Memulai Langkah, Batasi Gawai di Sekolah…
Seruan pembatasan gawai di sekolah merupakan langkah awal untuk melindungi anak dari dampak negatif kemajuan teknologi informasi ini. Langkah ini harus diikuti di tingkat keluarga dan masyarakat.
Pemerintah melalui empat kementerian akhirnya mengeluarkan seruan resmi pembatasan penggunaan gawai untuk anak di satuan pendidikan, Jumat (31/8/2018). Semua satuan pendidikan, termasuk pendidikan keagamaan, diminta membatasi penggunaan gawai dengan cara tidak mengizinkan anak membawa gawai ke sekolah atau hanya menggunakan gawai untuk mengunduh pelajaran tertentu.
Langkah tersebut untuk mencegah anak-anak mendapatkan informasi yang tidak layak, seperti pornografi, radikalisme, kekerasan, berita bohong, atau terkait dengan suku, agama, ras, dan antar-golongan. Selain itu, agar anak-anak terhindar dari kecanduan gawai dan efek negatif dari penggunaan gawai.
Intinya adalah melindungi anak dari dampak negatif penggunaan gawai, terutama karena pengaruhnya terhadap kesehatan anak dan proses pendidikan. Sejauh ini, dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan gawai yang berlebihan adalah kesehatan mata, mental, fisik, psikologis, dan sosialisasi anak.
Dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan gawai yang berlebihan adalah kesehatan mata, mental, fisik, psikologis, dan sosialisasi anak.
Pembatasan penggunaan gawai di kalangan anak di satuan pendidikan saat ini menjadi salah satu jalan yang dipilih pemerintah menyusul munculnya berbagai dampak dari penggunaan gawai di kalangan anak-anak di Tanah Air. Bukan hanya terpapar konten negatif, sejumlah anak bahkan sudah melampaui batas penggunaan gawai yang wajar atau sudah berada pada tingkat adiksi atau kecanduan gawai.
Lima tahun terakhir sebenarnya suara-suara keprihatinan atas tidak terkontrolnya penggunaan gawai di kalangan anak-anak sudah sering mengemuka di berbagai forum, baik di ruang-ruang diskusi maupun berbagai publikasi di media massa. Kajian-kajian atas dampak negatif penggunaan gawai pada anak juga sudah cukup banyak.
Di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), misalnya, dalam kajian pada 2016 melalui Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak (TKA) menemukan bahwa sekitar 70 persen anak ke sekolah membawa gawai dan 52 persen anak bermain dengan HP pada saat pelajaran berlangsung.
”Sebanyak 61 persen anak menggunakan gawai untuk chatting dan game, sebanyak 29 persen anak menggunakan gawai untuk mencari informasi terkait dengan pelajaran/tugas sekolah. Hanya 10 persen anak-anak menggunakan gawai untuk keperluan komunikasi dengan orangtua atau teman,” kata Deputi TKA Lenny Marlina.
Sebanyak 61 persen anak-anak menggunakan gawai untuk chatting dan game, sebanyak 29 persen anak-anak menggunakan gawai untuk mencari informasi terkait dengan pelajaran/tugas sekolah. Hanya 10 persen anak-anak menggunakan gawai untuk keperluan komunikasi.
Dari sisi waktu penggunaan, kata Lenny, ketika itu hasil kajian menemukan, dalam sehari kebanyakan (60 persen) anak-anak yang menggunakan gawai lebih dari tiga jam, hanya 15 persen yang menggunakan gawai kurang dari 1 jam. Sementara yang menggunakan gawai berkisar 1-2 jam sebesar 25 persen.
Delapan jam di sekolah
Pemerintah bersungguh-sungguh ingin mengatasi hal tersebut, tandas Lenny. Karena itulah, empat menteri bersama-sama menyampaikan Pernyataan Bersama tentang Pembatasan Penggunaan Gawai di Satuan Pendidikan. Empat menteri tersebut ialah Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, dan Menteri Komunikasi dan Informatika.
”Penggunaan gawai perlu dibatasi, termasuk saat anak berada di sekolah atau madrasah, yaitu sekitar delapan jam sehari atau sekitar sepertiga dari hidup mereka. Semua warga sekolah, terutama kepala sekolah dan guru, memegang peran penting. Selain itu, pada saat anak berada di rumah, orangtua dan keluarga juga perlu memantau dan membatasi penggunaan gawai oleh anak-anak,” ujar Lenny.
