Berapa Suhu Kantor yang Cocok untuk Semua Karyawan?
Hingga hampir enam bulan berpindah kantor, sejumlah karyawan sebuah perusahaan swasta di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, masih mengeluhkan suhu kantor di gedung baru yang terlalu dingin dibandingkan dengan kantor lama. Meski suhu ruangan sudah beberapa kali disesuaikan sesuai permintaan karyawan, nyatanya tak semua karyawan puas dengan pengaturan suhu yang baru.
Sejak awal berpindah kantor, sejumlah karyawan perusahaan tersebut sudah mengeluhkan dinginnya suhu udara di ruang kerja baru. Mereka yang paling banyak mengeluh dan menderita akibat suhu dingin itu adalah karyawati.
Akibatnya, meski udara di luar kantor sangat panas, para karyawan harus memakai jaket tebal selama di dalam kantor. Bahkan, salah satu karyawati harus menggunakan jaket berbulu yang umum digunakan saat musim dingin di negara empat musim, lengkap dengan topinya.
Berbagai penyakit pun dialami karyawan. Mulai dari badan meriang, flu, rematik, hingga batuk pilek. Sejumlah karyawan yang memiliki asma harus lebih waspada dengan menyiapkan segala obat-obatan untuk mengantisipasi saat gejala penyakit itu datang.
Alhasil, kantor baru yang diharapkan memberi semangat baru untuk bekerja dan meningkatkan produktivitas karyawan justru memberi hasil sebaliknya. Kini setelah setengah tahun menempati kantor baru tersebut, karyawan masih berusaha beradaptasi, termasuk menyesuaikan diri dengan suhu kantor yang dingin.
Perdebatan soal suhu kantor yang sesuai untuk semua orang yang bekerja di dalamnya telah menjadi perdebatan panjang dan nyaris tak pernah selesai di banyak perusahaan dan kantor pemerintahan di banyak negara. Bahkan, di sejumlah negara maju perdebatan soal suhu ruangan yang nyaman untuk bekerja itu menjadi isu politik.
Mereka yang tinggal di negara empat musim perlu penyesuian lebih banyak dibandingkan yang bekerja di daerah tropis. Saat musim panas, mereka yang bekerja di gedung-gedung lama umumnya mengeluh kegerahan karena kantor tidak dilengkapi dengan pendingin ruangan. Sebaliknya di musim dingin, mereka mengeluh kedinginan karena pemanas ruangan umumnya baru dinyalakan saat suhu udara di luar benar-benar turun atau pada periode waktu tertentu.
Selain persoalan ketersediaan alat pengatur suhu ruangan, suhu ruang kerja yang diatur umumnya tidak cocok bagi semua orang. Sebagian orang lebih suka bekerja di ruang yang hangat, sedangkan sebagian pekerja yang lain lebih menyukai suhu yang lebih dingin.
Selain persoalan ketersediaan alat pengatur suhu ruangan, suhu ruang kerja yang diatur umumnya tidak cocok bagi semua orang.
Forrest Burnson, ahli riset pemasaran di Software Advice di softwareadvice.com, menyebut survei terhadap 252 karyawan di Amerika Serikat pada 2015 menunjukkan, 49 persen responden mengeluh lebih dari satu kali setiap bulan tentang suhu kantornya yang tidak nyaman. Sebanyak 43 persen responden kepanasan selama di kantor saat musim panas dan 57 persen responden merasa kantornya terlalu dingin saat musim dingin tiba.
Makin bertambah umur, makin tinggi tingkat ketidakpuasan terhadap suhu kantor. Sementara pekerja kantor berusia muda relatif kurang mempermasalahkan suhu ruangan tempat mereka bekerja.
”Mayoritas responden (57 persen) mengatakan memiliki kontrol lebih besar atas suhu kantor membantu meningkatkan produktivitas kerja mereka,” tulisnya.
Sebagian besar responden laki-laki lebih nyaman jika suhu kantornya mencapai 21 derajat celsius (70 derajat fahrenheit) dan sebagian besar responden perempuan lebih suka suhu kantor sebesar 24 derajat celsius (75 derajat fahrenheit).
