Gerilya Mewujudkan Kendaraan Listrik Nasional
Para pencipta kendaraan nasional tak putus asa meski upayanya jarang didukung regulasi pemerintah. Saat era kendaraan listrik dimulai, mereka bergerilya memproduksi kendaraan listrik agar Indonesia bisa mandiri.
M Nur Yunarto dan timnya di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya tekun mengembangkan kendaraan listrik. Peneliti kendaraan di Universitas Indonesia dan Institut Teknologi Bandung pun terus mengembangkan riset pembuatan bus dan mobil listrik. Di Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS), peneliti kendaraannya juga sibuk menyiapkan produksi sel baterai untuk mendukung kendaraan listrik dalam negeri.
Gerilya mereka seolah menggugat kondisi otomotif nasional yang selama lebih dari 30 tahun bergantung pada industri otomotif asing. Kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan Tanah Air didominasi kendaraan pabrikan Jepang maupun Eropa.
Made Dana Tangkas, yang sudah lama berkecimpung di dunia manufaktur otomotif mengungkapkan, selama ini tak pernah benar-benar terjadi transfer teknologi otomotif.
“Teknologi yang ditransfer sebatas kulit, contohnya membuat pintu. Tak pernah ada research and development pada industri otomotif selama ini. Teknologi kunci tetap ada di negara principal (pemilik industri otomotif),” jelas Made yang kini lebih fokus mengembangkan otomotif nasional di Institut Otomotif Indonesia, beberapa waktu lalu.
Dengan menempati gedung bekas tempat kuliah Jurusan Desain Produk Industri, ITS, Surabaya, Jawa Timur, Nur sebagai Ketua Tim Pengembangan Mobil Listrik Nasional ITS, dengan didukung dosen dan 20 mahasiswa, mengembangkan riset pembuatan kendaraan listrik beserta komponen utamanya. Kendaraan yang dikembangkan sepeda motor maupun mobil listrik.
Sejak didukung pembiayaan riset Mobil Listrik Nasional (Molina) oleh pemerintah pada 2012, Nur bersama timnya telah melahirkan 2 prototipe mobil listrik seri Ezzy 1 dan 2, 1 prototipe mobil listrik seri Brajawahana, dan 20 varian prototipe motor listrik. Belakangan, bekerja sama dengan PT PLN dan Universitas Budi Luhur Jakarta, timnya juga baru melahirkan 1 prototipe mobil balap listrik bertenaga 50 Kilowat, dan akan diujicoba pada Rally Dakkar 2019.
Teknologi yang ditransfer sebatas kulit, contohnya membuat pintu. Tak pernah ada research and development pada industri otomotif selama ini. Teknologi kunci tetap ada di negara principal
“Untuk teknologi kuncinya sudah kami kuasai, seperti motor (penggerak) dan controller. Kami memang fokus untuk riset komponen utama (kendaraan listrik). Sementara body dan sasis itu sudah banyak yang bisa membuatnya,” kata Nur.
Hingga saat ini, 1 prototipe motor skuter listrik buatan ITS telah memasuki tahap persiapan untuk produksi masal. Skuter listrik yang diberi nama merek Gesits ini memiliki tenaga 5 KW dan mampu menempuh perjalanan hingga 100 kilometer. Lima komponen utama motor skuter ini merupakan hasil rekayasa Nur dan timnya, meliputi motor listrik bertenaga 5 KW, sistem kontrol motor listrik dengan tegangan 100 volt dan arus maksimum 5 ampere, sistem manajemen baterai, sistem monitoring, sasis dan sistem transmisi.
Sejumlah komponen utama juga dilengkapi dengan rangka kedap air sehingga aman dari banjir dengan ketinggian genangan hingga 80 centimeter. Sepeda motor ini juga telah diuji susupan air, sesuai standar UN R-136, dan terbukti tak alami kebocoran listrik.
