Kenaikan Tarif PPh Impor Berpotensi Hambat Pertumbuhan Ekonomi
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) impor Pasal 22 untuk barang komoditas dinilai sudah tepat. Namun, pemerintah juga harus menyadari konsekuensi yang akan diterima, seperti melambatnya pertumbuhan ekonomi. Kenaikan tarif PPh juga sebaiknya ditinjau kembali setelah neraca perdagangan Indonesia sudah positif.
Rabu (5/9/2018), Menteri Keuangan Sri Mulyani menandatangani peraturan menteri keuangan yang menetapkan kenaikan tarif PPh impor terhadap 1.147 komoditas. Hal ini dinilai sebagai langkah yang tepat. Kendati begitu, pemerintah juga harus menyadari efek yang akan ditimbulkan dari kebijakan tersebut.
Hal ini diungkapkan mantan Menteri Koordinator Perekonomian Kwik Kian Gie saat ditemui di Jakarta pada Rabu malam.
Menurut Kwik, langkah pemerintah untuk menaikkan tarif PPh impor terhadap beberapa komoditas sudah tepat untuk saat ini. Kendati begitu, ia juga mengingatkan, kebijakan pemerintah tersebut juga pasti berdampak pada sektor-sektor perekonomian lain.
”Kebijakan menaikkan tarif impor pasti ada konsekuensinya. Salah satunya adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia,” kata Kwik Kian Gie, Wakil Ketua MPR (1999) di era Presiden BJ Habibie, Menko Ekuin (1999-2000) di era Presiden KH Abdurrahman Wahid, serta Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (2001-2004) di era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Kebijakan menaikkan tarif impor pasti ada konsekuensinya. Salah satunya adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Menurut Kwik, pertumbuhan sektor ekonomi yang terkena kenaikan tarif akan melambat. Hal ini disebabkan semakin mahalnya biaya produksi karena harus membayar biaya impor. Pertumbuhan ekonomi akan semakin melambat apabila tarif tersebut diberlakukan pada barang-barang yang murah.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro mengatakan, kenaikan tarif impor merupakan salah satu upaya negara menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia bergerak cepat dalam mengatasi masalah yang ada. Kombinasi dari kebijakan ini dan juga intervensi yang dilakukan Bank Indonesia akan dapat menarik kembali investor luar negeri ke Indonesia.
Ari juga menjelaskan, dengan menaikkan tarif, beberapa proyek di Indonesia yang membutuhkan bahan-bahan impor seperti mesin akan terhambat progres pembangunannya.
Selain itu, ia juga menyebutkan, kebijakan ini harus dikaji ulang setelah kondisi perekonomian Indonesia membaik.
Kenaikan tarif impor merupakan salah satu upaya negara menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia bergerak cepat dalam mengatasi masalah yang ada.
Menurut Ari, tujuan menaikkan tarif PPh adalah agar neraca perdagangan Indonesia kembali positif. Oleh karena itu, setelah neraca perdagangan baik, sebaiknya kebijakan ini harus dievaluasi. Hal ini karena ada beberapa barang ekspor Indonesia yang juga memerlukan bahan-bahan impor, seperti tas kulit. Apabila tidak ditinjau kembali, akan ada sektor ekonomi Indonesia yang terkena dampak negatif kenaikan PPh.
”Berkaca dari melemahnya nilai rupiah pada 2015, saya kira pemerintah dapat menguatkan nilai rupiah dalam waktu empat sampai lima bulan. Setelah itu, perdagangan akan kembali meningkat, yang berdampak pada neraca perdagangan Indonesia. Apabila dua hal ini sudah terjadi, kebijakan tarif PPh impor ini baiknya dikaji ulang,” tutur Ari.
Pemerintah telah menetapkan kenaikan tarif PPh impor pada 1.147 barang komoditas pada Rabu, 5 September. Tarif pajak 210 barang mewah, seperti mobil utuh (completely built up/CBU) dan motor besar, naik dari 7,5 persen menjadi 10 persen.
PPh impor 218 barang konsumsi yang bisa diproduksi dalam negeri, seperti barang elektronik, kosmetik, dan peralatan masak, naik dari 2,5 persen menjadi 10 persen.
Sementara PPh impor 719 barang yang digunakan dalam proses konsumsi, seperti bahan bangunan dan produk tekstil, naik dari 2,5 persen menjadi 7,5 persen. (LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA TELLING)