JAKARTA, KOMPAS – Musik dangdut kini menjadi demam baru masyarakat Indonesia. Dangdut yang dulunya dianggap musik rakyat kelas bawah, tempo lalu justru menjadi tontonan utama pada pembukaan Asian Games 2018. Goyang dayung Presiden Joko Widodo seakan menegaskan bahwa sudah saatnya dangdut diangkat menjadi salah satu ikon utama musik Indonesia.
Kiprah dua penyanyi dangdut fenomenal asal Jawa Timur, yaitu Via Vallen dan Nella Kharisma, membuat banyak orang belakangan kian gandrung berdangdut. Lagu berjudul Sayang, Bojo Galak dan Jaran Goyang kini disetel di segala tempat, mulai dari warung kopi pinggir jalan hingga di kafe mewah dengan sofa empuk dan ruangan ber-AC.
“Saya rasa, ini saat yang tepat membenahi tata kelola musik dangdut agar menjadi ekosistem yang berkelanjutan,” kata Deputi Hubungan Antarlembaga dan Wilayah Badan Ekonomi Kreatif, Endang Wahyu Sulistianti, di Jakarta, Kamis (30/8/2018). Endang menilai, pengelolaan musik dangdut perlu diperbaiki agar kesejahteraan seniman musik dangdut terjamin.
Saya rasa, ini saat yang tepat membenahi tata kelola musik dangdut agar menjadi ekosistem yang berkelanjutan
Dengan kesejahteraan yang lebih terjamin, diharapkan para seniman musik dangdut lebih produktif berkarya. Namun, hingga kini salah satu persoalan besar adalah tidak adanya tata kelola industri musik. Itu terlihat dari tidak jelasnya jaminan hari tua musisi, tidak adanya sistem pendataan yang merekam jejak musisi, serta ketidakpastian jaminan kesejahteraan mereka (Kompas, 15/12/2016).
“Pemerintah perlu menanamkan kesadaran pelindungan karya sejak awal musisi dangdut berkarya agar mereka tak menyesal kemudian,” kata sutradara film Tarling is Darling Ismail Fahmi Lubish. Dalam proses pembuatan film tentang kesenian dangdut tarling di Jawa Barat, Fahmi menemukan fakta banyak seniman yang tak tahu bagaimana harus melindungi karyanya.
Meskipun pertumbuhan pendapatan industri musik naik 7,26 persen per tahun, kontribusi musik dangdut terhadap total produk domestik bruto industri kreatif pada tahun 2017 hanya sebesar satu persen atau sekitar Rp 1.000 triliun.
Dangdut koplo
Sebenarnya, sudah sejak lama, dangdut menjadi musik yang paling digemari masyarakat Indonesia. Orkes melayu atau yang biasa disingkat OM sudah ada di Indonesia 1990an. Para penggemar dangdut tentu akrab dengan grup OM Sera, OM Sagita, OM Palapa, dan sejenisnya.
“Label dangdut itu norak, porno, dan murah menyebabkan banyak orang malu mengakui kegemarannya mendengarkan dangdut. Masyarakat Indonesia itu cinta (dangdut) tapi malu-malu,” kata pengamat dangdut Andre Yahya.
Dangdut sudah mulai populer sejak kemunculan Rhoma Irama pada tahun 1970an. Pada era berikutnya juga banyak bermunculan pedangdut yang tak kalah populernya, yaitu Elvy Sukaesih, Evie Tamala, Inul Daratista, dan beberapa lainnya.
Kemunculan Inul dan goyang ngebor pada awal 2000-an menandai era baru musik dangdut. Meskipun banyak mendapat kecaman, musik dangdut koplo yang dinyanyikan Inul semakin digemari masyarakat. Irama musik yang cepat dan lirik sedih membuat orang yang mendengar makin hanyut berdendang.
Lirik galau yang bercerita tentang cinta ditolak, ditinggal pergi suami, suami galak, dan semacamnya berhasil membawa Via Vallen dan Nella Kharisma ke puncak popularitas.
Itu memang keistimewaan dangdut, liriknya bercerita tentang kegalauan yang kita rasakan dalam hidup sehari-hari
"Itu memang keistimewaan dangdut, liriknya bercerita tentang kegalauan yang kita rasakan dalam hidup sehari-hari,” ujar salah satu pendiri situs web pengarsipan musik Irama Nusantara, David Tarigan.
Adapun survei Nielsen terhadap pendengar radio pada 2016 menunjukkan, mayoritas penggemar dangdut merupakan kalangan pendengar dewasa, yaitu generasi Baby Boomers (1945-1960) dan generasi X (1960-1980). Sebanyak 41 persen generasi Baby Boomers dan 31 persen generasi X menyatakan senang mendengarkan musik dangdut. (PANDU WIYOGA)