Dialog Menjadi Kunci Peningkatan Pelayanan Kesehatan
Oleh
Evy Rachmawati
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Minimnya kesadaran masyarakat, penyedia layanan, dan pemerintah desa terhadap standar pelayanan minimal mengakibatkan rendahnya mutu layanan kesehatan ibu dan anak. Kebutuhan warga jadi tak selaras dengan perencanaan yang dilakukan penyedia layanan dan pemerintah. Dialog antara ketiga komponen ini jadi kunci mengatasi persoalan ini.
Hal itu mengemuka dalam Festival Pembelajaran Program Akuntabilitas Sosial untuk Peningkatan Layanan Publik di Jakarta, Kamis (6/9/2018). Kegiatan ini diadakan Kementerian Perencanaan Pembangunan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Global Partnership for Social Accountability (GPSA), Wahana Visi Indonesia (WVI), dan Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan Kemitraan Pemerintah Australia-Indonesia (KOMPAK).
Koordinator Advokasi WVI Rikardus Wawo mengatakan, peran dialog antarkomponen itu dalam peningkatan layanan kesehatan ibu dan anak dapat dilihat dari program Suara dan Aksi Warga Negara yang diadakan WVI di Nusa Tenggara Timur. Program yang berlangsung pada 2014-2018 ini diadakan di 60 desa di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Sikka, Timor Tengah Utara, dan Kupang.
Menurut Rikard, rendahnya pelayanan kesehatan terhadap ibu dan anak di tiga kabupaten itu disebabkan kurangnya kesadaran warga terhadap hak mereka dalam mendapatkan mutu standar pelayanan minimal (SPM) yang baik. Akibatnya, kesadaran penyedia layanan dan pemerintah desa dalam memberikan SPM yang baik tak terbangun.
“Masyarakat diam saja saat mendapat layanan dasar kesehatan bermutu rendah. Padahal, mendapatkan pelayanan yang baik adalah hak masyarakat. Mereka tidak sadar kalau sarana dan tenaga kesehatan suatu fasilitas kesehatan harus memadai,” ujarnya.
Melalui program pendampingan ini, masyarakat diedukasi agar sadar terhadap haknya. Setelah itu, mereka memberikan penilaian terhadap SPM yang diberikan penyedia layanan. Dengan demikian, penyedia layanan bisa mengukur kualitas layanan yang telah diberikan kepada masyarakat.
Kedua pihak ini kemudian dipertemukan untuk membahas persoalan pelayanan kesehatan di desa tersebut. Melalui dialog yang konstruktif, masyarakat dan penyedia layanan kemudian menghasilkan rencana aksi untuk memperbaiki layanan. Dalam mewujudkan hal itu, masyarakat juga berdialog dengan pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan pengelola anggaran.
“Selama ini ada gap antara kebutuhan masyarakat dan apa yang diberikan penyedia layanan dan pemerintah desa. Penyedia layanan dan pemerintah tidak melibatkan masyarakat, sebaliknya masyarakat tidak sadar,” ujarnya.
Pemimpin Tim KOMPAK Anna Winoto mengatakan, dialog antarkomponen penting dalam memecahkan persoalan yang ada di masyarakat. Semua pihak bisa duduk bersama dalam memikirkan solusi permasalahan yang tengah dihadapi.
"Bertemunya ketiga komponen ini dalam dialog yang membangun akan menemukan solusi yang efektif. Hasilnya, pelayanan kesehatan lebih responsif sesuai dengan kebutuhan masyarakat," ujarnya.
Bertemunya ketiga komponen ini dalam dialog yang membangun akan menemukan solusi yang efektif. Hasilnya, pelayanan kesehatan lebih responsif sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Perubahan
Rikard mengatakan, setelah ada program ini, terjadi sejumlah perubahan di desa-desa yang didampingi. Jumlah anggaran kesehatan yang disediakan pemerintah terus mengalami kenaikan. Proporsi responden (orangtua balita, kader Posyandu, bidan desa, dan aparat desa) yang telah mendengar mengenai standar layanan kesehatan ibu dan anak juga meningkat 30 persen.
Lebih dari 11.000 orang (orangtua balita, kader Posyandu, bidan desa, dan aparat desa) juga terlibat dalam pemantauan standar dan kartu penilaian pada tahun 2015-2017. Jumlah rencana aksi yang dihasilkan dari dialog terus meningkat, 575 rencana aksi pada 2015, 815 rencana aksi pada 2016, dan 1.258 rencana aksi pada 2017.
“Standar pelayanan juga meningkat. Posyandu yang mencapai standar meningkat jadi 56 persen pada 2017 dari 26 persen pada 2015. Puskesmas yang mencapai standar juga meningkat menjadi 69 persen pada 2017 dari 15 persen pada 2015. Begitu pula dengan puskesmas pembantu, naik menjadi 85 persen dari 77 persen pada 2015,” ujarnya.
Fasilitator Masyarakat Desa Akomi, Miomafo Tengah, Timor Tengah Utara Maximus Seo mengatakan, sebelum ada program ini, fasilitas kesehatan di desa tidak memadai. Ibu melahirkan anaknya di rumah karena peralatan di pondok bersalin desa tidak memadai, sementara jarak ke puskesmas jauh. Kondisi ini sangat berbahaya bagi keselamatan ibu dan bayi.
"Setelah munculnya kesadaran, masyarakat mampu menyuarakan permasalahan ini kepada pemerintah, mulai tingkat desa, kecamatan, bahkan kabupaten. Pemerintah secara bertahap kemudian menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai untuk masyarakat," ujarnya.
Hal senada diungkapkan Kepala Puskesmas Eban, Miomaffo Barat, Timor Tengah Utara Clara Maria Tresia Boleng. Menurut Clara, sebelumnya masyarakat hanya menjadi obyek pelayanan kesehatan. Masyarakat tidak pernah dilibatkan oleh puskesmas dalam perencanaan.
Clara menambahkan, pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan juga membaik. Sarana, tenaga kesehatan, dan pelayanan kesehatan di desa dibenahi. Tenaga kesehatan desa jadi lebih bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya karena masyarakat melakukan penilaian terhadap mereka. “Sekarang, kalau tidak mendapatkan pelayanan yang baik, masyarakat langsung melapor ke saya,” ujarnya. (YOLA SASTRA)