Tentang Pembentukan Kaldera
Semua berawal dari letusan dahsyat Gunung Krakatau di bulan Agustus tahun 1883 dan meninggalkan diameter kaldera 8 kilometer. Setelah letusan mereda, Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan ahli geologinya, RDM Verbeek, untuk meneliti dan menganalisis bagaimana letusan besar itu terjadi.
Melalui terbitan majalah ilmiah Nature, pada 22 Oktober 1885, hasil kajian Verbeek dimuat dengan tulisan berjudul Krakatau. Tulisannya berhasil memenuhi harapan banyak pihak, terutama munculnya konsep collapse caldera (kaldera runtuhan atau amblesan). Sejak itu, kajian kaldera dari ahli seluruh dunia pun berkembang pesat.
Waktu menunjukkan jam satu siang. Saat itu, tanggal 26 Agustus 1883. Krakatau yang berada di Selat Sunda meletus. Gelegarnya seperti geluduk terdengar sampai di Bogor, yang berjarak sekitar 400 kilometer (km). Kolom letusan berwarna gelap naik setinggi 27 km.
Letusan berlanjut hingga keesokan harinya. Pukul 10 pagi. Kolom abu vulkaniknya membumbung tinggi kira-kira 80 km. Kali ini dentumannya lebih dahsyat hingga menembus Benua Australia. Selama 30 menit kemudian, gelombang pasang setinggi 40 meter (m) mengempas dan menelan pantai-pantai di sepanjang Banten dan Lampung. Tsunami datang. Karena sapuan gelombang pasang tersebut, banyak korban meninggal, sekitar 36.000 jiwa. Dan, letusan terus bertubi-tubi meski tak lagi diiringi tsunami.
Atas besarnya letusan Krakatau di hari itu, Verbeek menghitung total material yang keluar, yaitu 18 km3. Sebanyak 95 persen dari total material tersebut merupakan material magma. Sisanya atau 0,9 km3 berasal dari bahan-bahan hancuran bagian Pulau Rakata, Danan, dan Perbuwatan. Artinya, ketiga pulau itu dengan tersisa sebagian Pulau Rakata bukanlah karena hancur terlempar bersama kolom letusan, melainkan runtuh atau ambles.
Mengapa runtuh? Karena volume kerucut-kerucut dari pulau yang hilang tersebut yang di atas permukaan laut saja ada sekitar lebih dari 25 km3. Maka, Verbeek yakin, kaldera Krakatau terbentuk karena proses amblesan. Puncak proses amblesan berlangsung ketika terjadi gelombang pasang tertinggi di tanggal 27 Agustus 1883, pukul setengah sebelas pagi.
Proses amblesan atau runtuhan dari kajian Verbeek dari letusan Krakatau menjadi pijakan betapa adanya kaldera menjadi penting bagi ilmu geologi. Betapa adanya dapur magma yang besar itu memicu adanya pemahaman bagaimana proses magma di dalam bumi, khususnya konsentrasi-konsentrasi magma dalam jumlah yang besar.
4 Jam Krakatau
Terdapat tiga pulau berimpitan. Pulau-pulau itu berderet dari arah tenggara ke arah barat laut. Bernama, Pulau Rakata, Pulau Danan dengan kerucut vulkanik tinggi 450 meter dari permukaan laut (mdpl), dan Pulau Perbuwatan, kerucut vulkanik tinggi 120 mdpl.
Lepas dari deretan tiga pulau tersebut, terdapat dua pulau lagi. Pulau Verlaten di sebelah barat laut dan Pulau Lang di timur laut.
Pulau-pulau ini semua ada sebelum adanya letusan dahsyat di area yang saat ini ditempati oleh Gunung Anak-Krakatau. Sebelum 1883, Rakata, Danan, dan Perbuwatan adalah kerucut vulkanik aktif. Meskipun batuan di Rakata tersusun dari produk magma basaltic, pada tahun 1680, di kerucut Perbuwatan terjadi letusan dengan komposisi andesitic (lebih asam dari yang di Rakata). Setelah itu Gunung Krakatau tidak menunjukkan kegiatan selama 200 tahun sampai menjelang terjadi letusan 1883.
