusi film dokumenter Tapis Dandan Sai Tutugan karya PG Wisnu Wijaya, Minggu (9/9/2018). Pameran ini akan segera disusul perhelatan seminar tentang wastra ikat celup Indonesia dan Jepang pada 13-14 September. Museum Tekstil akan bekerja sama dengan Museum Kyoto Shibori.
”Kami terus berusaha menganalisis kelebihan dan kekurangan Museum Tekstil. Kelebihan kami adalah koleksi wastra yang melimpah, lebih dari 3.000. Karena itu, kami terus mengadakan pameran, workshop, diskusi, hingga musikalisasi puisi bersama berbagai pihak,” lanjut Ari.
Meski demikian, hingga Sabtu siang, jumlah pengunjung Museum Tekstil baru mencapai 55 orang. Ari mengatakan, jumlah pengunjung memang cenderung rendah. Menurut data Museum Tekstil, jumlah pengunjung pada 2015 mencapai 60.086. Jumlah ini menurun menjadi 45.115 pada 2016, kemudian naik menjadi 50.038 pada 2017.
Jumlah tersebut jauh dari dua museum lain yang dikelola UP Museum Seni. Menurut data Litbang Kompas, Museum Wayang dikunjungi sekitar 381.000 orang pada 2017, sedangkan Museum Seni Rupa dan Keramik menerima lebih kurang 206.000 pengunjung.
”Museum Tekstil memang menjadi pekerjaan rumah bagi kami. Pertama, tempatnya cenderung ’menyendiri’, tidak di tengah kota. Kedua, Museum Tekstil itu untuk minat khusus saja,” ucap Ari.
Menurut dia, minat masyarakat terhadap museum telah meningkat dalam 10 tahun terakhir. Namun, karena Museum Tekstil cenderung diminati satu kelompok tertentu saja, ia bermaksud mengadakan program-program dengan komunitas desain.
”Museum itu bukan cuma buat belajar, tetapi juga menjadi inspirasi untuk mengembangkan industri kreatif. Di Museum Seni Rupa dan Keramik, ada kegiatan untuk komunitas sketsa tiap dua minggu sekali. Rencananya, kami akan mengadakan workshop desain komunikasi visual untuk mengembangkan fashion tradisional,” tutur Ari.
Ia menambahkan, para artis juga dapat melakukan riset di perpustakaan Museum Tekstil.
Investasi
Dari 55 orang yang mengunjungi Museum Tekstil pada siang itu, sebanyak 21 orang adalah mahasiswa home sciences Universiti Putra Malaysia. Mereka dipandu oleh dosennya, Anis Zakaria (46). Setiap tahun, ia membawa mahasiswanya ke Museum Tekstil.
”Sangat penting bagi mahasiswa saya untuk mengerti bahan-bahan, proses pembuatan, hingga perubahan batik di Indonesia sehingga mereka bisa membandingkannya dengan batik di Malaysia. Wawasan mereka tentang batik akan semakin luas,” kata Anis.
Malaysia, lanjutnya, juga memiliki museum tekstil yang mendapatkan anggaran dari Kementerian Pariwisata Malaysia. Menurut dia, alokasi anggaran bagi museum merupakan bentuk penghargaan terhadap kekayaan budaya.
Pengunjung lain, Alex (41) dan Kartini (39), merasa telah banyak perbaikan pada museum-museum di Jakarta, mulai dari infrastruktur hingga perawatan koleksi. Perbaikan itu tidak lantas membuat museum semakin ramai pengunjung. Karena itu, mereka berharap pemerintah berinvestasi lebih banyak di museum, termasuk Museum Tekstil.
”Saya sudah ke sini enam kali, tapi tidak pernah saya temui lebih dari 10 orang. Harusnya pemerintah invest lebih banyak di museum. Banyak sekali jenis kain, mulai dari batik, tenun, hingga ikat. Ini kekayaan Indonesia yang sebenarnya. Sayang kalau tidak ada perubahan,” ucap Kartini yang berasal dari Belgia.
Di sisi lain, Alex berharap pengelola museum menggalakkan promosi melalui media sosial. ”Supaya anak-anak yang lebih muda juga pergi ke museum, bukan hanya ke mal,” katanya.
Kepala UP Museum Seni Esti Utami menyebutkan, anggaran Pemerintah Daerah DKI Jakarta pada 2018 untuk UP yang dipimpinnya mencapai Rp 10,8 miliar. Menurut Esti, Museum Tekstil mendapatkan proporsi terbesar dari jumlah tersebut.
”Anggaran Museum Tekstil tahun ini lebih besar karena ada anggaran untuk Pameran Tekstil Asia, pameran batik, tenun, nonbatik tenun, dan pameran warna alam. Dibandingkan Museum Seni Rupa dan Keramik yang tahun ini cuma ada dua acara, tentu Museum Tekstil lebih banyak,” tutur Esti. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)