Kendati memberikan apresiasi positif atas pernyataan empat menteri tentang pembatasan gawai pada anak di satuan pendidikan, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susanto tetap berharap, jika pembatasan gawai hanya pada anak di satuan pendidikan, itu tidak akan efektif untuk pembentukan perilaku.
Jika pembatasan gawai hanya pada anak di satuan pendidikan, itu tidak akan efektif untuk pembentukan perilaku.
”Diperlukan pengaturan penggunaan gawai di tiga lokus, yakni sekolah, rumah, dan masyarakat. Selain itu, orangtua, guru, dan lingkungan sosial juga perlu mengaturnya terkait dengan penggunaan gawai yang tepat, baik dari sisi konten, waktu, maupun proses filter,” katanya.
Sosialisasi
Seperti apa dampak terhadap anak ketika tidak dikontrol penggunaan gawai, dalam diskusi publik yang digelar Kementerian PPPA seusai pernyataan empat menteri, Gisella Tani Pratiwi, psikolog anak dan remaja Yayasan Pulih Jakarta, di hadapan peserta diskusi yang juga terhadap sejumlah siswa sekolah mengungkapkan satu per satu dampaknya.
Meskipun ada dampak positif dari penggunaan gawai seperti bisa menstimulasi kemampuan visual motorik, mendorong anak memiliki kesempatan mengembangkan diri, serta mendapatkan informasi yang luas dan terkini, dan memiliki alternatif hiburan, dampak negatif penggunaan gawai jauh lebih banyak.
Meskipun ada dampak positif dari penggunaan gawai, dampak negatif penggunaan gawai jauh lebih banyak.
Dampak negatif penggunaan gawai yang berlebihan, mulai dari kesehatan fisik terganggu, yakni mata dan terjadi obesitas, selanjutnya terjadi gangguan fungsi otak, yakni berkurangnya konsentrasi dan daya ingat menurun. Begitu juga kemampuan berpikir anak akan cenderung instan tanpa menghargai proses.
”Bahkan akan menurun kemampuan anak-anak untuk menganalisis mendalam serta menurun kemampuan berbahasa,” kata Gisella.
Bukan hanya itu, penggunaan gawai yang tidak dibatasi akan berujung pada gangguan jiwa dan adiksi (kecanduan). Kemampuan bersosialisasi juga berpengaruh, yakni anak tidak terlatih bekerja sama/mengelola konflik, dan berkomunikasi. Di luar itu, rawan terjadi kekerasaan di dunia maya, bahkan korban predator anak serta kekerasan lainnya.
Direktur Kakatua (aplikasi parental control untuk membantu memastikan hal-hal yang baik saja yang akan diterima anak ketika menggunakan gawai) Muhammad Nur Awaludin (Mumu) mengungkapkan, ada bahaya di depan mata akibat penggunaan gawai.
”Sebanyak 97 dari 100 pelajar sekolah dasar di Indonesia pernah mengakses pornografi. Padahal, kecanduan pornografi akan merusak otak. Bahkan, WHO pada 2018 menyatakan kecanduan game adalah gangguan mental,” kata Mumu, yang dulu juga mengalaminya.
Sebanyak 97 dari 100 pelajar sekolah dasar di Indonesia pernah mengakses pornografi. Padahal, kecanduan pornografi akan merusak otak.
Karena itulah, Kakatua terus mengedukasi masyarakat tentang literasi digital bagaimana bahaya menggunakan gawai dengan mengajarkan dan melatih anak melihat gawai secukupnya dan sesuai keperluan.
Kakatua juga membagikan aplikasi monitory yang membantu orangtua mengontrol dan membuat anak disiplin menggunakan gawai. Melalui aplikasi tersebut, orangtua juga bisa mendapat laporan lengkap apa yang diakses anaknya di gawai selama 24 jam. Selain itu, ada aplikasi timitory yang membantu kesadaran diri anak-anak untuk menggunakan gawai dengan bijak.
Semua langkah untuk mencegah anak kecanduan gawai memang harus terus dilakukan. Bukan hanya sekolah, semua pihak harus terlibat. Karena itu, setelah pernyataan empat menteri, harus segera ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret agar tidak berhenti pada pernyataan semata.