Suatu pagi menjelang siang di sebuah sekolah di Kabupaten Merauke, Papua, Irianus Waukatu (15) mendengarkan dengan saksama materi pelajaran yang disampaikan gurunya. Anak Suku Koroway, suku yang bermukim di perbatasan Kabupaten Boven Digoel dan Pegunungan Bintang, itu rela jauh-jauh datang ke Merauke demi mengejar masa depan yang cerah.
Irianus adalah siswa kelas VII SMP Plus Satu Atap Terintegrasi I Merauke. Sekolah itu adalah bagian dari Lembaga Pendidikan Alternatif Peradaban Papua yang berlokasi di Taman Nasional Wasur, berjarak sekitar 30 kilometer dari kota Merauke. Di fasilitas itu, anak-anak, termasuk dari wilayah pedalaman, dapat menikmati pendidikan secara gratis.
Jika melihat usianya, Irianus agak terlambat menempuh pendidikan menengah pertama karena sempat berhenti sekolah selama beberapa tahun usai lulus sekolah dasar. Hal itu disebabkan di kampungnya, yakni Danokik, hanya ada sekolah dasar.
Kondisi itu membuat banyak anak seusianya di kampung tersebut terpaksa putus sekolah. Menyekolahkan anak ke kota pun bukan perkara mudah karena sebagian besar warga di Koroway tidak memiliki penghasilan tetap. Warga kebanyakan hanya berkebun seadanya dan menangkap ikan.
Lembaga Pendidikan Alternatif Peradaban Papua membuat Irianus bisa kembali merajut asanya untuk mengenyam pendidikan. Irianus diajak seorang kerabatnya, yang juga lulusan lembaga pendidikan tersebut, untuk bersekolah di tempat itu.
“Saya sangat senang akhirnya bisa bersekolah kembali. Semua biaya sekolah, tempat tinggal, dan makan ditanggung pihak sekolah,” ungkap Irianus saat ditemui seusai kegiatan belajar di kelas, pada Rabu (25/7/2018).
Dengan semangat belajar yang tinggi untuk mengejar cita-cita menjadi polisi, Irianus menempuh perjalanan panjang dan berat dari kampungnya ke Merauke. Pertama, dia harus berjalan kaki selama 48 jam ke Danowage.
Dari situ, Irianus melanjutkan perjalanan dengan menumpangi perahu motor selama tiga hari ke Tanah Merah, ibu kota Boven Digoel. Dari Tanah Merah, perjalanan diteruskan dengan mobil selama 10 jam untuk tiba di Merauke.
Perjuangan tak kalah berat juga ditempuh Antonia Balagaise (14), siswi kelas VIII SMP asal Distrik Waanam, Merauke, demi mengejar cita-cita menjadi guru. Meski masih masuk wilayah Kabupaten Merauke, kampung Antonia terletak di pedalaman yang sulit akses. Satu-satunya sarana transportasi antarwilayah adalah melalui pesawat berbadan kecil.
Selain perjuangan mengatasi kendala geografis, remaja putri itu juga melewati perjuangan emosional karena harus nekat meninggalkan keluarganya untuk bersekolah di Wasur. “Di kampung, banyak teman saya yang menikah pada usia muda. Saya tak mau seperti mereka dan ingin berhasil mengubah nasib,” ujarnya.
Semua jenjang
Lembaga Pendidikan Alternatif Peradaban Papua didirikan pada 2006 dengan dana otonomi khusus Papua yang dikelola Pemerintah Kabupaten Merauke. Selain SMP, lembaga itu juga memiliki jenjang SMA, SD, TK, dan PAUD. Total saat ini terdapat 1.112 anak yang bersekolah di semua jenjang di lembaga itu.
Lembaga pendidikan tersebut juga menerapkan pola asrama agar dapat mengakomodasi anak-anak yang berasal dari wilayah pedalaman. Pihak sekolah pun menerapkan sistem “jemput bola” demi memudahkan anak-anak dari pedalaman untuk datang ke Wasur, seperti halnya yang dilakukan terhadap Irianus dan Antonia.
Asrama sekolah saat ini menampung sebanyak 381 anak yang berasal dari pedalaman sejumlah kabupaten di wilayah selatan Papua, seperti Merauke, Mappi, Boven Digoel, dan Asmat. Sisa pelajar lainnya tidak tinggal di asrama karena berasal dari wilayah sekitar kota Merauke.
Sekolah itu memberikan pendidikan membaca, menulis, dan berhitung kepada siswa asal pedalaman sebelum memasuki tahap pendidikan formal. Pelatihan tersebut berlangsung selama sebulan hingga maksimal enam bulan. Selain itu, juga terdapat pendidikan nonformal untuk paket A, B, dan C.
Eva Sitinjak, guru Lembaga Pendidikan Alternatif Peradaban Papua, mengatakan, pola pembelajaran bagi para siswa yang berasal dari pedalaman menggunakan kata-kata yang sederhana dan mudah dipahami.
“Saya memberikan materi sesuai dengan kearifan lokal dan lingkungan sehari-sehari mereka. Misalnya, menggunakan analogi kegiatan bertani, berburu di hutan, atau menangkap ikan,” ujar guru asal Sumatera Utara ini.
Sugiono, guru lainnya, mengatakan, para siswa penghuni asrama juga mendapat pendidikan keterampilan di luar sekolah, seperti pelatihan ilmu kehutanan, kerajinan tangan, dan komputer.
Para siswa menjalani aktivitas sehari-hari di asrama dari pukul 05.30 WIT hingga pukul 21.30 WIT. Mereka juga bertugas untuk memasak setiap hari. Terdapat sebanyak 27 ruang tidur dan fasilitas seperti ruang belajar, dapur, dan kamar mandi di asrama itu.
Tempat tidur untuk siswa putra dan putri terpisah. Karena keterbatasan tempat, setiap ruang tidur ditempati oleh 8-12 siswa. Siswa yang tinggal di asrama terdiri dari usia 10 tahun hingga 23 tahun.
Akses warga
Kepala sekolah dan perintis Lembaga Pendidikan Alternatif Peradaban Papua Sergius Womsiwor mengungkapkan, lembaga tersebut membantu warga dari kalangan ekonomi lemah di pedalaman kawasan selatan Papua yang tidak dapat mengakses layanan pendidikan.
“Nasib anak-anak di sana sangat memprihatinkan. Orangtua mereka berpola hidup nomaden. Tidak ada sekolah dan tenaga pengajar,” ungkap Sergius.
Sejauh ini, tercatat sekitar 100 orang lulusan lembaga itu yang telah bekerja dalam berbagai profesi. Pada tahun ajaran 2017/2018, jumlah lulusan SMA sebanyak 204 siswa.
Sergius pun berharap pemerintah daerah serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dapat secara konsisten membantu lembaga tersebut. Pasalnya, kebutuhan biaya operasional lembaga itu mencapai sekitar Rp 500 juta per tahun.
“Tugas kami sebagai guru adalah mencurahkan tenaga untuk membantu anak-anak ini. Pemerintah harus tetap menjaga keberadaan lembaga ini karena menjadi tulang punggung pendidikan di Papua,” ujar Sergius.
Upaya yang dilakukan di Wasur itu membuka kesempatan bagi anak-anak di pedalaman Papua untuk bisa meraih masa depan yang lebih baik. Seperti kutipan dari Presiden Afrika Selatan periode 1994-1999, Nelson Mandela: “Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa kamu gunakan untuk mengubah dunia.”