Jaksa Belum Siap, Sidang Tuntutan Direksi PT Dok dan Perkapalan Ditunda
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS — Sidang perkara korupsi yang sedianya menjadwalkan tuntutan terhadap empat mantan direksi badan usaha milik negara PT Dok dan Perkapalan Surabaya di Pengadilan Tipikor Surabaya, Senin (3/9/2018), ditunda. Jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Negeri Surabaya belum menyiapkan materi tuntutan terhadap para terdakwa kasus korupsi korporasi yang merugikan negara hingga Rp 35 miliar itu.
Sidang dengan agenda pembacaan tuntutan itu akhirnya ditunda hingga Jumat (7/9/2018). Majelis hakim yang diketuai I Wayan Sosiawan meminta jaksa segera menyelesaikan materi tuntutan sehingga tidak ada lagi penundaan kedua. Alasannya agar sidang berjalan efektif dan efisien.
”Tolong sampaikan kepada Kejagung agar segera merampungkan materi tuntutannya sehingga siap dibacakan pada persidangan berikutnya. Sidang dijadwalkan berlangsung pagi,” ujar Wayan.
Empat mantan direksi PT Dok dan Perkapalan Surabaya (Persero) ialah Direktur Utama Firmansyah Arifin, Direktur Keuangan Nana Suryana, Direktur Pemasaran Muhammad Yahya, dan Direktur Produksi I Wayan Yoga Junaidi. Firmansyah Arifin, yang juga mantan Dirut PT PAL Surabaya, berstatus terpidana dengan vonis 4 tahun oleh Pengadilan Tipikor Surabaya dalam kasus korupsi di perusahaan itu.
Para terdakwa didakwa melakukan korupsi dalam proyek fiktif pembangunan tangki timbun milik PT Pertamina sehingga merugikan negara Rp 35 miliar. Kasus tindak pidana korupsi itu terjadi pada 2010-2011. Adapun kasusnya bermula ketika pada 20 Agustus 2009, PT Berdikari Petro melakukan penandatanganan kerja sama dengan PT Pertamina terkait dengan pembangunan tangki pendam untuk kegiatan penimbunan dan penyaluran bahan bakar minyak (BBM) di Muara Sabak, Provinsi Jambi, senilai Rp 141 miliar.
PT Berdikari Petro sebagai penggarap konstruksi gagal membangun tangki timbun karena tidak memiliki dana. Perusahaan kemudian mencari investor, yakni PT Dok dan Perkapalan Surabaya (Persero). Selanjutnya, PT Dok menjadi subkontraktor pekerjaan pembangunan tangki timbun. Namun, saat itu, kesepakatan kontrak kerja sama antara PT Berdikari Petro dan PT Pertamina telah batal karena PT Berdikari gagal memenuhi komitmen dalam waktu yang ditentukan, yakni 180 hari.
Tanpa melakukan klarifikasi kontrak terhadap PT Pertamina, PT Dok dan Perkapalan menerima pekerjaan sebagai investor pembangunan tangki timbun di Jambi. PT Dok kemudian menunjuk perusahaan AE Marine Pte Ltd untuk mengerjakannya. Perusahaan kemudian mentransfer uang Rp 30 miliar tanpa bank garansi atau jaminan, melainkan berdasarkan invoice (dokumen yang digunakan sebagai bukti pembayaran).
Dalam perjalanannya, PT Dok dan Perkapalan juga menerbitkan invoice fiktif Rp 52 miliar dari PT Pertamina seolah mereka menerima pembayaran terhadap pekerjaan pembangunan tangki timbun itu. Padahal, uang itu sebenarnya untuk pembayaran bahan material dua kapal tanker yang dipesan PT Pertamina kepada PT Dok dan Perkapalan Surabaya.
Bahan material itu dipesan kepada Zhang Hong Pte Ltd selaku supplier tunggal. Penunjukan Zhang Hong sebagai supplier tunggal penyedia material kapal tanker ini melanggar aturan sebab harga yang diberikan jauh lebih mahal dibandingkan dengan supplier mitra PT Dok dan Perkapalan lainnya. Selisih harga itu dimanfaatkan oleh para terdakwa untuk mengeruk keuntungan.
Para terdakwa dianggap melakukan perbuatan yang melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menanggapi penundaan sidang penyampaian tuntutan, Yudi, kuasa hukum terdakwa Nana Suryana, mengatakan, pihaknya tidak berkeberatan. Dia dan kliennya bersedia menunggu hingga Jumat.