Sementara itu, pendiri Facebook Mark Zuckerberg, seperti ditulis Zaria Gorvett dalam The Never Ending Battle Over The Best Office Temperature di BBC, 20 Juni 2016, mengaku mampu bekerja dengan fokus jika suhu ruangan mencapai 15 derajat celsius. Bagi banyak orang, suhu serendah itu tentu tidak nyaman.
Presiden AS Barack Obama justru menyukai suhu kantor yang hangat. Bahkan, salah satu penasihatnya pernah bercanda kepada The New York Times bahwa saking hangatnya suhu ruang kerja Obama, bunga anggrek pun bisa tumbuh di sana.
Almarhum perdana menteri pertama Singapura Lee Kuan Yew (1923-2015) pada 1999 pernah mengatakan salah satu kunci keberhasilan ekonomi negara tropis itu adalah pengatur suhu ruangan alias air conditioner (AC). Lee percaya suhu yang optimal untuk bekerja adalah 22 derajat celsius.
Produktivitas
Mencari suhu kantor yang sesuai bagi semua karyawan memang tidak mudah. Suhu kantor yang tepat akan meningkatkan kepuasan, produktivitas, dan kerja sama di antara karyawan. Sementara kegagalan menemukan suhu kantor yang pas untuk seluruh karyawan tidak hanya akan menurunkan produktivitas kerja, tetapi juga bisa membuat pekerja jadi lamban, gemuk, mudah sakit, hingga memengaruhi keuangan perusahaan.
Di Inggris, masih dikutip dari BBC, sekitar 2 persen jam kerja hilang setiap tahun hanya gara-gara mencari suhu yang pas untuk bekerja. Nilai ekonomi akibat hilangnya jam kerja itu mencapai 13 miliar poundsterling atau sekitar Rp 250 triliun setiap tahun. Di Australia, upaya menahan udara panas saat musim panas mengurangi produktivitas hingga 6,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 67 triliun.
Di Inggris, masih dikutip dari BBC, sekitar 2 persen jam kerja hilang setiap tahun hanya gara-gara mencari suhu yang pas untuk bekerja.
Mencari suhu kantor yang nyaman bagi semua orang sepanjang waktu sepertinya adalah hal yang mustahil. Menurut David T Shipworth dari Institut Energi Universitas College London, Inggris, persoalan terbesar mencari suhu yang tepat bagi seluruh karyawan itu sangat bergantung pada parameter yang digunakan.
Jika paramater yang diukur adalah produktivitas karyawan, sesuatu yang sangat disenangi pengusaha, studi Alan Hedge dkk dalam ”Thermal Effects on Office Productivity” yang dipublikasikan di Proceedings of the Human Factors and Ergonomics Society Annual Meeting, 2005, menunjukkan pada suhu ruang kerja 25 derajat celsius, karyawati di perusahaan asuransi mampu mengetik tanpa henti dengan kesalahan hanya 10 persen.
Pada suhu ruang kerja 25 derajat celsius, karyawati di perusahaan asuransi mampu mengetik tanpa henti dengan kesalahan hanya 10 persen.
Namun, saat suhu kantor turun 5 derajat atau menjadi 20 derajat celsius, jumlah kesalahan pengetikan yang mereka lakukan meningkat dua kali lipat.
Meski demikian, hasil riset kecil itu tidak bisa diterima begitu saja. Studi Amar Cheema dan Vanessa M Patrick dalam ”Influence of Warm versus Cool Temperatures on Consumer Choice: A Resource Depletion Account” di Journal of Marketing Research, Desember 2012, menunjukkan pada suhu ruangan 19 derajat celsius yang dingin, siswa justru dua kali lebih tepat dalam menentukan jenis telepon seluler paling hemat dibandingkan dengan siswa yang ada di ruangan hangat dengan suhu 25 derajat celsius.
Riset itu juga menunjukkan, suhu ruangan yang hangat menurunkan kemampuan kognitif sejumlah orang dengan kemampuan terbatas. Suhu kantor yang hangat juga mengurangi kemampuan untuk membuat pilihan yang sulit. Bahkan, ruang kerja yang hangat juga menghambat kinerja karyawan untuk melakukan tugas-tugas yang kompleks.
