Hak penghuni rumah susun dan apartemen di DKI Jakarta belum sepenuhnya terjamin karena belum adanya peraturan terkait. Pemprov pun mulai mengatur penghunian vertikal.
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menandatangani surat edaran nomor 16/SE/2018 tentang optimalisasi pembinaan pengelolaan rumah susun yang ditujukan pada para pengurus perhimpunan pemilik dan penghuni satuan rumah susun (PPPSRS).
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP) DKI Jakarta Meli Budiastuti, Rabu (29/8/2018), mengatakan, surat edaran tersebut merupakan upaya untuk meningkatkan jaminan hak pada pemilik dan penghuni rumah susun.
Hunian vertikal sudah tak bisa dipisahkan dari pembangunan di Jakarta. Jumlahnya diperkirakan akan terus bertambah. Apalagi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencangkan program DP Rp 0 yang juga akan berwujud hunian vertikal.
Saat ini, sudah ada 165 PPPSRS yang sudah disahkan Gubernur DKI Jakarta. Namun, diperkirakan setidaknya ada lebih dari 200 apartemen dan rumah susun di DKI Jakarta dengan jumlah penghuni puluhan ribu orang. Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta sedang melakukan pendataan untuk memastikan jumlahnya.
Selama ini, keluhan dan permasalahan rumah susun dan apartemen sudah banyak terjadi. Selama periode Januari-Juli saja, sudah ada 120 keluhan terkait pengelolaan apartemen dan rumah susun disampaikan ke Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta.
Sejumlah konflik yang kerap terjadi di antaranya pemutusan aliran listrik dan air secara sepihak oleh pengelola karena penghuni belum melunasi iuran pengelolaan lingkungan (IPL).
“Padahal ini sebenarnya tidak boleh sebab tidak tertulis di undang-udang dan peraturan. Kalau menunggak pembayaran listrik dan air, bisa aliran dimatikan sesuai peraturan yang berlaku untuk rumah tapak juga. Tapi kalau menunggak IPL, seharusnya listrik dan air tak dimatikan,” katanya.
Permasalahan lain di antaranya kurangnya komunikasi dan transparansi biaya IPL yang dibebankan warga pada penghuni hingga tidak transparannya pemilihan anggota PPPSRS. Apartemen yang belum mempunyai PPPSRS diwakili oleh pihak pengelola apartemen atau rumah susun.
Dalam surat edaran itu, PPPSRS diminta untuk menghapus ketentuan pemutusan utilitas listrik dan air yang menjadi sanksi atas keterlambatan dan selisih pembayaran IPL. Komponen IPL juga harus dipisahkan dari tagihan listrik dan air.
Selain itu, PPPSRS juga diminta untuk transparan serta melibatkan partisipasi pemilik atau penghuni dalam berbagai aturan yang dibuat.
Surat edaran itu meminta PPPSRS melaksanakan semua hal yang tercantum dengan secepat-cepatnya. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memberikan Sanksi sesuai perundang-undangan yang berlaku bagi PPPSRS yang tidak melaksanakannya.
Jaminan lemah
Peraturan untuk menjamin hak penghuni hunian vertikal dinilai semakin mendesak sebab menjadi kunci salah satu kesuksesan program DP 0. Selama ini, masih lemahnya jaminan hak penghuni rumah susun dari pemerintah daerah karena belum adanya Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri yang terbit sebagai turunan dari Undang-Undang 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun.
Menurut Meli, pihaknya juga tengah menyusun peraturan gubernur (Pergub) untuk penghuni rumah susun untuk memperkuat surat edaran tersebut. Pergub untuk pengelolaan rusun yang baru akan memuat hal-hal yang sering dilaporkan oleh warga Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Salah satu pemilik unit apartemen di kawasan Jakarta Pusat Rachmi Sekaringtyas (34) mengatakan, surat edaran itu seharusnya disosialisasikan kepada penghuni dan pemilik unit apartemen dan rumah susun di DKI Jakarta agar bisa mengawasi saat ada pengelola yang tak mengikutinya.
“Kami butuh ada jaminan hak ini dari pemerintah. Sekarang ini kami sering merasa dirugikan oleh aturan sepihak pengelola. Dulu sering protes, tapi sekarang sudah banyak yang berhenti sejak ada salah satu warga kami dipenjara buntut dari protes soal pembayaran parkir,” katanya.
Sejak menghuni apartemen di Jakarta pada 2014 lalu, ia telah berulangkali keberatan dengan pengelola, mulai dari penetapan biaya IPL yang tak melibatkan warga, tarif parkir yang sangat memberatkan hingga pemutusan aliran air yang terjadi tanpa pemberitahuan.
Ia dan keluarganya bertahan di apartemen tersebut karena lokasinya yang dekat dengan tempatnya bekerja. Sementara untuk membeli rumah tapak, saat ini harganya di lokasi tersebut sudah sangat tak terjangkau.