Alutsista dan Kepentingan Nasional
Pemerintah juga harus pertimbangkan kepentingan nasionalnya sebelum membeli pesawat angkut produksi Perancis, A400M. Selain harga yang cukup tinggi, jalur logistik, kemampuan mendarat, dan kemapanan produk.
Angkatan Udara, sebagaimana militer pada umumnya adalah alat negara untuk kepentingan nasional. Hal ini tercermin pula saat misi AU Prancis pada Juli hingga awal September lalu, di kawasan Asia-Pasifik, yang bertujuan untuk kepentingan nasionalnya. Mulai dari latihan militer "Pitch Black" dengan Australia, hingga kunjungan AU-nya ke beberapa negara dalam Misi Pegasus, dikemas untuk kepentingan nasionalnya.
Kepala Staf Angkatan Udara Prancis, Marsekal Andre Lanata, dalam booklet Misi Pegasus mengatakan, misi ini proyeksi kekuatan militer Prancis di kawasan Asia-Pasifik. Kehadiran AU Prancis, sebelumnya diawali 27 Juli-17 Agustus lalu, dalam latihan perang udara "Pitch Black" AU Australia. Angkatan Udara Prancis mengirim 100 orang, tiga pesawat tempur Rafale B, satu pesawat angkut A400M Atlas, pesawat C135 FR, pesawat A310, dan 40 ton kargo dan peralatan. Setelah itu, Misi Pegasus mengunjungi Indonesia, Malaysia, Vietnam, Singapura, dan India.
Pertimbangkan membeli
Komandan Misi Pegasus, Marsekal Muda Patrick Charaix kemudian bertemu Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kepala Staf TNI AU Marsekal Yuyu Sutisna. Duta Besar Perancis untuk Indonesia, Jean-Charles Berthonnet, Selasa (21/8/2018), di sela-sela kunjungan AU Perancis di Pangkalan udara (Lanud) Halim Perdanakusuma, Jakarta, mengatakan, kerja sama strategis di antara dua negara dijalin sejak 2011. Acara itu dihadiri juga Menteri BUMN Rini Soemarno.
Patrick Charaix mengatakan, kunjungannya ke beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, untuk memperdalam hubungan kedua angkatan bersenjata. Selain itu, AU Perancis juga ingin memperkenalkan beberapa alat utama sistem kesenjataan (alutsista), seperti jet tempur Rafale dan pesawat angkut A 400 M. Di luar misi itu, AU Prancis juga mengirimkan 24 ton bantuan ke Lombok yang baru dilanda gempa. Pengangkutan bantuan menggunakan pesawat A400 M.
Saat ditanya, Rini mengatakan, pihaknya tengah mempertimbangkan pembelian A400M. Pesawat itu digunakan untuk angkutan kebutuhan pokok, semen dan bahan bakar minyak ke Indonesia timur.
Di Lanud Halim Perdanakusuma, AU Prancis memaparkan alutsista-nya, jet tempur Rafale B dan A400M. Kapten Sylvain yang presentasi A400M, menceritakan keunggulan pesawat yang dipakai AU Prancis sejak 2013. Setelah itu, pers dan perwira-perwira TNI-AU melihat A400M yang diparkir. Ia bercerita, kalau A400M sesuai misi yang diemban AU Prancis, terutama saat operasi di wilayah Afrika. Pesawat tersebut bisa terbang 12 jam, serta mengangkut beban maksimal 37 ton.
Sylvain yang menyatakan A400M sebagai game changer (pengubah penting), dibanding C130 yang tertinggal karena A400M bisa terbang dua kali lebih jauh dan mengangkut beban tiga kali lipat. Namun, ia tak membantah saat kenapa Prancis 2016 masih memesan dua pesawat C130J dan dua pesawat KC130 baru. “Karena rentang misi kami butuh pesawat angkut ringan, menengah, dan berat. Jadi kami butuh berbagai jenis pesawat,” kata Sylvain.
Patrick pun berpromosi. “Kami ke sini tak untuk jualan pesawat, tapi menceritakan apa yang bisa dikerjakan AU Prancis dengan Rafale dan A400M,” tuturnya. Walaupun sempat berkoordinasi dengan Airbus, dan mengakui hubungan industri, kehadiran AU Prancis untuk menyampaikan sudut pandang militernya. “Meskipun Indonesia tak berencana beli,” katanya.
