JAKARTA, KOMPAS- Kebijakan Ketua DPR Bambang Soesatyo untuk membuka semua rapat di DPR perlu dituangkan dalam aturan yang jelas dan detail. Langkah itu dibutuhkan agar keterbukaan yang dijanjikan tersebut benar-benar diimplementasikan oleh semua alat kelengkapan di DPR dengan ukuran yang jelas.
Kebijakan untuk membuka semua rapat di DPR tersebut disampaikan Bambang saat peringatan Hari Ulang Tahun Ke-73 DPR pada 29 Agustus lalu.
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, di Jakarta, Minggu (2/9/2018), menilai, keinginan Bambang untuk membuka rapat-rapat di DPR itu adalah hal yang tepat. Pasalnya, langkah itu akan membuat publik bisa mengawasi dan turut berpartisipasi. Keterbukaan juga menjadi salah satu esensi dari demokrasi.
Namun, jika melihat pengalaman sebelumnya, janji keterbukaan pernah disampaikan oleh pimpinan DPR sebelum Bambang. Namun, dalam pelaksanaannya, hal itu cenderung menjadi jargon. Pasalnya, tidak sedikit rapat-rapat yang penting untuk diketahui publik masih digelar tertutup.
Rapat yang sebagian masih digelar tertutup itu, lanjut Lucius, misalnya, rapat membahas regulasi tentang pemilu, MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), serta rapat terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Rapat yang digelar alat kelengkapan DPR dengan mitra kerja pemerintah yang juga ada yang digelar tertutup. Demikian pula halnya dengan rapat di Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR yang banyak membahas soal anggaran dan fasilitas anggota DPR. Sidang di Mahkamah Kehormatan DPR saat menyelidiki dugaan pelanggaran kode etik oleh anggota DPR juga ada yang dilakukan tertutup.
Hal ini bisa terjadi karena di UU MD3 ataupun Tata Tertib DPR, sifat rapat di DPR masih memungkinkan digelar tertutup. Rapat bisa tertutup jika ada anggota DPR, fraksi, atau mitra kerja DPR di rapat yang memintanya.
”Dengan aturan itu, peserta rapat bisa membuat rapat secara tertutup, kapan pun mereka menginginkannya,” katanya.
Diubah
Jika keterbukaan benar-benar ingin diterapkan, kata Lucius, ketentuan di UU MD3 dan Tata Tertib DPR itu perlu diubah. Regulasi harus tegas menyebutkan semua rapat terbuka dan hanya dalam kondisi-kondisi tertentu rapat bisa tertutup. ”Kondisi tertentu itu harus jelas dan tegas definisinya, tidak kemudian diserahkan kepada peserta rapat. Sebagai contoh, hal yang menyangkut rahasia negara,” ujarnya.
Selain itu, perlu diatur sanksi jika ternyata rapat yang seharusnya terbuka dibuat menjadi tertutup.
Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari mengatakan Komisi I sebenarnya ingin seluruh rapat digelar terbuka. Namun untuk hal-hal yang menyangkut rahasia negara, rencana operasi militer, dan relasi Indonesia dengan negara lain, memang sebaiknya digelar tertutup. Jika dibuka, berpotensi membahayakan negara, relasi antar negara, dan bisa menggagalkan rencana operasi militer.
Jika rapat tersebut dipaksanakan untuk bersifat terbuka, Komisi I bisa tidak optimal dalam melakukan pengawasan. “Ini karena mitra-mitra kerja kami, cenderung tidak terbuka kalau rapat terbuka. Yang disampaikan hanya hal-hal umum. Jika demikian, bagaimana kami bisa mengawasi apa yang mereka lakukan?” jelasnya.
Sementara Ketua Badan Anggaran DPR Aziz Syamsuddin menjanjikan rapat di badan anggaran akan digelar terbuka. Hal itu termasuk saat pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2019. “Tidak hanya kali ini. Sudah sejak saya menjabat ketua badan anggaran (awal tahun 2017), rapat-rapat badan anggaran itu selalu terbuka,” tambahnya.
Ketua BURT DPR Anthon Sihombing yang menjanjikan rapat-rapat BURT terbuka. Dia pun membantah jika rapat BURT selama ini tertutup. “Tidak pernah kami rapat tertutup. Kami selalu terbuka,” katanya.