Cerita Lu, Korban Perdagangan Manusia
Marip Lu menatap nanar foto-foto putranya yang masih berusia tiga tahun. Semakin ia melihat foto-foto itu, semakin ia merasa bahwa inilah saat terakhir ia bersama anaknya.
Anak laki-laki itu sedang berdiri di ruang tamu rumah mereka di Desa Gucheng, Provinsi Henan, China. Dadanya mungil menggembung, mata coklatnya berseri-seri saat dia menonton kartun di televisi. Marip Lu ingin mengingat anaknya dalam kondisi seperti ini: tersenyum, ceria, polos.
Anak laki-laki kecil itu tidak tahu bahwa Marip Lu, ibunya, kini menghadapi pilihan yang menyayat hati yang akan mengubah hidup mereka: tinggal bersama anaknya tapi tetap menjadi sandera keluarga China itu, atau meninggalkan anaknya dan menghirup udara bebas.
Ya, Marip Lu adalah korban perdagangan manusia. Enam tahun lalu, Marip Lu dibius, diculik, dan diperdagangkan ke tempat ini jauh dari negara asalnya, Myanmar. Dia dipukuli dan disiksa, dipaksa untuk ”menikah” dengan seorang pria cacat mental, dan berulang kali diperkosa.
Sekarang orang-orang yang menyelamatkan Marip Lu telah memperingatkan bahwa terlalu berbahaya untuk membawa putranya. Namun, bagaimana dia bisa pergi tanpa putranya?
”Bagaimana kalau dia tidak pernah memiliki seseorang untuk dipanggil \'mama\'?” Marip Lu terus bertanya kepada diri sendiri. ”Apa yang akan mereka lakukan kepadanya jika aku tidak ada lagi di sana?”. Hal-hal itulah yang menjadi beban pikiran Marip Lu.
Ingin bekerja
Sebagai gadis muda yang tumbuh di Myanmar Utara, Marip Lu menghabiskan waktunya untuk sekolah, ke gereja, dan bertani di sawah keluarga. Namun, pada Juni 2011 perang merebak antara militer Myanmar dan pemberontak dari etnis minoritas Kachin. Keluarga Marip Lu yang merupakan etnis Katchin terpaksa mengungsi ke rumah saudara di Laiza, perbatasan China.
Kepindahan mereka ke tempat yang baru itu justru membawa mereka ke marabahaya yang lain, yakni perdagangan manusia yang membujuk gadis-gadis muda dengan janji-janji palsu akan memberikan pekerjaan di China. Namun, ketika para gadis tiba di China, mereka diculik dan dijual sebagai ”pengantin” dengan harga 5.000-10.000 dollar AS (Rp 75 juta-Rp 150 juta). Hal itu diungkapkan oleh Myu Shayi dari Asosiasi Perempuan Kachin.
Tak ada yang tahu berapa gadis yang telah diperdagangkan karena nasib gadis-gadis itu tak terdengar lagi atau mereka malu melaporkan kejahatan yang menimpanya. Meski demikian, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan dalam laporan terbarunya bahwa jumlah perdagangan manusia di Myanmar meningkat, dan Asosiasi Myu Shayi mengatakan bahwa jumlah korban dari Kachin meningkat dari 35 menjadi 50 orang pada tahun lalu.
Sementara itu, pemerintah Myanmar melaporkan ada lebih dari 1.100 kasus di Myanmar sejak 2010. Pengamat hak asasi manusia, Heather Barr, yang telah mewawancarai 37 korban pada tahun ini, menyatakan bahwa jumlah tersebut hanyalah puncak gunung es.
Fenomena ini merupakan konsekuensi langsung dari kebijakan satu anak di China. Kebijakan itu menyebabkan masalah keseimbangan jender bangsa China selama beberapa dekade sebelum pemerintah mengakhiri kebijakan itu dua tahun lalu.
Meski kebijakan satu anak sudah diakhiri, jumlah pria di China masih lebih banyak daripada jumlah perempuan, hingga lebih dari 30 juta. Kurangnya jumlah perempuan di China mendorong permintaan besar akan ”pengantin perempuan” dari negara tetangga, seperti Vietnam, Laos, dan Korea Utara.
Meskipun pemerintah China telah membongkar praktik perdagangan manusia itu, para pembela hak asasi mengatakan bahwa penegakan hukum masih lemah dan praktik itu terus berlanjut.
Menolak tuduhan
Untuk memperjelas kasus yang dialami Marip Lu, wartawan AP berkunjung ke Desa Gucheng dan mewawancarai Li Qinggong dan istrinya Xu Ying yang dituduh Marip Lu telah menyandera dirinya. Namun, kedua orang itu menolak tuduhan tersebut.
Akan tetapi, keduanya tidak bisa menjelaskan bagaimana Marip Lu bisa berada di desa mereka, dan bagaimana Marip Lu bisa bertemu dan ”menikah” dengan anak mereka Li Mingming yang cacat mental. Saat AP mendatangi rumah mereka, Li Mingming hanya mengoceh tak jelas.
Li Qinggong bersikeras tidak menculik atau membeli Marip Lu. Xu bahkan mengklaim memperlakukan Marip Lu seperti anaknya sendiri. Padahal, Marip Lu mengaku dirinya diperkosa oleh Li Qinggong sampai hamil dan anak Marip Lu kepada tetangga mereka disebut sebagai cucu oleh Li Qinggong dan istrinya.