Pada tahun 1883, Krakatau memulai letusannya pada 20 Mei 1883. Puncak erupsi hebat pada 26-28 Agustus 2018.
Sepanjang bulan Mei 1883, kerucut Perbuwatan ikut meletus meski skalanya kecil. Ketika diteliti, pada tanggal 27 Mei 1883, sebagian pulau-pulau tertutup abu. Terjadi vegetasi meskipun tidak terbakar, tapi mati atau layu.
Beberapa bagian di Pulau Lang (timur laut) ditemui batu apung dan hancuran dari lava tua. Selanjutnya tidak ada aktivitas yang berarti sampai tanggal 19 Juni 1883.
Memasuki bulan Juli 1883, aktivitas vulkanik kembali stabil. Tak ada petunjuk bakal meletus besar di tanggal 26-28 Agustus 1883. Data visual yang diperoleh pada tanggal 11 Agustus 1883 hanya menunjukkan adanya pusat-pusat erupsi yang berderet mulai dari kerucut Perbuwatan ke kerucut Danan.
”Mari kita mempelajari kejadian pembentukan kaldera Krakatau. Kronologi letusan Krakatau ini menjadi menarik karena menjadi cikal bakal proses pembentukan kaldera terbaru di muka bumi di tahun 1883. Bisa jadi, Krakatau pernah meletus dan membentuk kaldera di tahun 416AD. Hanya saja, penjelasan untuk itu hampir minim informasi. Sementara kejadian pembentukan kaldera Krakatau pada tahun 1883 relatif sangat rinci,” kata Antonius Ratdomopurbo, ahli geologi yang juga Sekretaris Badan Geologi, di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (1/9/2018).
Kronologi letusan Krakatau ini menjadi menarik karena menjadi cikal bakal proses pembentukan kaldera terbaru di muka bumi di tahun 1883.
Secara umum diketahui bahwa letusan Krakatau terjadi pada tanggal 27 Agustus 1883. Meski demikian, prosesnya sendiri berlangsung sejak Mei 1883.
Tabel kronologi di atas menunjukkan, letusan yang membentuk kaldera dan menghasilkan ignimbrite yang terjadi secara bersamaan. Banyak titik letusan dalam area luas sepanjang rekahan yang membelah Krakatau. Maka dapat disimpulkan, letusan-letusan gunung api yang terjadinya dari hanya satu titik letusan dari kerucutnya, mempunyai kemungkinan kecil untuk membentuk kaldera.
Hal kedua yang dapat disarikan dari kronologi tersebut adalah proses runtuhan (collapse) yang membentuk kaldera terjadi sangat singkat. Pembentukannya terekam dari pukul 05.43 WIB sampai dengan pukul 10.00 WIB atau sekitar empat jam. Letusan ini diikuti dengan tsunami.
Lalu, lanjut Purbo, erupsi lanjutannya yang cukup besar juga yang terjadi pada pukul 10.59 WIB. Hanya saja, erupsi susulan ini tidak disertai dengan tsunami. Artinya, letusan susulan tersebut terjadi setelah proses amblesan selesai.
Menimbun peradaban
Bagi Indonesia, yang terletak di busur subduksi Sumatra-Jawa-NusaTenggara serta busur subduksi Sulawesi-Halmahera, keberadaan kaldera menjadi morfologi yang banyak ditemui di sepanjang pulau-pulau tersebut. Pertanyaannya, apakah kita siap menghadapi peristiwa sebesar letusan Krakatau di tahun 1883? Karena itu, kajian, pengetahuan, dan mitigasi menjadi penting sebagai antisipasi jika terjadi letusan sedahsyat itu ke depannya.
”Kaldera atau secara teknis disebut sebagai kaldera runtuhan (collapse caldera) merupakan sebuah struktur permukaan bumi yang penting bukan hanya sisi ilmiah kegeologian. Tidak hanya juga dari sisi ancaman kebencanaan. Namun, kaldera runtuhan tersebut memiliki potensi sumber daya alam luar biasa, yakni menjadi sumber potensi energi geothermal yang besar dan sering berasosiasi dengan deposit mineral yang tentunya bernilai ekonomi,” papar Purbo ketika ditemui bersama anggota Tim Kaldera Nusantara, di Kantor Badang Geologi, Bandung.