Saat dikendarai, prototipe motor skuter listrik hasil riset ITS ini tak mengeluarkan suara mesin yang menderu. Perputaran mesin terdengar sangat halus, dan dapat dikemudikan selayaknya motor skuter matik pada umumnya. Kelebihan lainnya, sepeda motor ini tak mengeluarkan asap emisi gas buang, karena skuter listrik ini memang tak menggunakan motor pembakar dan knalpot.
Nur menyampaikan, dengan menggunakan motor listrik maka ada beberapa komponen pada sepeda motor konvensional yang tak lagi digunakan, seperti knalpot dan saringan oli. “Yang pasti, kendaraan ini nol emisi. Motor ini juga sama sekali tak menggunakan oli,” jelas.
Biaya yang dikeluarkan untuk bahan bakar sepeda motor skuter listrik ini juga jauh lebih hemat dibandingkan sepeda motor konvensional. Dengan mengacu pada tarif listrik saat ini, biaya isi ulang listrik untuk setiap KW untuk motor hanya Rp 1.500.
Sebagai ilustrasi, Nur menyampaikan, jika pengemudi ojek dengan sepeda motor konvensional setiap hari beroperasi dengan jarak tempuh 120 km itu menghabiskan biaya Rp 30.000 untuk bensin. Dengan sepeda motor listrik, jarak 120 km itu membutuhkan 6 KW, sehingga biaya yang dibutuhkan untuk isi ulang listrik hanya Rp 9.000.
“Dengan skuter listrik, pengemudi ojek itu bisa lebih efisien untuk biaya bahan bakar motor. Dia bisa memperoleh selisih Rp 21.000,” jelasnya.
Baterai pada motor skuter listrik ini didesain dapat diisi ulang energinya dengan cara ditukar dengan baterai yang telah terisi penuh energi listrik. Setiap paket batere motor skuter itu berisi 240 sel baterai.
Produksi skuter listrik Gesits ini tengah dipersiapkan oleh investor dalam negeri dan Badan Usaha Milik Negara, yakni PT Garansindo dengan PT Wika Industri dan Konstruksi. Kedua perusahaan itu membentuk joint venture PT Gesits Technologies Indo. Untuk produksi, kedua perusahaan tersebut didukung PT Pindad. Rencananya pada November mendatang motor skuter ini akan mulai diproduksi sebanyak 50.000 unit.
CEO PT Gesits Technologies Indo, Harun Sjech mengungkapkan, uniknya pada motor skuter listrik ini adalah menggunakan telepon seluler sebagai sistem pengendali digital motor tersebut. Teknologi untuk sistem pengendali itu merupakan hasil riset Institut Teknologi Bandung. Telepon seluler akan digunakan layaknya panel yang memuat penunjuk kecepatan kendaraan pada sepeda motor konvensional.
“Sistem digital itu juga akan menyediakan informasi terkait stasiun pengisian bahan bakar listrik umum (SPLU) yang terdekat. SPLU itu akan disediakan PT Pertamina,” jelasnya.
PT Pertamina telah berkomitmen akan berinvestasi menyediakan SPLU. Untuk itu, Vice President Corporate Communication PT Pertamina, Adiatma Sardjito menyampaikan, pihaknya tengah menyiapkan prototipe SPLU di kawasan Kuningan, Jakarta. Rencananya prototipe SPLU itu akan diluncurkan pada 26 September mendatang. “Setiap KW listrik yang dijual, mengikuti tarif listrik PLN, yaitu Rp 1.400 per KW,” jelasnya.
Keseriusan PT Pertamina untuk mendukung bahan bakar kendaraan listrik pun ditunjukkan dengan peran sertanya berinvestasi pada riset sel baterai yang dijalankan Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah.
Hingga kini, UNS telah memproduksi 1.000 sel baterai per hari. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan baterai motor skuter listrik Gesits, juga akan dipasok dari sel baterai yang diproduksi UNS.
Meskipun tampak begitu mulus perjalanan pengembangan riset kendaraan listrik dan baterainya, tetapi hal itu tak mencerminkan dukungan yang seimbang dari pemerintah.