Sementara Marip Lu yang telah berhasil melarikan diri dan kembali ke Kachin menceritakan bahwa ia semula ditawari bekerja di restoran di Yingjiang, setengah jam perjalanan dengan mobil dari kota Laiza. Tawaran itu berasal dari perempuan tetangganya yang telah dikenal keluarganya selama bertahun-tahun.
Saat ia meminta izin orangtuanya untuk bekerja, ibunya Tangbau Hkawn memintanya untuk tidak pergi karena dia masih sangat muda, 17 tahun, dan tidak pernah keluar Myanmar. Namun, ia berhasil meyakinkan ibunya.
Ketika ia masuk ke wilayah China pada September 2011, tak ada penjaga perbatasan, tak ada titik pemeriksaan. Di Yingjiang, setelah ia makan semangkuk mi saat makan pagi, ia mulai merasa pusing, pandangannya gelap. Saat kesadarannya menurun, ia kemudian dibawa dengan sepeda motor oleh seorang pria.
Ketika ia terbangun, telepon seluler dan kartu identitas Myanmar dan sejumlah uang kyat Myanmar miliknya raib. Ia pun sadar telah dijebak dan kemudian dijual kepada keluarga Li Qinggong, diperkosa, hamil, dan melahirkan anak laki-laki dua tahun setelah diculik. Selama enam tahun dia disandera.
Secercah harapan
Hidupnya berubah ketika ia menemukan sebuah telepon seluler yang dibuang di dalam bak sampah. Telepon itu tak ada kartunya. Ia pun berusaha membeli kartu telepon baru dengan menyisihkan uang belanja.
Marip Lu melihat ada secercah harapan. Memerlukan beberapa minggu sampai akhirnya ia bisa membeli kartu telepon dan berusaha mengontak keluarga di Myanmar, tetapi gagal.
Singkat cerita, ia mengontak sejumlah nomor telepon di Provinsi Yunan yang berbatasan dengan Myanmar dan akhirnya asosiasi Myu Shayi membantu Marip Lu untuk bisa melarikan diri dari desa tempat ia tinggal selama ini.
Seorang aktivis dari asosiasi Myu Shayi bernama Hkawn Shawng meminta Marip Lu untuk meng-install aplikasi WeChat dan menekan ikon balon. Ketika Marip Lu menekan tanda ”kirim”, peta digital pun muncul di telepon seluler Hkawn Shawng dengan bendera merah. Untuk pertama kali diketahui keberadaan Marip Lu, 200 kilometer dari kota Laiza, kota asalnya di Myanmar.
Semula Myu Shayi menggunakan protokol formal dengan menulis surat kepada otoritas China untuk membebaskan Marip Lu. Namun, mereka menunggu berbulan-bulan. Polisi memang datang ke rumah Li Qinggong dan istrinya serta membawa Marip Lu ke kantor polisi untuk ditanyai. Namun, kemudian polisi justru menelepon Li Qinggong agar membawa Marip Lu pulang.
Hkwan Shawng pun menerima surat dari polisi China yang menyatakan bahwa Marip Lu telah menyatakan kepada polisi bahwa ia tak ingin kembali pulang ke Myanmar. Tidak jelas apa yang terjadi, tapi Hkwan Shawng berspekulasi bahwa polisi telah disuap oleh Li Qinggong.
Karena itu, Myu Shayi kemudian membuat rencana yang baru untuk membebaskan Marip Lu. Myu Shayi memiliki banyak jaringan di China yang membebaskan gadis-gadis korban perdagangan manusia.
Hkwan Shawng mengirimkan seorang sopir untuk menjemput Marip Lu, tetapi ia harus pergi jauh dari rumah tempat ia tinggal selama ini supaya mobil itu tidak bisa dilacak. Myu Shayi hanya bisa membebaskan Marip Lu tanpa anaknya karena anaknya berkewarganegaraan China dan membawa anak berarti akan muncul tuduhan penculikan anak.
Hari kebebasan
Rabu, 3 Mei 2017, Marip Lu membawa anaknya pulang ke rumah seusai sekolah pukul 11.00. Dia pun telah mengepak dua baju di dalam tas kecil berwarna merah muda. Di dalamnya berisi sedikit uang dan beberapa foto anaknya yang telah dilaminating.
Anaknya berdiri menarik kakinya karena kelaparan. Marip Lu kemudian menyuruh anaknya ke dapur untuk menunggu ia menyiapkan makan siang. Setelah anaknya masuk ke dapur, Marip Lu pun pergi ke garasi dan membawa pergi sepeda motor keluarga yang menyanderanya selama ini.
Ia pergi sambil berurai air mata karena harus meninggalkan anaknya. Ia tak berani mengucapkan ”selamat tinggal ataupun memeluk anaknya untuk terakhir kali.
Setengah jam kemudian, di dekat kota Marip Lu melihat sebuah van dengan seorang pria berbaju putih berada di luar van. Pria itu kemudian meminta segera naik van. Setelah beberapa hari Marip Lu pun kembali ke perbatasan Myanmar menuju kota asalnya.
Keluarga yang melihatnya untuk pertama kali sejak 2011 menangis memeluknya dan tidak percaya bahwa Marip Lu kembali pulang. Mereka mengira ia telah mati. Meskipun ia telah kembali ke Myanmar setahun yang lalu, Marip Lu masih saja berteriak saat tidur, kadang mengigau, ketakutan, dan mengalami mimpi buruk.
”Mereka telah menghancurkan hidup saya,” kata Marip Lu yang berharap bisa bertemu dengan anaknya suatu saat nanti. (AP)