Pembela HAM Perlu Terapkan Strategi Keamanan yang Dinamis
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Para pembela hak asasi manusia (HAM) perlu menerapkan strategi keamanan yang dinamis dan menyeluruh dalam pekerjaan sehari-hari mereka. Hal ini dilakukan karena pembela HAM seringkali menghadapi gangguan, penahanan, penolakan, ancaman, hingga siksaan oleh sejumlah oknum.
Kasus pembunuhan yang menimpa para pembela HAM masih tinggi. Lembaga pelanggaran HAM Global Witness mencatat, sejak 2002 hingga 2014, terdapat 911 kasus pembunuhan dan penghilangan paksa para pembela tanah dan lingkungan yang terjadi di dunia.
Dalam lembar fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) nomor 29, disebutkan bahwa pembela HAM adalah orang-orang yang secara individul atau bersama-sama melakukan tindakan untuk memajukan atau melindungi HAM.
Sejak 2002 hingga 2014, terdapat 911 kasus pembunuhan dan penghilangan paksa para pembela tanah dan lingkungan yang terjadi di dunia.
Pembela HAM dari Protection International Thailand, Pranom Somwong, di Jakarta, Senin (3/9/2018), menyampaikan, di sejumlah negara termasuk Thailand, para pembela HAM memang kerap mendapatkan siksaan hingga pembunuhan. Hal ini juga tidak terlepas dari mekanisme perlindungan bagi pembela HAM yang masih sangat lemah.
“Penelitian oleh Protection International telah mendokumentasikan kasus lebih dari 50 pembela HAM di Thailand terbunuh dalam 20 tahun terakhir. Jumlah itu termasuk beberapa kasus penghilangan paksa,” ungkap Pranom dalam diskusi di Komnas HAM, Jakarta.
Menurut Pranom, banyaknya kasus pembunuhan ini membuat para pembela HAM perlu menerapkan strategi keamanan yang dinamis dan menyeluruh dalam pekerjaan sehari-hari mereka.
Anggota unit penelitian dan pelatihan Protection International Luis Enrique Eguren dan Marie Caraj, dalam buku Manual Perlindungan Terbaru bagi Pembela HAM menjelaskan, strategi keamanan memiliki beberapa tujuan yang dapat meminimalisir risiko yang dihadapi para pembela HAM. Tujuan tersebut antara lain, memahami konsep ancaman, mempelajari risiko, mengetahui cara merespon ancaman, dan melakukan pengawasan.
Informasi bagi para pembela HAM dalam menghadapi risiko keamanan juga disajikan dalam buku panduan dari Unit Perlindungan dan Pembela HAM Guatemala.
Para pembela HAM dalam posisi yang berisiko perlu melakukan sejumlah hal seperti melindungi informasi, mencatat dan menganalisa insiden keamanan, mengenali lingkungan tempat tinggal, hingga memberitahu keluarga cara menghadapi suatu insiden.
Kasus di Indonesia
Selain Thailand, Indonesia juga memiliki sejumlah kasus kelam kekerasan hingga pembunuhan para pembela HAM. Lembaga pemantau HAM Imparsial mencatat, sepanjang 2012-2015, setidaknya terdapat 72 kasus kekerasan terhadap pembela HAM. Tiga diantara kasus tersebut berupa kekerasan yang mengakibatkan kematian.
Sepanjang 2012-2015, setidaknya terdapat 72 kasus kekerasan terhadap pembela HAM. Tiga diantara kasus tersebut berupa kekerasan yang mengakibatkan kematian.
Adapun Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan menyebutkan, sepanjang 2015, sebanyak 24 pembela HAM, aktivis lingkungan dan anggota masyarakat adat mengalami tindakan kriminalisasi.
Selain itu, terdapat juga beberapa nama pembela HAM yang terbunuh karena gigih menyuarakan dan memperjuangkan HAM, antara lain, Munir Said Thalib, Marsinah, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin, Salim Kancil, dan Indra Pelani.
Pada Jumat nanti (7/9/2018), genap 14 tahun aktivis HAM Munir Said Thalib dibunuh. Namun, sampai saat ini pengusutan terhadap auktor intelektualis pembunuhan Munir belum tuntas.
Sebelumnya, Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontas) Bidang Advokasi Putri Kanesia menyatakan kekecewaannya terhadap pemerintah. Putri menilai, tidak tuntasnya penyelidikan kasus pembunuhan Munir selama 14 tahun merupakan sebuah catatan suram penegakan hukum di negeri ini.
Kekecewaan Putri ini juga menyusul telah bebasnya terpidana pembunuhan Munir yakni Pollycarpus Budihari Priyanto pada Rabu (29/8/2018) lalu. Pollycarpus bebas setelah menjalani sepuluh tahun dari 14 tahun masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
“Kami menyerahkan surat untuk mendorong dan meminta Presiden segera mengumumkan dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Munir yang hari ini posisinya ada di Istana. Tetapi sampai hari ini kami belum mendapat kejelasan apakah dokumen tersebut akan segera diumumkan atau tidak,” ujarnya.
Terkait kasus pembunuhan Munir ini, Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian memerintahkan Kepala Bareskrim Inspektur Jenderal Arief Sulistyanto untuk membuka dan mengungkap kembali penyelidikan kasus tersebut.
“Kami akan buka lagi berkasnya dan akan kami teliti lebih dalam. Kami akan selidiki dulu dan juga akan cek kebenarannya seperti apa,” kata Kepala Bidang Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto.