Sektor ”E-commerce” Indonesia Berpotensi Tumbuh 8 Kali Lipat dalam 5 Tahun
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki modal dan landasan yang kokoh bagi pertumbuhan industri jual beli barang secara daring atau e-commerce. Agar dapat mengapitalisasi potensi ini, ekosistem perdagangan daring perlu dijaga kondusif, sekaligus meningkatkan pasokan sumber daya manusia yang terampil dalam bidang teknologi informasi.
Jika tidak, Indonesia akan kehilangan peluang pertumbuhan e-commerce dan berpotensi sekadar menjadi konsumen di lanskap perdagangan dunia.
Berdasarkan hasil studi bertajuk ”The digital archipelago: How online commerce is driving Indonesia’s economic development” yang dipublikasikan perusahaan konsultan manajemen multinasional McKinsey & Co pada Rabu (29/8/2018) siang di Jakarta, sektor perdagangan daring Indonesia berpotensi untuk tumbuh delapan kali lipat lebih besar, dari 8 miliar dollar AS (Rp 112 triliun) pada 2017 menjadi 65 miliar dollar AS (Rp 910 triliun) pada 2022.
”Studi ini berfokus pada jual beli barang secara daring sebagai obyek penelitian, sektor lainnya seperti penjualan tiket, gim, atau jasa transportasi tidak diteliti. Jadi, kemungkinan besar e-commerce secara keseluruhan lebih besar daripada angka tadi,” kata Phillia Wibowo, Presiden Direktur McKinsey Indonesia, di Jakarta.
Phillia bahkan menilai, proyeksi pertumbuhan perdagangan daring di Indonesia 2017-2022 mirip dengan China pada periode pertumbuhan masifnya, yakni pada 2010-2015.
Proyeksi pertumbuhan perdagangan daring di Indonesia 2017-2022 mirip dengan China pada periode pertumbuhan masifnya, yakni pada 2010-2015.
Pada 2010, sektor retail daring atau e-tailing China hanya sebesar 3 persen dari total pangsa pasar retail. Kini, sektor e-tailing China mencapai 16 persen. Di sisi lain, pangsa e-tailing Indonesia pada 2017 sebesar 3 persen.
Menurut Phillia, Indonesia dapat menyamai atau melampaui pencapaian pertumbuhan e-commerce China dengan melihat luasnya penggunaan ponsel pintar dan media sosial.
”Pada 2022, pangsa e-tailing Indonesia mungkin bisa mencapai 17-20 persen dalam sektor retail formal di Indonesia,” kata Phillia.
Pertumbuhan ini juga berdasar atas proyeksi peningkatan angka rerata besaran belanja daring individual Indonesia. Pada 2017, rata-rata orang Indonesia menghabiskan 260 dollar AS per tahun. Diperkirakan pada 2022 angka ini akan meningkat menjadi 620 dollar AS per tahun. Peningkatan ini serupa dengan apa yang dialami masyarakat China pada 2010-2015.
Serap 20 juta tenaga kerja
Phillia menuturkan, pertumbuhan industri ini akan berdampak pada peningkatan jumlah lapangan kerja di Indonesia.
Menurut riset McKinsey, pada 2022, perdagangan daring akan menyerap 26 juta tenaga kerja. Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan kondisi saat ini dengan 4 juta tenaga kerja berada dalam industri tersebut. Sekitar 17 juta dari 26 juta lapangan kerja tersebut akan berasal dari tenaga kerja usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Namun, kualitas tenaga kerja menjadi penting agar dapat diserap dalam industri perdagangan daring.
Kualitas tenaga kerja menjadi penting agar dapat diserap dalam industri perdagangan daring.
Pertumbuhan perdagangan daring juga ditengarai akan mendorong pemerataan ekonomi, khususnya ke daerah yang tergolong jauh dari Jakarta. Tren ini sudah terlihat pada periode 2013-2017, ketika pertumbuhan retail daring di provinsi-provinsi seperti Papua, Papua Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, dan Bengkulu jauh lebih besar dibandingkan dengan Jakarta.
”Pertumbuhan e-tailing Jakarta itu dua kali angka nasional. Nah, provinsi-provinsi tersebut itu progresnya 3-6 kali lebih tinggi dibandingkan tingkat pertumbuhan e-tailing nasional,” ujar Phillia.
Pemerataan ekonomi ini juga akan muncul dalam bentuk harga produk yang lebih murah daripada di toko luring (offline). Di luar Pulau Jawa, harga suatu produk secara rata-rata lebih rendah 11-25 persen dibandingkan yang dijual di toko luring daerah setempat. ”Harga yang lebih rendah ini sudah termasuk dengan logistic cost atau biaya pengiriman,” lanjut Phillia.
Landasan kokoh
Phillia mengatakan, proyeksi-proyeksi semacam ini dimungkinkan dengan melihat kondisi masyarakat digital dan populasi kelas konsumen di Indonesia. Jumlah populasi pengguna internet dan ponsel pintar yang terus tumbuh di Indonesia merupakan landasan yang kokoh untuk pertumbuhan industri berbasis internet.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, pertumbuhan pengguna internet di Indonesia sangat pesat. Dalam jangka waktu lima tahun terakhir, pertumbuhan pengguna internet meningkat 2,5 lipat.
”Awalnya 63 juta orang, naik menjadi 143 juta. Ini naiknya cepat sekali,” ucap Semuel di sela-sela acara Asia Internet of Things Business Platform.
Pertumbuhan populasi konsumen (consuming class) Indonesia yang besar, yakni 8 persen, menurut Phillia, juga akan mendorong pertumbuhan industri perdagangan daring tersebut.
”Populasi consuming class Indonesia itu 72 juta orang. Sudah jauh lebih besar dari populasi total sejumlah negara di dunia,” kata Phillia. Jumlah tersebut sekitar 27 persen dari total populasi Indonesia.
Populasi ”consuming class” Indonesia itu 72 juta orang. Sudah jauh lebih besar dari populasi total sejumlah negara di dunia.
Melalui proyek pembangunan Palapa Ring oleh pemerintah, semua kota dan kabupaten di Indonesia akan terkoneksi melalui jaringan serat optik. ”Akses kecepatan di seluruh daerah nanti akan setara,” kata Semuel.
Studi ini pun menyebut Palapa Ring sebagai salah satu kebijakan Pemerintah Indonesia yang mendukung pertumbuhan perdagangan daring.
Kebijakan lain yang dinilai positif dalam mendukung pertumbuhan industri ini adalah pembentukan sejumlah badan yang mendukung ekonomi digital. Contohnya adalah Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan IDX Incubator untuk inkubasi perusahaan rintisan.
Penyusunan peta jalan atau road map untuk industri perdagangan daring yang dibuat pada 2017 juga menjadi kebijakan yang diapresiasi dan dinilai mendukung pertumbuhan industri tersebut.
Studi ini menunjukkan juga bahwa 38 persen dari total investasi perusahaan internet dunia di Asia Tenggara pada 2015-2017 masuk ke Indonesia.
Strategi ke depan
Hambatan utama yang harus dihadapi Indonesia guna mengapitalisasi potensi di atas adalah logistik. Berdasarkan data Bank Dunia, infrastruktur logistik Indonesia berperingkat ke-63 dari 160 negara di dunia pada 2016.
Indonesia juga berada di posisi ke-136 untuk biaya ekspor dan posisi ke-97 dari 188 negara untuk waktu proses ekspor. Di tingkat ASEAN, Indonesia menduduki posisi ke-7 dan ke-8 untuk kedua parameter di atas.
Sebagai perbandingan, Singapura sebagai pemuncak di ASEAN berada di posisi ke-52 untuk biaya ekspor dan ke-46 pada waktu ekspor. Sementara Vietnam berada di posisi ke-98 dan ke-95.
Studi tersebut menyatakan, Indonesia belum memiliki standardisasi sistem teknologi informasi dan ukuran pengemasan barang untuk diekspor. Kedua hal itu disebut menghambat proses ekspor.
Akan tetapi, Phillia mengapresiasi progres pembangunan infrastruktur di Indonesia beberapa tahun terakhir. ”Terus terang, infrastruktur memang sudah menjadi fokus sekarang dan menurut saya harus terus menjadi fokus (pembangunan). Jika tidak, pengiriman produk ke daerah akan menjadi mahal,” tuturnya.
Terus terang, infrastruktur memang sudah menjadi fokus sekarang dan menurut saya harus terus menjadi fokus (pembangunan).
Tingkat inklusi finansial Indonesia pun masih tertinggal dibandingkan negara-negara Asia Tenggara. Berdasarkan data Findex Bank Dunia, hanya 49 persen populasi Indonesia yang memiliki rekening bank. Jumlah ini tertinggal jauh dibandingkan Malaysia dengan 85 persen dan Thailand 82 persen.
Penyediaan sumber daya manusia yang siap untuk masuk industri ini juga masih kurang. Secara rata-rata, Indonesia hanya memproduksi 0,8 lulusan bidang STEM (sains, teknologi, engineering/rekayasa, dan matematika) per 1.000 orang.
Dalam parameter tersebut, China berada pada angka 3,4 lulusan STEM per seribu orang. Indonesia tertinggal juga dari Iran (4,2), Rusia (3,9), dan India (2,0).
Tingkatkan UMKM daring
Lebih dari 60 persen atau sekitar 36 juta UMKM di Indonesia sudah menggunakan internet. Dari jumlah tersebut, hanya 15 persen yang telah memiliki sistem penjualan daring yang baik.
Di sisi lain, jumlah perusahaan menengah (medium sized company) di Indonesia masih sangat sedikit (0,1 persen dari jumlah total perusahaan) dibandingkan rata-rata global, yakni 2 persen.
Tantangan yang menghambat naik kelasnya perusahaan kecil menjadi perusahaan menengah adalah terbatasnya akses terhadap pembiayaan, bimbingan bisnis yang terbatas, dan kurangnya pengetahuan terkait peluang pasar.
Baik pemerintah maupun sektor swasta harus bekerja sama untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut. Jika tidak ada perubahan baik yang signifikan, pertumbuhan perdagangan daring Indonesia tidak akan istimewa seperti yang telah diproyeksikan tersebut.
”Kalau orang Indonesia tidak memanfaatkan ini, orang lain yang akan memanfaatkan potensi ini,” ujar Phillia. Ini karena perdagangan daring akan tetap terjadi.