Persoalan penentuan suhu ruang kerja nyatanya tidak hanya berkaitan dengan produktivitas kerja, tetapi juga bisa membantu cara seseorang berpikir. Ruangan yang hangat mendorong seseorang berpikir lebih kreatif. Sebaliknya tempat kerja yang dingin cocok untuk pekerja yang membutuhkan kewaspadaan atau melakukan tugas berulang dan monoton. Suhu ruang kerja lebih dari 27 derajat celsius juga tidak mendukung karyawan yang membutuhkan banyak kemampuan matematika atau perhitungan.
Ruangan yang hangat mendorong seseorang berpikir lebih kreatif. Sebaliknya tempat kerja yang dingin cocok untuk pekerja yang membutuhkan kewaspadaan atau melakukan tugas berulang dan monoton.
Suhu ruangan bekerja juga berpengaruh pada kemampuan kerja sama di antara karyawan. Hans Ijzerman dan Gun R Semin dalam ”The Thermometer of Social Relations: Mapping Social Proximity on Temperature” di Psychological Science, Oktober 2009 menunjukkan orang-orang yang berada dalam ruangan hangat cenderung memiliki perasaan yang hangat pula tentang orang-orang di sekitarnya. Bahkan, hanya dengan memegang secangkir kopi panas bisa mendorong karyawan menilai orang lain dengan penuh perhatian dan lebih murah hati.
Suasana tempat bekerja dengan udara yang lebih hangat juga mendorong seseorang memiliki kedekatan sosial lebih besar, menggunakan bahasa lebih konkret, dan fokus pada hal-hal yang bisa memperkuat hubungan.
Jender
Setelah menentukan target apa yang ingin dicapai dengan pengaturan suhu kantor, selanjutnya adalah menentukan siapa yang akan bekerja di dalam ruang kerja tersebut.
Selama ini, penentuan suhu ruang kerja dilakukan menggunakan Persentase Ketidaknyamanan Terprediksi (Predicted Percentage of Dissastified/PPD), yaitu pada suhu berapa orang paling banyak merasa tidak nyaman. Prinsip ini digunakan karena tidak mungkin satu suhu yang akan membuat nyaman semua orang. Karena itu, pasti akan tetap ada komplain atau keluhan dengan suhu yang cocok untuk seluruh karyawan.
Untuk menghitung PPD, para ahli bangunan umumnya masih menggunakan standar tahun 1960-an. Faktor yang diperhitungkan dalam penentuan suhu ruangan itu antara lain jenis pakaian dan laju metabolisme atau seberapa cepat tubuh menghasilkan panas dari penghuni bangunan. Parameter itu diukur dengan sejumlah asumsi, seperti usia, berat badan, dan jenis kelamin.
Saat ini, standar yang digunakan untuk menghitung suhu kantor itu didasarkan pada ukuran laki-laki, umur 40 tahun dan berat 70 kilogram.
Padahal, menurut Boris Kingma dan Wouter van Marken Lichtenbelt dalam ”Energy Consumption in Buildings and Female Thermal Demand” di Nature Climate Change, 3 Agustus 2015, perempuan memiliki tingkat metabolisme yang jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki. Kondisi itu terjadi karena tubuh perempuan memiliki lebih sedikit otot dibandingkan laki-laki. Perempuan juga memiliki lebih banyak sel lemak yang kurang aktif dan kurang mampu menghasilkan panas.
Perempuan memiliki tingkat metabolisme yang jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki. Akibatnya, perempuan lebih mudah merasa kedinginan dibandingkan lelaki.
Akibatnya, perempuan lebih mudah merasa kedinginan dibandingkan lelaki sehingga mereka butuh suhu kantor 3 derajat lebih tinggi dibandingkan pekerja laki-laki. Kondisi itu sesuai dengan fakta lapangan di banyak negara, yaitu lebih banyak perempuan menaruh jaket di meja kerja mereka dibandingkan laki-laki.
Keseimbangan
Bekerja di tempat yang terlalu dingin atau terlalu panas sama-sama berbahaya bagi kesehatan manusia. Lantas, berapa suhu ruang kerja yang sesuai?
Studi Olli Seppänen dkk dalam ”Effect of Temperature on Task Performance in Offfice Environment” Juli 2006 menunjukkan untuk kantor yang banyak memberikan pelayanan kepada konsumen, memproses dokumen atau teks, suhu yang disarankan adalah 22 derajat celsius. Namun, harus dicatat, studi itu dilakukan dengan jumlah responden kecil, kurang dari 100 peserta.