Meskipun kejadian runtuhan dahsyat sangat jarang terjadi dalam era sejarah manusia, rekaman geologi menunjukkan pembentukan kaldera menjadi salah satu kejadian yang paling katastrofik di muka bumi ini. Dan, peristiwanya berpengaruh besar pada iklim dan kehidupan manusia, seperti disarikan Geyer dan Marti (2008).
Ulasan ini sendiri merupakan bagian Seri 1 Kaldera Nusantara yang mulai dipublikasi harian Kompas pada Rabu (5/9/2018). Edisi Kaldera Nusantara merupakan liputan kerja sama harian Kompas bekerja sama dengan Tim Kaldera Badan Geologi Kementerian ESDM.
Kembali ke persoalan bagaimana tentang kaldera, lokasi dari aktivitas geothermal yang kuat sehingga merupakan daerah yang potensial untuk memenuhi kebutuhan listrik biasanya berada di wilayah kaldera. Tak hanya itu, Cole dkk dalam Calderas and caldera structures: a review (2005) menyarikan adanya lokasi kaldera juga sering menjadi tempat berlangsungnya proses mineralisasi. Selanjutnya, area itu memiliki potensi bagi pemenuhan kebutuhan bahan mineral/tambang.
Ada beberapa contoh kejadian pembentukan kaldera telah menimbun peradaban yang sudah ada sebelumnya. Peradaban Minoan di Thera Yunani, misalnya, tertimbun letusan pembentuk kaldera Santorini. Lalu, kaldera Tambora di tahun 1815, meskipun termasuk kaldera kecil, menimbun peradaban sekitarnya di Sumbawa Barat. Krakatau di tahun 1883 pun banyak menimbulkan korban jiwa karena tsunami (gelombang pasang) yang ditimbulkannya.
Vesuvius, letusan besar di tahun 1879, telah menimbun Pompey dan Herculanum, tidak jauh dari Napoli. Masih banyak lagi kejadian pembentukan kaldera yang tidak tercatat sejarah namun secara geologi terbukti telah menyebarkan endapan-endapan yang luas.
Pada tahun 1974, Hammer dkk, kolaborasi peneliti asal Amerika Serikat, Swiss, dan Denmark, melakukan pengeboran perlapisan es untuk mendapatkan inti bor (ice-core) setinggi 404 meter. Dengan pengukuran umur, inti bor setinggi 404 meter tersebut mewakili pembentukan lapisan es dari sekitar tahun 560 M sampai tahun 1974 saat itu.
Hammer dkk, pada tahun 1980, memublikasikan hasil pengukuran keasaman dari inti bor tersebut. Mereka menemukan keasaman tinggi pada setiap kejadian letusan besar pembentukan kaldera seperti Krakatau 1883, Tambora 1815, dan juga di area lain di luar Indonesia. Hasil ini menunjukkan, di setiap kejadian letusan super-besar, atmosfer menjadi sangat asam (relatif sesaat). Puncak-puncak keasaman yang (relatif) sesaat itu memberikan angka tahun yang akurat terjadinya letusan super-besar.
Penelitian mendeteksi adanya Letusan Besar yang terjadi di tahun 1259. Akan tetapi, para peneliti belum bisa memastikan letusan terbesar tersebut berasal dari gunung apa serta lokasinya di mana.
Letusan besar tersebut terjadi , tapi belum diketahui unknown. Spekulasi muncul di tahun-tahun berikutnya. Mereka menduga letusan tersebut terjadi di Icelandia, New Zealand, atau lokasi lainnya. Belum ada bukti kuat untuk meyakinkan.
Dari tingkat ”keasaman”, letusan 1259 jauh lebih besar dari Krakatau 1883, ataupun Tambora 1815. Seperti, Gunung Tambora di Pulau Sumbawa yang berjarak 1.126,5 km sebelah timur dari Krakatau, mengeluarkan dua kali volume materi ke dalam atmosfer. Tambora mengeluarkan volume 17,7 kilo meter kubik (km3) bebatuan, abu dan debu, jika dibandingkan dengan Krakatau yang ternyata hanya 9,7 km3 saja. Paling tidak ada 50.000 orang tewas, seluruh Tambora menjadi lenyap, seluruh pulau tidak bisa dihuni selama bertahun-tahun.
