YOGYAKARTA, KOMPAS - Pengembangan pariwisata dinilai menjadi salah satu solusi menekan defisit transaksi berjalan Indonesia yang pada semester I-2018 telah mencapai 13,7 miliar dollar AS atau 2,6 persen terhadap produk domestik bruto. Namun, pengelolaan pariwisata dinilai belum optimal.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan, seusai memimpin rapat koordinasi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan Bank Indonesia terkait pengembangan pariwisata, di Yogyakarta, Selasa (28/8/2018) mengatakan, pariwisata jadi salah satu solusi mengatasi defisit, selain ekspor batubara dan minyak kelapa sawit.
Akan tetapi, kontribusi pariwisata belum maksimal, tahun lalu menyumbang devisa 14 miliar dollar AS, jauh di bawah Thailand yang mencapai 62 miliar dollar AS. Oleh karena itu, pemerintah menyiapkan bauran kebijakan untuk merelaksasi tarif dan pajak serta menopang pembiayaan.
Padahal, selain menyumbang PDB, sektor pariwisata juga efektif dalam menyerap tenaga kerja. Sebagai stimulus pengembangan sektor ini, pemerintah siapkan bauran kebijakan untuk modal pembiayaan serta merelaksasi tarif dan pajak.
Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, saat ini terdapat lima destinasi wisata yang diprioritaskan dalam pemasaran yakni Bali, Jakarta dan kota di sekitarnya, Kepulauan Riau, Bromo Tengger Semeru, serta Kabupaten Banyuwangi.
Pemerintah juga telah menetapkan wilayah super prioritas untuk pengembangan pariwisata. Keempat destinasi tersebut adalah kawasan Danau Toba di Sumatera Utara, kawasan Borobudur atau segitiga Yogyakarta-Solo-Semarang, KEK Mandalika di Nusa Tenggara Barat, dan Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur.
“Pariwisata ditargetkan menjadi sektor penyumbnang devisa terbesar pada 2019 sebanyak 20 miliar dollar AS dan terus bertumbuh hingga 28 milar dollar AS pada 2024,” ujar Arief.
Insentif fiskal
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menuturkan, pihaknya menyiapkan dana alokasi khusus (DAK) untuk daerah yang memiliki kawasan pariwisata. Dukungan ini diberikan, baik di bidang fisik maupun nonfisik, pengembangan sektor pariwisata.
Berdasarkan nota keuangan RAPBN 2019, pemerintah mengalokasikan DAK nonfisik sebesar Rp 132,2 triliun dan DAK fisik sebesar Rp 77,1 triliun. Khusus untuk pariwisata, Mardiasmo mengatakan DAK nonfisik akan dialokasikan sebesar Rp 213 miliar dan DAK fisik dialikasikan Rp 1 triliun.
“Pemanfaatan DAK nonfisik untuk meningkatkan kapasitas masyarakat lokal di bidang pariwisata, sementara DAK fisik dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur penunjang kawasan pariwisata,” kata Mardiasmo.
Dia menambahkan, insentif fiskal juga dioptimalkan untuk badan usaha di kawasan ekonomi khusus (KEK) pariwisata, di antaranya dengan menghilangkan pungutan cukai serta kebijakan restitusi pajak tanpa verifikasi terlebih dahulu.
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan perbankan akan didorong untuk meningkatkan akses pembiayaan bagi kegiatan usaha di sektor pariwisata melalui penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk usaha pariwisata.
“Dalam waktu dekat akan ada Peraturan Menko Perekonomian mengenai KUR pariwisata yang dengan subsidi suku bunga,” ujarnya. Kebijakan ini ditargetkan berjalan September 2018 sebagai stimulus pertumbuhan pariwisata.
Ketua Tim Ahli Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada Phil Janianton Damanik menilai pemerintah perlu melindungi pengusaha lokal bermodal terbatas dari persaingan usaha dengan badan usaha wisata berjaringan internasional.
Caranya dengan mengintegrasikan unit usaha pariwisata bermodal besar dengan usaha-usaha mikro milik masyarakat lokal di daerah wisata.
“Dibutuhkan regulasi agar jaringan bisnis pariwisata internasional sebagai investor mau merangkul pengusaha-pengusaha lokal. Ini untuk mencegah agar mayoritas devisa yang dihasilkan dari pariwisata tidak dibawa ke luar negeri,” ujar Janianton.