Rancangan Peraturan Presiden tentang percepatan kendaraan listrik belum juga tuntas dibahas sejak disusun pada Agustus 2017 lalu.
Padahal salah satu pasal dalam rancangan regulasi itu mengatur pemberian insentif untuk komponen yang diimpor, sehingga harga kendaraan listrik dapat dijangkau masyarakat. Regulasi itu tentunya cukup dinanti para investor industri kendaraan listrik nasional.
Direktur PT Wika Industri Manufaktur, Muhamad Samyarto, yang ikut terlibat dalam proses produksi motor skuter Gesits, menyampaikan, regulasi berupa insentif pajak untuk beberapa komponen yang masih impor sangat dibutuhkan. Hingga saat ini, dia akui, 89 persen komponen motor skuter Gesits telah dipenuhi dari dalam negeri. Namun 11 persennya lagi masih impor seperti lampu sein dan shock breaker. “Adanya insentif ini akan sangat membantu produsen,” jelasnya.
Meskipun riset kendaraan di dalam negeri telah bergerak menuju kendaraan listrik, Kemenperin belum sepenuhnya mendukung percepatan industri kendaraan listrik nasional.
Baca juga: Polemik Perpres Kendaraan Listrik
Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan, Kemenperin, Putu Juli Ardika menyampaikan, Kemenperin akan tetap mengikuti Peta Jalan Industri Otomotif Indonesia, yakni mengembangkan kendaraan rendah emisi karbon, dimulai dari kendaraan berbahan bakar bio-energi, hybrid (bahan bakar minyak dan listrik), plug-in hybrid, dan baru kemudian kendaraan listrik dengan baterai.
Sementara kendaraan berbahan bakar bio-energi tetap menggunakan mesin pembakar seperti halnya kendaraan berbahan bakar fosil (internal combustion engine). Kendaraan hybrid juga masih menggunakan bahan bakar fosil. Teknologi kedua jenis kendaraan itu pun masih dikuasai industri otomotif asing.
Putu juga menyampaikan, untuk riset pengembangan kendaraan hybrid, pihaknya menggandeng Toyota dan Mitsubishi, merek kendaraan pabrikan Jepang. “Kebijakan kami tetap menjalankan hybrid terlebih dahulu,” jelasnya.
Asia Nusa
Bagi kalangan pencipta kendaraan, sikap Kemenperin yang kurang mendukung industri kendaraan nasional bukanlah hal yang baru. Ibnu Susilo, pencipta dan produsen mobil desa Fin Komodo mengungkapkan, pada 2012, ia bersama tujuh produsen mobil nasional yang tergabung dalam Asosiasi Industri Automotif Nusantara (Asia Nusa) pernah diberi angin segar oleh Kemenperin untuk mengajukan rancangan mobil nasional.
Namun setelah rancangan mobil nasional diajukan Asia Nusa, lanjut Ibnu, Kemenperin membalasnya dengan penerbitan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 33/M-IND/PER/7/2013 tentang kendaraan berbahan bakar hemat energi dan harga terjangkau (KBH2/LCGC). Menurut Ibnu, dalam rancangan yang diajukan, Asia Nusa meminta proteksi agar mobil di bawah 1.000 CC diproduksi oleh industri nasional, bukan industri kendaraan pabrikan.
Baca juga: Keberpihakan kepada Industri Nasional Diuji
“Dengan adanya penerbitan LCGC, insentif pajak pun hanya dapat dinikmati produsen LCGC (industri kendaraan pabrikan). Akhirnya anggota Asia Nusa pun rontok, dan hanya tinggal Fin Komodo,” jelasnya.
Padahal sejak merintis industri mobil desa, Ibnu menjalaninya dengan menggunakan daya dan upayanya sendiri. Dengan keahliannya sebagai perancang pesawat, dan pengalamannya bekerja di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), Ibnu secara mandiri merintis pembuatan mobil desa. Namun untuk mewujudkannya, dia sempat terbentur dengan keterbatasan dana.
