JAKARTA, KOMPAS—Sekolah tidak bisa memaksa ataupun melarang siswa mengenakan atribut keagamaan. Aspek terpenting ialah memastikan siswa bisa mengekspresikan diri sesuai dengan latar belakang individu masing-masing.
Sejumlah pegiat pendidikan yang tergabung dalam gerakan Wow Save Indonesia (WSI) mengemukakan hal itu saat bertemu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy di Jakarta, Selasa (28/8/2018). Salah satu hal yang ditekankan dalam pertemuan itu ialah peraturan sekolah yang mewajibkan siswi mengenakan atribut keagamaan seperti bercadar.
Peraturan Mendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tentang Pakaian Seragam Sekolah menyatakan, kepala sekolah dan guru tidak boleh memaksa siswa memakai atribut keagamaan tertentu. Pada saat sama, mereka juga tidak boleh melarang siswa yang memutuskan untuk mengenakan atribut keagamaan.
Penolakan nilai
”Pemaksaan dan pelarangan adalah wujud proses penolakan nilai yang berlaku di masyarakat luas, yaitu negara. Hal ini juga menafikan kebebasan individu untuk berekspresi sesuai identitas suku bangsa, keagamaan, dan sosialnya. Keseluruhannya merupakan proses radikalisasi,” kata anggota WSI, Ketua Majelis Himpunan Psikolog Indonesia Banten Rizal Bahrun.
Pemaksaan dan pelarangan adalah wujud proses penolakan nilai yang berlaku di masyarakat luas, yaitu negara. Hal ini juga menafikan kebebasan individu untuk berekspresi sesuai identitas suku bangsa, keagamaan, dan sosialnya.
Ia memaparkan, radikalisme memisahkan orang menjadi kelompok-kelompok yang tidak bisa saling ditembus sehingga muncul rasa saling tak percaya. Selanjutnya muncul anggapan bahwa kelompok yang satu lebih baik daripada yang lain. Perlakuan liyan itu berujung pada pecahnya persatuan di masyarakat serta pengakuan atas hak-hak individual.
Dalam presentasi juga ditunjukkan pemberitaan di media berbasis dalam jaringan mengenai tujuh sekolah negeri yang mewajibkan siswinya mengenakan atribut keagamaan, dua di antaranya bahkan menyuruh siswi mengenakan cadar. Sekolah-sekolah tersebut antara lain berada di Tegal (Jawa Tengah), Bandung (Jawa Barat), dan Rokan Hulu (Riau).
Bentuk aturannya bisa saja tidak tertulis ataupun formal, melainkan berupa tekanan dari orang sekitar sehingga siswi menurutinya agar tidak dicap berbeda. Akibatnya, siswa mengalami krisis identitas dan mudah dipengaruhi paham eksklusivisme,” kata Burhan.
Menanggapi hal itu, Muhadjir mengungkapkan, pengembangan pendidikan karakter merupakan tantangan karena berhadapan dengan berbagai peraturan daerah yang kemungkinan tidak sejalan dengan aturan dari Kemendikbud. Sebab, berdasarkan Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang otonomi daerah, pendidikan dikelola oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
“Harus ada singkronisasi peraturan daerah dengan aturan di Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional beserta permendikbud,” ujarnya. Ke depan, aturan mengenai seragam sekolah akan dibuat lebih rinci agar tidak multitafsir yang berujung kepada pemaksaan ataupun pelarangan ekspresi individual siswa.