Perusahaan yang Mencemarkan Danau Sembuluh Bakal Dicabut Izinnya
Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah akan memeriksa langsung pencemaran di Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. Apabila terbukti ada perusahaan yang membuang limbah atau mencemari danau akan ditindak tegas sampai pada pencabutan izin.
Petugas dari Pemprov Kalimantan Tengah saat ini sedang mengambil sampel dari Danau Sembuluh untuk memastikan pencemaran lingkungan yang terjadi di sana.
“Terjun ke lapangan, ambil sampel, dan semuanya harus transparan. Selama ini beberapa kali menegur tapi mentok, ke depan jangan sampai mentok. Harus kembalikan wibawa pemerintah Kalteng. Jangan sampai pemerintah Kalteng kalah sama pengusaha,” kata Wakil Gubernur Kalimantan Tengah Habib Said Ismail di sela-sela kegiatan Peluncuran Kegiatan Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga Beras Medium, di Palangkaraya Selasa (4/9/2018).
Habib menambahkan, selama ini laporan berkala dari bulan April sampai Agustus yang dibuat perusahaan di Kabupaten Seruyan tidak pernah tercantum soal pencemaran air di Danau Sembuluh. Bahkan, menurut Habib, sudah ada uji laboratorium yang membuktikan itu.
“Tetapi kami tetap akan kirim tim ke sana untuk memeriksa dan menguji airnya secara transparan sehingga semua orang tahu. Saya pernah kerja di sana meski kemarau dan air surut sekalipun ikan tidak akan mati,” kata Habib.
Habib menegaskan, pemerintah akan menegur perusahaan yang terbukti melakukan pencemaran. Bahkan, apabila tetap tidak ada respon dari perusahaan maka akan dicabut izinnya.
“Kalau bisa perusahaan bikin kanal-kanal yang tidak berhubungan langsung ke sungai untuk kegiatan mereka seperti pemupukan dan lain sebagainya,” kata Habib.
Terkait penanaman yang melanggar sempadan, Habib mengungkapkan, pihaknya belum bisa memastikan hal tersebut dan harus memeriksa langsung ke lapangan.
Menanggai hal tersebut, Direktur Save Our Borneo (SOB) Safrudin Mahendra mengungkapkan, uji baku mutu air tidak bisa dijadikan satu-satunya indikator. Pemerintah juga harus melihat aspek kepekaan perusahaan terhadap kondisi lingkungan di sekitar konsesi.
“Prakteknya sebagian besar kawasan penyangga, kawasan resapan, dan penahan air itu dihancurkan. Harus komprehensif jangan sekedar cek air. Meskipun demikian kami dukung upaya pemeirntah untuk melihat kondisi di sana,” kata Safrudin.
Safrudin menambahkan, kawasan di sekitar Danau Sembuluh merupakan penyedia dan penyuplai unsur hara dan makanan untuk satwa yang hidup di sekitar dan di perairan danu. Kawasan tersebut merupakan rumah satwa endemik seperti, bekantan, orangutan, dan satwa lainnya yang sekarang sudah tidak terlihat lagi di lokasi.
“Dilihat juga aspek kehidupan sosial masyarakat yang kehilangan segalanya, mereka mulai kesulitan mencari ikan dan bertani karena akses ke lahan kelola masyarakat ditutup,” kata Safrudin.
Danau Sembuluh memiliki luas 7.832,5 ha dengan panjang 35,68 km. Danau ini merupakan tempat bermuaranya sungai-sungai besar dan kecil seperti Kupang, Rungau, Batu Gadur, Ramania, dan banyak sungai kecil lainnya. Di sekitar danau ini terdapat sedikitnya 10 desa dari dua kecamatan, yakni Kecamatan Danau Sembuluh dan Kecamatan Seruyan Raya.
Dari data Save Our Borneo (SOB), sedikitnya terdapat 11 perusahaan perkebunan sawit yang mengelilingi perkebunan. Selain itu, ada dua pabrik crude palm oil atau minyak sawit mentah di bagian utara dan timur danau dengan jarak lebih kurang 10 sampai sembilan kilometer.
Wardian (63), warga Desa Sembuluh I, mengungkapkan, industri sawit sudah hadir sejak 1999 tetapi tidak pernah menghadirkan kesejahteraan untuk masyarakat. Perubahan dari hutan ke perkebunan juga merubah sistem sosial kehidupan masyarakat di sekitar sembuluh.
“Banyak jenis ikan lokal yang hilang di danau, banyak warga tidak bisa menggarap lahan pertanian karena diklaim oleh perusahaan, konflik tidak selesai dari dulu. Bahkan saya dan beberapa warga pernah ditangkap karena memperjuangkan hak kami,” ungkap Wardian.
Bagi Wardian, konflik berkepanjangan hadir dalam kehidupannya sejak industri sawit masuk. Ia berharap kebun dan lahan masyarakat yang digarap perusahaan bisa dikembalikan dan lingkungan mereka bisa hijau kembali.
“Kami ini hidup miskin karena sekarang semuanya serba beli. Beras dulu tidak perlu beli tetapi sekarang harus beli beras asal jawa atau kabupaten lain, padahal dulu kami punya banyak jenis beras lokal. Itu miskin,” kata Wardian.