A400M
Indonesia, dalam waktu dekat, memang tak berencana beli Rafale. Namun, berbeda dengan Rafale, AU Prancis berkali-kali mewakili Eropa, seperti Executive Vice President Military Aircraft Airbus Defence and Space Fernando Alonso (Kompas, 5 Agustus 2016), dan AU Inggris (7 Maret 2017) mempromosikan A400M. Komisi I DPR juga pernah berkunjung ke pabrik Airbus Military di Spanyol (Kompas, 6 Agustus 2016).
Yang menarik, A400M sendiri tercatat kontroversi di Eropa, bahkan sejak dimulainya pembuatan. Jean Joana dan Andy Smith dalam Changing French Military Procurement Policy : The State, Industry, and ‘Europe’ in the case of the A400M, jurnal West European Politics, Januari 2006, mengatakan, sejak awal proyek A400M lebih menitik beratkan program politik untuk satukan kekuatan industri pertahanan Uni Eropa (UE) daripada selesaikan operasional pengangkutan. Ditambah perbedaan kepentingan negara-negara Eropa, misalnya terkait anggaran, atau waktu pensiunnya pesawat-pesawat angkut sebelumnya.
Pada 2013, di jurnal Defense Studies, Jocelyn Mawdsley dalam artikelnya The A400M Project : From Flagship Project to Warning for European Defence Corporation memaparkan betapa ringkihnya proyek kerja sama pertahanan UE ini. Intinya, berbagai karakteristik dan kepentingan negara-negara yang buat proyek A400M punya banyak kendala.
Sempat jatuh dalam ujicoba 2015, proyek ini juga mengalami beberapa kali penundaan pengiriman, pembengkakan anggaran, serta ketidakmampuan pemenuhan spesifikasi yang dijanjikan semula. Beberapa negara UE bahkan kurangi jumlah pembeliannya. Jerman juga berupaya menjual 13 dari 17 jenis A400M yang dibelinya, tapi gagal. Bisa dikatakan, A400M belum melewati masa-masa awal perkembangannya, yang biasa disebut baby sickness period. Hingga kini, baru Malaysia sebagai negara di luar negara-negara UE yang beli A400M. Bandingkan C-130 Hercules yang digunakan lebih dari 60 negara di luar produsennya.
Kepentingan Nasional
Ada berbagai hal yang sebaiknya jadi pertimbangan sebelum beli A400M. Pertama, terkait harga. Walaupun tak pernah dibuka, diperkirakan harga pesawat A 400 M sekitar 110-120 juta dollar AS. Harga ini hampir dua kali lipat Herkules dan lebih dari 3 kali lipat CN295 yang dipakai TNI AU. Perlu diingat, A400M yang canggih punya alat sama dengan punya sistem yang baru. Sistem yang baru berarti investasi baru dari sisi pemeliharaan alat hingga manusia.
Kedua, terkait desain jalur logistik nasional. Tentunya tak mudah bandingkan Eropa yang kontingen, dengan misi Prancis yang jauh dari negaranya yang kecil dengan Indonesia sebagai negara kepulauan. Prancis yang banyak terlibat misi-misi NATO jauh membutuhkan pengiriman dalam jumlah besar. Indonesia yang terdiri dari kepulauan, di mana Presiden Joko Widodo memajukan visi Poros Maritim, gunakan pulau-pulaunya landasan aju.
Hingga kini, desain jalur logistik sebagian terbentuk, dengan kapal antarpulau, baik swasta maupun Pertamina. Perpaduan kapal dan pesawat-pesawat angkut yang berukuran menengah bisa lebih hemat. Apalagi untuk barang-barang yang bisa diprediksi seperti BBM dan semen.
Ketiga, salah satu keunggulan A400M, kemampuannya mendarat di landasan yang tak teratur. Di Indonesia, hampir semua pangkalan beraspal mulus, kecuali di Lanud Astra Ksetra. Justru yang harus dipertimbangkan kekerasan yang terkait aircraft classification number (ACN) atau nilai yang menunjukkan efek relatif pesawat udara di atas pavement untuk kategori sub-grade standar tertentu. Untuk itu butuh landasan untuk dapat tekanan bobot tinggi.
Terkait masa baby sickness, harus dipertimbangkan, keuntungan yang bisa diraih Indonesia dibanding risiko selama A400M ini belum mapan sebagai produk. Tentunya ada beberapa imbalan bernilai tinggi. Hal ini karena UE juga tak terlalu ramah dalam perdagangan dengan Indonesia seperti dialami produk sawit Indonesia.
Kini, ketika AU Prancis jalankan misi sesuai kepentingan nasional, tentunya Indonesia juga harus menghitung kepentingan nasionalnya.