Sementara itu, meski sulit menyebut secara pasti, Shipworth menyarankan suhu ruang kerja berkisar 22-24 derajat celsius.
Di Indonesia, suhu ruang kerja diatur melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Dalam aturan tersebut, suhu ruang kerja hanya disebut secara umum, sekitar 18-28 derajat celsius. Jika suhu dalam ruang lebih dari 28 derajat celsius, ruang kerja itu harus memiliki alat penata udara, baik kipas angin maupun air conditioner (AC). Sebaliknya jika kurang dari 18 derajat celsius, harus digunakan pemanas ruangan.
Ruangan juga perlu dijaga kelembabannya sekitar 40-60 persen. Jika kelembaban ruang kurang dari 40 persen atau lebih dari 60 persen, perlu digunakan alat dehumidifier, seperti mesin pembentuk aerosol.
Sementara itu, ruang kerja juga disyaratkan harus memiliki pertukaran udara sebesar 0,283 meter kubik per menit per orang dengan laju ventilasi 0,15-0,25 meter per detik. Untuk ruang kerja yang tidak menggunakan pendingin udara harus memiliki lubang ventilasi minimal 15 persen dari luas lantai dengan menggunakan sistem ventilasi silang.
Untuk ruang kerja yang menggunakan mesin pendingin udara, pendingin udara itu perlu dimatikan secara periodik. Seluruh pintu dan jendela juga perlu dibuka secara berkala agar ruang kerja mendapat pergantian udara secara alamiah. Demikian pula saringan udara air mesin pendingin udara juga harus dibersihkan secara teratur.
Sulitnya menentukan suhu kantor yang nyaman bagi semua membuat Shipworth mengusulkan agar pengaturan suhu dilakukan sesuai kondisi personal setiap karyawan. Itu berarti setiap meja karyawan akan memiliki sistem pengatur suhu mandiri, mirip pengatur pendingin udara yang ada di pesawat terbang yang bisa diatur besar kecilnya udara dingin yang dikeluarkan.
Jika pekerja tetap merasa tidak nyaman dengan suhu kantor yang telah ditentukan perusahaan atau pengelola gedung, mereka bisa melakukan upaya mandiri untuk menjaga tubuhnya tetap hangat. Tubuh manusia memiliki ”pemanas” yang bisa dikelola sesuai pikiran.
Studi GM Huebner dari Institut Energi, Universitas College London, Inggris dkk dalam ”Saving Energy with Light? Experimental Studies Assessing the Impact of Colour Temperature on Thermal Comfort” di Energy Research & Social Science, Mei 2016 menyebut orang yang menghabiskan waktu di ruangan yang diterangi dengan cahaya hangat seperti cahaya kuning akan merasa lebih hangat dibandingkan orang yang berada di bawah cahaya dingin, seperti putih atau biru, meski suhu udara sebenarnya turun.
”Ini terkait dengan sejarah panjang manusia, warna api unggun lebih memberi kehangatan dibanding warna es putih kebiruan yang terkesan dingin,” kata Shipworth yang juga terlibat dalam penelitian tersebut.
Trik psikologi itu diharapkan bisa menjadi jalan keluar untuk mengatasi suhu kantor yang tidak nyaman bagi sejumlah orang. Persoalannya, cahaya kuning yang memberi kehangatan di malam hari itu juga membuat seseorang merasa rileks hingga siap untuk tidur. Sementara cahaya biru-putih yang dingin justru membuat seseorang bersemangat dan waspada hingga siap bekerja.
Situasi itulah yang membuat penggunaan cahaya biru-putih pada malam hari bisa mengganggu irama sirkadian atau jam tubuh manusia.
Cara lain yang disarankan Kingma adalah keluar sejenak dari ruang yang dingin untuk sedikit mendapat kehangatan. Cara ini dianggap lebih ramah bagi lingkungan dan tidak membahayakan kesehatan. Berdiam diri terlalu lama di ruang yang dingin bisa memicu obesitas dan munculnya gangguan metabolik.
”Dengan memaparkan tubuh dengan suhu hangat dan dingin yang moderat secara bergantian, itu sama dengan melatih kesehatan jantung dan pembuluh darah kita serta sistem metabolisme tubuh,” katanya.