JAKARTA, KOMPAS —Tak ada orang yang luput dari gegap gempita Asian Games 2018. Berbagai kejutan yang terjadi membuat rakyat berpesta dan bangga menjadi Indonesia, mulai dari pembukaan yang mengejutkan mata hingga capaian prestasi atlet yang melampaui target. Namun, sekelompok orang yang berada paling dekat dengan pusat pesta pora itu justru hidup diliputi ketakutan.
Sekelompok orang itu merupakan golongan yang kini paling dimusuhi selama Asian Games 2018 berlangsung. Mereka adalah calo, pedagang asongan, dan pedagang atribut yang dianggap membuat panggung utama Asian Games 2018, Gelora Bung Karno (GBK), menjadi kurang sedap dipandang mata. Sebisa mungkin mereka disingkirkan agar GBK tampak modern dan bersih dari gejala kemiskinan.
Kelompok pertama, calo, pasti sudah tak asing lagi. Mereka kerap dituding menjadi tersangka utama karut-marut penjualan tiket pertandingan Asian Games 2018. Jika tiket habis, orang bisa dengan gampang menunjuk mereka sebagai tersangka utamanya.
”Kami ini cuma cari rezeki, Mas, sama dengan yang lain. Anak kami juga butuh makan,” kata seorang calo yang mengaku bernama Arli (44), Selasa (28/8/2018). Beberapa hari yang lalu, Kompas dimintai tolong olehnya untuk menerjemahkan pembicaraan seorang penonton asal Amerika Serikat saat akan membeli tiket basket kepada Arli.
Kini situasinya berbeda, Arli tak lagi punya tiket untuk dijual. Ia banting setir menjadi pedagang stiker dan atribut tim Indonesia. ”Ampun deh, enggak berani lagi, Mas, kemarin habis diuber-uber orang yang ngaku polisi,” ujar Arli.
Arli tidak tinggal di Jakarta. Sampai sekarang ia tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur, bersama anak istrinya. Arli cukup lihai membaca peluang, ia datang ke Jakarta khusus untuk menjadi calo tiket pertandingan Asian Games 2018.
Saat masih menjadi calo, penghasilannya lumayan, keuntungan Rp 900.000 bisa diraupnya dalam sehari dengan hanya bermodal Rp 800.000. ”Kalau jualan stiker dan bendera beginian paling banyak dapat Rp 150.000,” kata Arli.
Ia mengatakan terpaksa beralih profesi menjadi pedagang atribut karena takut dipalak oknum yang mengaku polisi. Menurut keterangan Arli, oknum itu memburu para calo dan menyita seluruh tiket dan uang yang mereka miliki.
Kelompok kedua, pedagang atribut, juga bernasib tak jauh berbeda dengan para calo. Petugas satpol PP tak henti memburu mereka.
Jika tertangkap, barang dagangan mereka akan disita seluruhnya. Mereka harus mengambilnya ke balai kota dengan berbagai syarat. Sebagian besar memilih merelakannya, tetapi ada juga beberapa yang mengambilnya dan nekat berjualan lagi.
Salah satu pedagang atribut, Apri (33), mengatakan, dirinya baru saja tertangkap satpol PP siang tadi. Namun, malamnya, ia sudah kembali lagi berjualan. Berbeda dengan Arli, di wajahnya tidak ada raut takut ataupun waspada. ”Di Jakarta, mah, harus bandel, kalau enggak gitu anak istri enggak hidup,” kata Apri.
Barang dagangan Apri hanya ada dua macam, stiker bendera Indonesia dan sehelai kain panjang warna merah putih. Stiker itu dijualnya Rp 1.000 dan kain merah putih dijualnya Rp 10.000.
Sebelum Asian Games berlangsung Apri bekerja sebagai pengojek pangkalan. Anaknya baru satu berusia 3 tahun.
Ia mengatakan, di balik sikap tenangnya, sebenarnya ia sama dengan para pedagang atribut lain yang takut diciduk satpol PP. Demi pendapatan yang lebih besar, ia rela mengambil risiko yang juga lebih besar.
Kelompok terakhir, pedagang asongan, merupakan kelompok yang paling mudah tertangkap satpol PP. Kebanyakan dari mereka memilih tidak berdagang di dekat GBK. Sebagian pedagang pindah ke Stasiun Palmerah dan sekitarnya.
Sari (44) merupakan salah satu pedagang rokok dan minuman yang memilih menjauh dari area GBK. ”Disuruh pindah dari tanggal 12 Juli, biasanya, sih, saya jualan di depan TVRI,” kata Sari.
Jumlah pedagang yang menumpuk di satu lokasi membuat pendapatan mereka menurun. Sari mengatakan, jika biasanya ia bisa menjual minuman sebanyak empat termos, sekarang dalam sehari satu termos pun belum pasti terjual habis.
Lain halnya dengan Sari, pedagang asongan lain, Siti (39), mempunyai trik cerdas agar tetap bisa berjualan di area luar GBK. Ia memilih berjualan satu jenis barang saja, air mineral botolan. Ia memasukkan barang dagangannya itu ke dalam tas ransel agar mudah melarikan diri saat ditertibkan satpol PP.
Sekali berangkat dari rumahnya di daerah Palmerah Barat, Siti menggendong tas berisi 24 botol air mineral ukuran 600 mililiter. Beban itu cukup berat bagi ibu 8 anak itu. Penghasilannya dari berjualan air minum itu juga tak seberapa jika dibandingkan berjualan makanan lainnya.
”Yang penting bisa buat makan. Satu botol saya jual Rp 7000 kepada penonton Indonesia, tapi kalau kepada penonton asing saya jual Rp 15.000,” kata Siti. Ia baru pulang ke rumahnya jika 24 botol itu habis terjual, itu berarti paling tidak ia bisa mengantongi untung Rp 100.000 dalam satu hari.
Saat ditanya tentang prestasi atlet Indonesia di Asian Games 2018, keempat orang itu mengaku bangga. Mereka juga senang area GBK dan sekitarnya ditata menjadi lebih baik. Namun, seperti yang sudah-sudah, mereka berharap perbaikan yang sama juga diupayakan pemerintah bagi kesejahteraan mereka.
”Kami tidak pernah berniat mengganggu. Kami cuma nyari makan. Itu saja,” ujar Siti. (PANDU WIYOGA)