“Saat itu tahun 2005. Saya sempat mengajukan pinjaman modal ke bank, dengan jaminan rancangan mobil yang saya buat. Namun pengajuan pinjaman itu ditolak karena produknya belum ada,” jelasnya.
Akhirnya Ibnu memutuskan kembali menggunakan kemampuannya sebagai pembuat pesawat dengan melayani pesanan pembuatan sayap pesawat air bus yang dibeli Malaysia. Dari pekerjaannya itu Ibnu dapat mengumpulkan dana hingga Rp 5 miliar dan menggunakannya untuk mendanai riset mobil desa yang dicita-citakannya.
Pengetahuannya dalam membuat pesawat, kemudian diterapkan Ibnu untuk merancang dan membuat mobil bertenaga 250 CC. Sejak awal, Ibnu mengaku, dia hanya ingin membuat mobil desa yang mampu melalui jalan sempit, di permukaan jalan yang berbatu dan tanah, dan mampu mengangkut beban hasil bumi petani hingga 200 kilogram.
“Saat saya merancang Fin Komodo, persis saat saya merancang pesawat terbang. Jalan sejelek apa pun, mobil ini bisa melalui jalan itu,” tuturnya.
Dibutuhkan 3 tahun bagi Ibnu dalam menjalankan riset mobil desa itu, selama 2005-2008. Menjelang akhir 2008, Ibnu baru memproduksi Fin Komodo generasi 1. Dilanjutkan dengan generasi 2 pada 2009 dalam wujud perbaikan generasi 1. Hingga kini, tahun 2018, Fin Komodo sudah memasuki generasi kelima, dan setiap unitnya dijual sekitar Rp 90 juta.
Kapasitas produksi Fin Komodo setiap bulan mencapai 10 unit. Setiap unit yang diproduksi pasti habis terjual. Mobil itu ada yang dibeli petani maupun perusahaan perkebunan di sejumlah daerah di Indonesia. “Belakangan, Fin Komodo juga diekspor ke Afrika. Kami pun ikut memasok komponennya ke sana,” jelasnya.
Pentingnya Indonesia memproduksi kendaraan, menurut Ibnu, karena baik royalti hingga hasil penjualan unit kendaraan dan komponennya akan masuk ke dalam negeri. Lain halnya dengan industri kendaraan pabrikan asing, hasil royalti hingga penjualan kendaraannya akan masuk ke negara pemilik teknologi kendaraan itu. “Kalau kendaraan itu kita yang membuat, hasil penjualannya pun akan masuk ke kita, bukan ke negara lain,” jelasnya.
Ibnu pun menyampaikan, selama membuat Fin Komodo, dia hanya menggunakan komponen yang dipasok dari usaha kecil menengah (UKM) hasil binaannya. “Seluruh komponen yang saya gunakan itu berasal dari UKM. Seluruhnya dalam negeri, tak ada yang impor,” ucapnya.
Saat ini, lanjut Ibnu, dia bersama timnya juga sedang merancang agar mobil desa buatannya juga bisa menggunakan motor listrik. Selama ini, mobil desa buatannya menggunakan motor pembakar dengan bahan bakar minyak (BBM).
“Saya sedang riset agar mobil saya ini bisa menggunakan bahan bakar listrik, sehingga Fin Komodo dapat digunakan di daerah-daerah yang tak tersentuh distribusi BBM,” ucapnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengembang Kendaraan Listrik Bermerek Nasional (Apklibernas) Soekotjo Herupramono mengatakan, dukungan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengembangkan kendaraan listrik nasional. Dukungan itu tak hanya pada tahap riset, tetapi juga regulasi yang mendukung sehingga hilirisasi riset ke industri dapat terwujud.
Baca juga: Hilirisasi Riset Butuh Keberpihakan
“Keberpihakan pemerintah kepada industri merek nasional ini penting. Karena ini masih tergolong infant industries, industri yang masih balita sehingga perlu dukungan dan keberpihakan pemerintah sebagai orangtuanya,” ujar Soekotjo.
