Panggung bundar di tengah telaga. Cahaya dari tepi panggung kadang memanah langit, kadang tak bercahaya menyisahakan remang-remang membuat bambu tampak jelas. Sesekali asap menyembur dari sudut panggung menyajikan suasana alami. Selama dua hari, bebunyian seni-budaya berdenting dari panggung tersebut.
Suasana tersebut tersaji di Rano Bungi, Desa Kabobona, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada Kamis-Jumat (30-31/8/2018). Di tempat itu, diselenggarakan Festival Bunyi Bungi yang digelar Dewan Kesenian Kabupaten Sigi didukung oleh Pemerintah Kabupaten Sigi serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Platform Indonesiana dengan tema “Membaca Adab dan Peradaban”.
Panggung didirikan di telaga (rano dalam bahasa Kaili, bahasa yang digunakan suku Kaili, salah satu suku yang mendiami Sulteng) dengan konstruksi seluruhnya dari bambu. Panggung bergaris tengah sekitar 15 meter. Untuk masuk dan keluar panampil, disediakan jembatan gantung sepanjang 20 meter di sisi kiri dan kanan panggung. Agar tak kosong, bagian belakang dan tepi panggung dihiasi anyaman bambu yang diselingi pancangan tiang bambu.
Penonton menikmati acara dari tanah lapang berjarak 25 meter dari panggung. Hanya ada lima tenda didirikan di bagian penonton sebagai ruang tunggu para penampil.
Selama dua hari sepanjang malam, para penampil melantumkan bunyi-bunyian dari panggung tersebut. Acara yang dibawakan meliputi seni budaya tradisional dan modern. Kolaborasi antara dua era seni budaya itu juga disajikan.
Pada malam pertama, seni budaya tradisional disajikan, antara lain vaino, yakni sastra lisan suku Kaili yang disampaikan lewat pantun atau syair yang dinyanyikan. Acara itu dibawakan dua orang tua dari Desa Porame, Kecamatan Marawola, Sigi. Melalui vaino, orang tua menyampaikan pesan moral kepada generasi muda. Vaino biasanya dibawakan saat acara syukuran atau pun malam penghiburan kematian.
Kalau vaino lebih statis karena tanpa gerakan, tari raego yang dibawakan warga Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, lebih dinamis. Sambil menyanyikan lagu, penari yang terdiri dari perempuan dan laki-laki bergerak membentuk lingkaran di panggung. Ada kalanya nyanyian dipertegas dengan “he he he ha...” sambil para penari menghentakan kaki di panggung. Gerakan mereka diiringi dengan permainan cahaya lampu di panggung.
Ritual adat turut disajikan di panggung di tengah telaga, yakni vadi. Vadi merupakan bagian dari upacara penyembuhan secara adat dengan menyanyikan syair-syair yang berintikan pengusiran terhadap penyakit seseorang. Nyanyian dibawakan salah satu dari penampil. Jelang upacara selesai, pasien ditaburi beras kuning sebagai bentuk pengusiran penyakit atau roh jahat yang merasukinya. Diperindah dengan tata cahaya, ritual itu terasa magis.
Di panggung yang sama, seni modern pun turut dipresentasikan. Maria Bernadetta dari Jakarta menampilkan tari solo dengan berbagai gerak badan nan lincah. Ishakam dari Makassar, Sulawesi Selatan, mementaskan teater tentang kejahatan era modern, mulai dari korupsi hingga penggunaan agama untuk kekuasaan. Eman Saja dari Palu melalui dramatisasi puisi mengajak agar kembali mendengarkan air dan tanah yang tak pernah berbohong, tak pernah malas memberikan berkah kepada makhluk hidup.
Ada sekitar 500 orang rela bersila di tanah berumput kering untuk menikmati acara. Tak hanya orangtua, anak-anak sekolah dasar pun turut hadir.
“Saya senang bisa menyaksikan berbagai macam acara tradisional dan modern. Ini jarang sekali terjadi,” kata Sinta (34), ibu rumah tangga dan warga Desa Kabobona.
Kendala anggaran
Pesta bebunyian terakhir digelar di Rano Bunyi pada 2013. Kala itu, Festival Bunyi Bungi dilaksanakan murni atas inisiatif pegiat seni-budaya yang tergabung dalam Dewan Kesenian Kabupaten Sigi. Acara lima tahun lalu itu tak kalah semaraknya dengan kali ini.
Festival tak bisa dilaksanakan setiap tahun karena kendala anggaran. “Untuk acara lima tahun lalu itu, kami banting tulang mencari anggaran. Itu makanya acara tidak bisa dilaksanakan setiap tahun. Kegiatan seni dan budaya selalu terkendala di anggaran,” ujar Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Sigi Jumadi di arena acara pekan lalu.
Tahun ini, festival dilaksanakan atas sokongan dana dari Kementerian Pendididkan dan Kebudayaan serta Pemerintah Kabupaten Sigi. Ada komitmen kuat dari Bupati Sigi Irwan Lapatta untuk memfasilitasi para seniman dan pegiat budaya menggelar festival secara rutin. Rano Bungi akan dijadikan pusat seni dan budaya. Tahun depan dianggarkan untuk pembangunan panggung budaya permanen “Kami berkomitmen setelah fasilitas dibangun, kegiatan seni dan budaya di sini bisa bergulir secara rutin. Kalau bisa tiap minggu ada kegiatan yang bisa dinikmati warga,” ucapnya.
Komitmen Irwan merupakan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Pemerintah pusat dan daerah berkewajiban memfasilitasi kegiatan seni-budaya. Dalam regulasi itu, disebutkan pemerintah berperan untuk melindungi dan mengembangkan kapasitas seniman dan penggiat budaya.
Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya Direktorat Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nadjamudin Ramly menagih komitmen pemerintah daerah. “Kalau pemerintah daerah berkomitmen, kami dukung. Tinggal dibicarakan, pemerintah daerah mengerjakan bagian apa, kami menggarap bagian yang mana. Kolaborasi seperti itu yang diharapkan terwujud agar ekosistem seni hidup,” ujarnya yang hadir pada pembukaan festival, Kamis (30/8/2018).
Ia berharap Rano Bungi bisa menjadi ruang bagi seniman dan pegiat budaya menumpahkan kreativitas. Pemerintah Sigi mengembangkan kawasan itu menjadi kluster seni-budaya. “Di Rano Bungi ini suatu saat nanti, kita bisa menikmati berbagai jenis seni dan budaya. Ada seni kontemporer, ada seni tradisional. Jadi, kalau warga mau menikmati seni, di Rano Bungi tempatnya,” katanya.
Kalau atraksi seni-budaya menjadi wadah untuk mengasah kehalusan budi dan perilaku, sudah saatnya ruang-ruang ekspresi dibuka dan disokong penuh. Dari Rano Bunyi, bunyi-bunyi peradaban diharapkan tak berhenti berdenting.