Dampak pada cuaca sangat hebat karena menurunkan suhu udara bumi rata-rata hampir 1 derajat centigrade. Di New England, para petani menyatakan bahwa tahun 1816 adalah tahun tanpa musim panas atau dikenal year without summer.
Ada embun beku sampai jauh ke selatan hingga New Jersey di akhir bulan Mei sampai New England bagian atas pada bulan Juni dan Juli. Musim tanam terpotong dari 160 hari menjadi 70 hari. Ternak harus diberi makan ikan sehingga diingat sebagai tahun ikan mackarel. Ada banyak gagal panen.
Eropa keadaannya cukup buruk. Anggur Perancis tak dapat dipanen sampai bulan November 1816. Panen gandum Jerman gagal seluruhnya dan berdampak naiknya harga tepung dua kali lipat. Beberapa tempat pun kelaparan dan migrasi besar-besaran.
Tambora menjadi salah satu contoh erupsi gunung api besar yang tak bisa dibendung jika itu adalah kehendak alam. Musim dingin mencekam yang disebabkan Tambora, sebuah gunung api yang sama sekali tak dikenal kebanyakan dari mereka dan terletak 16.093 km jauhnya. Dahsyat.
Begitu pula letusan Krakatau yang tak disangka-sangka. Tiba-tiba dentuman keras terdengar dan asap membubung tinggi lalu membuat seperti payung. Beberapa saat, hujan abu menyerang. Sejumlah surat kabar asing pun memberitakannya melalui laporan kabel telegram kala itu. Letusan itu menelan korban tewas sekitar 36.000 jiwa.
Berdasarkan pengumpulan data dari berbagai sumber yang dikumpulkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, Indonesia menduduki urutan pertama dari bencana erupsi gunung api di dunia. Sejumlah erupsi menewaskan sekitar 169.000 jiwa sejak tahun 1800-an hingga tahun 2013.
Melanjutkan pengaruh pengukuran es di kutub, di tahun 2006, dengan analisis yang lebih rinci, peneliti mulai mengetahui adanya letusan-letusan besar dan super besar yang pernah terjadi.
Meski belum tepat, penelitian mulai mengarah. Saat itu analisisnya adalah meski sebagian besar belum diketahui sumbernya, misalnya letusan tahun 1259 diduga berasal dari Ekuador. Penelitian lebih akurat tahun deposit ice-core, yaitu tahun 1258, di bulan Januari. Tepatnya, letusan besarnya terjadi di tahun 1257 dan diperkirakan terjadi antara bulan Mei-Oktober 1257.
Baru pada tahun 2013, peneliti lainnya, Lavigne dkk, menemukan bukti kuat letusan besar tahun 1259 tersebut berasal dari Pulau Lombok, yaitu Gunung Rinjani. Anehnya, bukti kuat itu muncul dari manuskrip Babad Lombok yang ditulis pada kertas lontar dalam bahasa Jawa-kuno.
Dalam Babad Lombok tersebut diceritakan adanya kejadian letusan besar dari Gunung Samalas, sebelah Rinjani (seperti letusan di Rakata untuk Gunung Krakatau). Temuan ini yang mendasari untuk dilakukan penelitian geologi lebih rinci di endapan-endapan kaldera Rinjani atau Samalas.
Karena itu, informasi kaldera diharapkan menjadi penting bagi kita semua guna memahami keberadaan gunung api, bagaimana erupsi, prosesnya, dan membedakan antara kawah dan kaldera. Berusaha memahami apa saja produknya. Letusan dahsyat yang membentuk kaldera memang mampu melumpuhkan aktivitas bumi. Menelan ratusan ribu korban jiwa. Tapi, di balik kekuatan itu, peradaban manusia justru menjadi berkembang.
Manusia menjadi kreatif untuk lebih tangguh menghadapi bencana. Jika kita mampu mengenali, bencana dapat dikelola, meskipun bahaya geologi (bencana erupsi gunung api, gempa bumi, tsunami, dan gerakan tanah) tidak dapat dihentikan oleh manusia. Bencana geologi adalah kehendak alam dan belum ada satupun ahli geologi yang dapat memprediksi secara tepat kapan terjadi.