Baca juga: Tanpa Keberpihakan, Indonesia Hanya Akan Menjadi Pasar
Sebaliknya Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi dan Alat Pertahanan, Kemenperin, Putu Juli Ardika, tetap berkeyakinan bahwa kendaraan listrik belum layak dikembangkan saat ini. Salah satu alasannya karena infrastruktur pendukung untuk pengisian bahan bakar listrik itu belum tersedia.
“Kendaraan listrik itu tak bisa jalan kalau tak didukung SPLU. Sekarang kan SPLU belum ada,” ucapnya.
Papua
Sementara nun jauh di Papua sana, pasar sepeda motor listrik sudah mulai tumbuh secara alamiah akibat rantai distribusi BBM tak menyentuh sejumlah daerah di Papua. Sepeda motor listrik Wim Motor, salah satunya, menjadi motor listrik paling diincar di Agats, Kabupaten Asmat.
Sales & Marketing PT Wim Motor, Wenson, saat ditemui di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, mengatakan, penjualan sepeda motor listrik ke Agats dimulai sejak 2009. Saat itu, beberapa orang dari Agats mendatangi salah satu toko sepeda milik Wim Cycle menanyakan apakah ada penjualan sepeda motor listrik.
Sejak saat itu, penyaluran sepeda motor listrik mulai dilakukan spesifik ke Agats. Sepeda motor listrik yang dijual ke Agats bukanlah merek buatan Indonesia, melainkan seluruh komponen diimpor dari China. Komponen-komponen itu kemudian dirakit di Gresik sebelum dikirim ke Agats. Dalam setahun, PT Wim Motor bisa mengirimkan hingga 520 sepeda motor listrik ke Agats.
Keberadaan sepeda motor listrik amat dibutuhkan di Agats mengingat terkendalanya pasokan BBM ke kawasan itu. Menurut Wenson, PT Wim Motor bukan satu-satunya penyalur sepeda motor listrik ke Agats. “Tetapi sepeda motor listrik kami selalu sold-out (terjual habis). Apalagi penggunaan sepeda motor listrik didukung pemerintah lokal,” tutur Wenson.
Belajar dari Agats, Penasihat KPK, Mohammad Tsani Annafari menyampaikan, keterbatasan dapat mendorong masyarakat untuk menggunakan kendaraan listrik. KPK, yang juga ikut mengawal pembahasan rancangan Perpres percepatan kendaraan listrik, menilai pengendalian penjualan kendaraan berbahan bakar fosil dapat mendorong masyarakat beralih ke kendaraan listrik.
“Jika dipaksa oleh kondisi, seperti di Papua, penetrasi (kendaraan listrik) pun akan lebih cepat, seiring dengan pertumbuhan infrastruktur pendukung (SPLU),” jelasnya.
Pengendalian penjualan kendaraan berbahan bakar fosil dapat mendorong masyarakat beralih ke kendaraan listrik.
Asisten Deputi Infrastruktur Penunjang Industri Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Firdaus Manti, pun menyampaikan, untuk mewujudkan cita-cita memiliki industri kendaraan listrik nasional, maka pembahasan draf pepres percepatan kendaraan listrik harus segera dirampungkan agar segera bisa ditandatangani Presiden Joko Widodo.
Menurut Firdaus, Perpres itu akan menjadi payung hukum yang memberi kepastian kepada pelaku usaha kendaraan listrik nasional di Tanah Air. Molornya perpres akan menghambat pada penerbitan beberapa regulasi turunan di kementerian terkait.
Firdaus mengatakan, pihaknya telah menyampaikan kepada Kemenperin bahwa keberadaan perpres tidak bermaksud menghambat investasi dari luar negeri. Tetapi, Firdaus mengingatkan bahwa yang diinginkan ialah memiliki produk nasional, bukan produk luar yang dibuat di Indonesia.
“Silakan saja pabrikan besar (luar negeri) investasi, tetapi kita juga berhak untuk membuat industri sendiri,” kata Firdaus.
Yang diinginkan ialah memiliki produk nasional, bukan produk luar yang dibuat di Indonesia.