JAKARTA, KOMPAS — Tantangan kepolisian untuk mencegah tawuran di Ibu Kota semakin berat. Pemicu tawuran bukan hanya gesekan ataupun pertemuan fisik. Interaksi di media sosial juga bisa memicu kekerasan antarkelompok yang memakan korban jiwa.
Kekerasan antargeng baru-baru ini melibatkan pemuda yang sebagian besar dari kalangan pelajar. Setelah seorang tewas dalam pertikaian antargeng itu, polisi menetapkan sepuluh tersangka yang terdiri dari pelajar sekolah menengah atas. Dari semua tersangka itu, empat di antaranya berusia kurang dari 17 tahun.
Kepala Polres Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Indra Jafar berencana memperketat patroli siber. Hal ini perlu dilakukan karena percapakan mereka dengan kelompok korban diawali dari media sosial. ”Ke depan, polisi akan meningkatkan patroli seperti itu,” kata Indra, Kamis (6/9/2018).
Atas perbuatannya, mereka terancam hukuman selama-lamanya 5 tahun penjara untuk yang berusia kurang dari 17 tahun. Tersangka yang berusia lebih dari 17 tahun terancam hukuman selama-lamanya 15 tahun penjara. Ketentuan itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 170 KUHP.
Indra mengingatkan orangtua agar berperan aktif dalam mengetahui aktivitas anak untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan di luar jam sekolah. ”Orangtua harus tahu ke mana anak-anak mereka pergi, terutama yang masih di bawah umur. Apalagi di jam-jam malam, orangtua harus bisa mengawasi anak,” katanya.
Meski demikian, pengaruh komunikasi melalui media sosial dan aplikasi pesan menjadi kekhawatiran beberapa keluarga pelajar yang menjadi pelaku. Oji, kakak pelaku berinisial F, tidak menyangka adiknya yang dikenal dekat dengan keluarga mau dipengaruhi ajakan tawuran yang dikomando melalui grup aplikasi pesan.
Ayah pelaku berinisial S juga tidak kuasa mengawasi pergaulan anak dalam genggaman gawai. ”Saya suka mengecek komputer yang biasa dipakai anak untuk bermain gim dan berselancar. Tapi, untuk mengawasai aplikasi pesan dan semacamnya yang biasa diakses dengan ponsel tidak bisa karena diprivasi anak,” katanya.
Evaluasi
Sosiolog Universitas Indonesia, Daisy Indira Yasmin, yang meneliti tawuran di Johar Baru, Jakarta Pusat, berpendapat, pihak sekolah harus mengevaluasi apakah ada tekanan sosial kepada siswa seperti hubungan antarsiswa dan guru. Budaya senioritas seperti perundungan dapat memupuk budaya kekerasan terhadap remaja.
Tekanan sosial itu tidak hanya bisa terjadi di internal sekolah tetapi juga antarsekolah. ”Apalagi ada pertengkaran di media sosial. Di media sosial ujaran kebencian mudah dilontarkan hingga akhirnya memicu kekerasan,” kata Daisy.
Pada usia remaja, anak-anak membutuhkan wadah positif untuk menyalurkan energinya. Ketika ada tekanan sosial, dan mereka tidak bisa meluapkan itu dalam kegiatan positif, akhirnya mereka memperlihatkan eksistensinya ke hal negatif seperti tawuran. Masing-masing pihak harus duduk, mencari akar permasalahan, dan melakukan upaya preemtif untuk menyelesaikan masalah sosial itu.
Sementara itu, psikolog klinis Kasandra Putranto mengatakan kontrol guru dan orangtua terhadap pergaulan anak sangat diperlukan. Apalagi di era digital yang kini memungkinkan komunikasi secara instan. Selain mengawasi kegiatan sehari-hari anak, guru atau orangtua bisa memeriksa jejak digital anak. ”Komunikasi dengan anak sehari-hari juga perlu ditingkatkan,” ujarnya.
Pemetaan
Tawuran antargeng di Jakarta Selatan melibatkan kelompok Sparatiz yang dikomando buron berinisial I menantang kelompok pelajar yang dikenal Redlebbels (RDL). Terhadap penemuan tersebut, Polres Metro Jakarta Selatan mengingatkan aparat kepolisian untuk memetakan sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan kelompok-kelompok itu.
Sementara itu, Direktur Pembinaan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Komisaris Besar Sambodo Purnomo patroli siber untuk mencegah tawuran membutuhkan peran aktif pihak sekolah, siswa, orangtua, dan warga.
”Kalau ada ucapan di medsos yang memancing tawuran laporkan ke polisi. Kami punya unit kejahatan siber yang bisa melacak siapa yang mengunggah, jadi tidak perlu main hakim sendiri,” kata Sambodo. Menurut dia, tawuran itu sifatnya turun temurun yang dipengaruhi lingkungan dan teman. Siapa saja yang bergabung dengan massa yang beringas, mereka bisa menjadi beringas. (Erika Kurnia)