Seorang pengusaha menyampaikan bahwa orang-orang di pemerintahan itu pintar-pintar semua dan sebenarnya sudah tahu persoalan yang dihadapi dunia usaha. Apalagi, selama ini kalangan pelaku usaha tak henti memberi masukan, keluhan, hingga jeritan untuk menyuarakan beragam kendala yang mereka hadapi.
Tak terbilang serangkaian seminar, pertemuan, diskusi, yang menghadirkan para pemangku kepentingan digelar untuk membedah aneka permasalahan tersebut. Semua hal itu idealnya bermuara pada pertumbuhan di tiap sektor usaha demi menopang pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi, di pertengahan tahun 2018, defisit neraca perdagangan malahan kian mencuat. Neraca minyak dan gas bumi menjadi sorotan karena porsinya yang memperdalam defisit neraca perdagangan tersebut.
Data Badan Pusat Statistik, ekspor migas periode Januari-Juli 2018 sebesar 10,03 miliar dollar AS dengan impor 16,68 miliar dollar AS sehingga terjadi defisit 6,65 miliar dollar AS. Sementara itu, sektor nonmigas surplus 3,56 miliar dollar AS karena nilai impor yang 90,64 miliar dollar mampu dilampaui pencapaian ekspor yang 94,21 miliar dollar AS.
Alhasil secara total neraca perdagangan defisit 3,09 miliar dollar AS. Beragam upaya mengatasi defisit pun bermunculan. Dorongan substitusi impor, termasuk pengenaan pajak impor, hingga peningkatan ekspor pun gencar disuarakan.
Terkait dorongan ekspor, sebenarnya tanpa disuruh pun pelaku usaha dengan sendirinya akan menggenjot ekspor apabila memang peluang untuk itu ada. Naluri mencari profit toh melekat pada mereka. Ibaratnya, kita tak perlu lagi mengajari ikan untuk berenang.
Hal yang kiranya dapat dilakukan adalah membantu ikan tersebut agar kian lincah berenang menuju tujuan. Patut untuk membantu menghilangkan beban yang memberati laju ikan tadi.
Dalam konteks ini, sepatutnya semua pemangku kepentingan membantu dunia usaha Indonesia agar berdaya saing sehingga kian kuat mempenetrasi pasar ekspor.
Mari kita sejenak kembali ke Oktober 2015, hampir tiga tahun lalu, ketika pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi ketiga. Poin-poinnya keren, sebut misalnya penurunan harga bahan bakar minyak, listrik, dan gas. Masih ada poin lainnya, tapi kita sisihkan dulu.
Agar tidak melebar, kita fokus saja ke penurunan harga gas yang selama ini didambakan pelaku industri. Kompas (8/10/2015) mencatat, pemerintah memberlakukan harga gas untuk pabrik dari lapangan gas yang baru ditetapkan sesuai kemampuan daya beli industri pupuk, yaitu 7 juta metrik british thermal unit (MMBTU). Harga gas untuk industri lain akan diturunkan sesuai kemampuan industri masing-masing. Keputusan ini berlaku efektif per 1 Januari 2016.
Waktu terus berjalan dan hingga kini belum semua industri di dalam negeri merasakan realisasi janji manis penurunan harga gas tersebut. Ambil contoh industri keramik yang -mengutip data Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia- pada pertengahan Juni 2018 lalu masih menanggung harga gas industri 9,16 dollar AS per MMBTU di zona Jawa bagian barat (Banten sampai perbatasan Jawa Tengah).
Adapun industri keramik di zona Jawa bagian timur menanggung harga 7,98 dollar AS per MMBTU. Dapatkah membayangkan tingkat daya saing industri keramik dalam negeri di kancah pasar ekspor ketika harga gas di negara lain rata-rata di bawah 6 dollar AS per MMBTU?
Kondisi semacam ini menggambarkan bahwa industri di Indonesia sudah kalah sejak awal, sejak tahap produksi, sejak masih ada di dalam negeri. Mendorong mereka meningkatkan ekspor pada kondisi seperti itu ibarat mengajak orang tak bertenaga yang kurang nutrisi beradu lari dengan atlet asing yang berkecukupan gizi.
Jadi, kalau mau mendorong ekspor, ada baiknya semua hal yang direspon positif dunia usaha dan telah ditawarkan pada belasan paket kebijakan itu segera direalisasikan. Arah kebijakan yang tepat akan sia-sia apabila eksekusinya lambat.