Hingga Selasa (4/9/2018), Polres Metro Jaksel sudah menetapkan 10 tersangka pelajar yang terbukti melakukan kekerasan pada korban meninggal dunia, saat tawuran pecah di Permata Hijau, akhir pekan lalu. Kasus masih didalami oleh penyidik Polres Metro Jaksel sehingga tidak menutup kemungkinan tersangka bertambah.
Kepala Polres Metro Jakarta Selatan Komisaris Besar Indra Jafar menuturkan, awalnya ada 29 pelajar yang ditangkap. Polisi lalu melakukan pemeriksaan, analisa dan evaluasi (anev) kasus tersebut. Dari situ, ditetapkan 10 tersangka yang terbukti menganiaya Ari Haryanto (15). Ari meninggal dunia setelah terluka parah di beberapa bagian tubuh terutama kepala dan wajah saat tawuran di depan apartemen Bellezza, Permata Hijau, Jakarta Selatan, Sabtu (1/9/2018) dini hari. Bagian wajahnya bahkan sempat disiram air keras.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jaksel Ajun Komisaris Besar Stefanus Tamuntuan menambahkan, para pelaku akan ditindak dengan tegas dengan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Bahkan, jika terbukti ada siswa yang usianya sudah di atas 18 tahun, akan dijerat dengan pasal 170 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pembunuhan.
“Kami harus bertindak tegas karena tawuran pelajar sekarang ini semakin nekat dan sadis. Ini tidak bisa ditolerir,” kata AKBP Stefanus.
Sementara itu, Kepala SMA Negeri 32 Jakarta Sugiyanti mengatakan, orangtua dan wali murid siswa yang diduga terlibat dalam tawuran tersebut sudah datang ke Polres Metro Jaksel dan mendampingi anaknya. Informasi dari penyidik, salah satu aktor utama yang terlibat dalam kasus tersebut adalah seorang alumnus yang masih dicari polisi. Pasca kejadian ini, pihak sekolah juga akan membina anak didiknya supaya tidak ada aksi balas dendam setelah peristiwa itu. Tak hanya siswa, orangtua juga dipanggil untuk melakukan pengawasan kepada anaknya.
“Kami juga sudah berkunjung ke SMA Muhammadiyah 15 Slipi untuk mengungkapkan bela sungkawa atas meninggalnya korban anak didik mereka. Kami juga sudah membahas tentang bagaimana antisipasi ke depan untuk mencegah tawuran,” kata Sugiyanti.
Sosiolog Universitas Indonesia Daisy Indira Yasmin yang bertahun-tahun meneliti tawuran di Johar Baru, Jakarta Pusat berpendapat, pihak sekolah harus melakukan evaluasi apakah ada tekanan sosial besar kepada siswa seperti hubungan antarsiswa dan guru. Budaya senioritas seperti perundungan dapat memupuk budaya kekerasan pada remaja. Tekanan sosial itu tidak hanya bisa terjadi di internal sekolah tetapi juga antar sekolah.
“Apalagi ada pertengkaran di sosial media, di sosmed ujaran kebencian mudah dilontarkan hingga akhirnya memicu kekerasan,” kata Daisy.
Pada usia remaja, anak-anak membutuhkan wadah positif untuk menyalurkan energinya. Ketika ada tekanan sosial, dan mereka tidak bisa meluapkan itu dalam kegiatan positif, akhirnya mereka memperlihatkan eksistensinya ke hal negatif seperti tawuran. Masing-masing pihak harus duduk, mencari akar permasalahan, dan melakukan upaya preemtif untuk menyelesaikan masalah sosial itu.