Usaha Pembuatan Kapal di Danau Sembuluh Kian Tenggelam
Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo
·3 menit baca
KUALA PEMBUANG, KOMPAS - Usaha pembuatan kapal di Kecamatan Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah makin tenggelam karena bahan baku yang mulai sulit didapat. Mereka pun beralih pekerjaan menjadi buruh di perkebunan sawit atau nelayan.
Wardian (63), salah satu pembuat kapal ulung di Desa Sembuluh I, mengaku dirinya tidak lagi membuat kapal karena kurangnya bahan baku. Hal itu terjadi karena kawasan hutan yang dikonversi menjadi kebun.
"Desa ini dikenal karena banyak pembuat kapalnya, sekarang sudah tersisa dua atau tiga orang saja," kata Wardian di Seruyan, Senin (3/9/2018).
Wardian menambahkan, sebelum hutan menjadi perkebunan sawit, sedikitnya terdapat 200 orang pembuat kapal di Desa Sembuluh I. Saat ini hanya tersisa paling banyak lima orang.
Dari pantauan Kompas, di belakang rumah Wardian masih terdapat sisa-sisa galangan kapal. Bahkan, masih terdapat setengah badan kapal yang dibuat dari kayu ulin atau Eusideroxylon zwageri.
Setengah badan kapal itu sudah 10 tahun terbengkalai karena Wardian kesulitan bahan dasar ulin atau kayu lainnya. Wardian enggan melanjutkan pembuatan kapal dan memilih berladang atau sekedar mencari ikan di Danau Sembuluh.
"Keuntungan membuat kapal itu besar sekali tergantung kayu dan ukuran kapal. Selain itu, kalau buat kapal pasti banyak orang dapat pekerjaan meski diupah harian," tambah Wardian.
Wardian berhenti menjadi pembuat kayu sejak tahun 2000-an. Saat itu industri sawit mulai masuk ke desa-desa sekitar Danau.
Kendala serupa juga dialami Taher (42) warga Desa Sembuluh I. Taher masih membuka galangan kapalnya yang mendapatkan pesanan dari Sulawesi.
"Dulu kalau bekerja satu kapal bisa 15 orang sekarang maksimal hanya tujuh orang, sudah banyak yang tidak mau lagi bekerja dan memilih ke kebun sawit," tambah Taher.
"Dulu kalau bekerja satu kapal bisa 15 orang sekarang maksimal hanya tujuh orang, sudah banyak yang tidak mau lagi bekerja dan memilih ke kebun sawit," tambah Taher.
Taher sedang membuat kapal berukuran panjang bawah 24 meter dan panjang atas 45 meter dengan perkiraan berat mencapai 800 ton. Kapal itu berbahan utama kayu ulin yang ia beli dari kabupaten tetangga atau di Seruyan Tengah.
Satu kapal bisa dihargai Rp 3 miliar sampai Rp 5 miliar paling tinggi tergantung ukurannya.
"Sudah enam bulan kerja belum selesai, biasanya bisa makan waktu sampai setahun, tapi kalau susah dapat kayu bisa tiga tahun baru selesai," kata Taher.
Sembari membuat kapal, Taher juga mencari ikan di Danau Sembuluh. Danau tersebut adalah danau terbesar di Kalteng dengan luas mencapai 7.832,5 hektar dengan panjang 35,68 kilometer.
Sayangnya sejak industri sawit masuk danau tersebut semakin tercemar. (Kompas, Senin 3/9/2018).
Sedikitnya terdapat 11 perusahaan sawit yang mengelilingi danau tersebut. Selain itu, ada dua pabrik crude palm oil yang dibangun di bagian utara dan timur danau.
Beberapa pembuat kapal menjadi buruh di perkebunan atau masuk dalam anggota koperasi plasma perkebunan. Namun penghasilan yang didapat juga sedikit.
Anggota Badan Perwakilan Desa Tambiku, Ahmad (38), mengatakan warga yang tergabung dalam koperasi diberikan upah sebesar Rp 250.000 per bulan. Bahkan, upah terkadang dibayar per tiga bulan dengan jumlah Rp 2,5 juta.
"Penghasilan tidak menetap dari plasma karena perusahaan memotong lagi biaya perawatan dan pupuk dari buah yang kami panen di plasma," ungkap Ahmad.