Toleransi Manusia Selamatkan Harimau Sumatera
Pertemuan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dengan manusia tidak dapat dihindarkan sehingga beberapa kali terjadi konflik yang mematikan. Namun, hasil penelitian menunjukkan, manusia dapat bertoleransi dengan harimau sehingga dapat menyelamatkan harimau sumatera dari tindakan pembunuhan balasan.
Penelitian berjudul ”Mengatasi Konflik Manusia-Harimau Menggunakan Informasi Sosio-Ekologis tentang Toleransi dan Risiko” itu dimuat dalam jurnal Nature Communications edisi 27 Agustus 2018 yang juga dipublikasikan sciencedaily.com.
Penelitian dilakukan sebuah tim peneliti, di antaranya Fachruddin M Mangunjaya dari Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta serta Matthew J Struebig dan Freya AV St John dari Universitas Kent, Inggris.
Lokasi penelitian ini berada di habitat harimau sumatera di Taman Nasional Kerinci Seblat, yang berada di empat provinsi, yaitu Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatera Selatan. Lanskap Kerinci Seblat terdiri atas 13.800 kilometer persegi yang terdiri dari pegunungan, hutan, dan lahan pertanian.
Tim peneliti menyurvei 2.386 orang di seluruh kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat. Sebagian besar responden adalah laki-laki (73,9 persen) dan usia rata-rata adalah 43,8 tahun. Responden mengidentifikasi diri sebagai Minangkabau (45,4 persen), Melayu (32,5 persen), Jawa (7,1 persen), Rejang (6,5 persen), Kerinci (2,9 persen), atau kelompok etnis lain (5,5 persen). Kurang dari 1 persen telah terluka secara pribadi oleh harimau atau ternak yang hilang pada tahun sebelumnya, tetapi banyak yang dapat mengingat kisah-kisah pertemuan harimau di lanskap, termasuk serangan di tempat lain.
Tim peneliti mengukur toleransi sebagai kapasitas bagi orang untuk menerima satwa liar dengan menanyakan kepada responden apakah mereka lebih suka populasi harimau dikurangi, diberantas, tetap sama, atau meningkat.
”Secara keseluruhan, 28,1 persen responden memilih untuk mengurangi atau memberantas harimau, 48,0 persen sepakat untuk tingkat populasi harimau saat ini, dan 19,4 persen setuju untuk peningkatan populasi harimau,” demikian kesimpulan penelitian Mangunjaya dan kawan-kawan.
Toleransi terhadap harimau itu, menurut penelitian ini, disebabkan oleh faktor-faktor psikologis, termasuk sikap, emosi manusia, dan keyakinan yang terkait dengan kesejahteraan spiritual secara keseluruhan. Tanggapan yang toleran di antara orang-orang didorong oleh sikap positif terhadap perlindungan dan menganggap penting harimau untuk kesejahteraan spiritual.
Struebig mengatakan, memahami toleransi orang adalah kunci untuk mengelola spesies berbahaya dan sangat penting bagi harimau. Ketika dikombinasikan dengan peta risiko perjumpaan manusia-harimau, informasi tentang toleransi masyarakat terhadap satwa membantu mengarahkan sumber daya konservasi ke tempat yang paling dibutuhkan.
”Ini bisa berarti penghematan biaya yang signifikan dalam hal hilangnya hewan atau dana yang dibelanjakan. Jadi bisa sangat berguna dalam konservasi,” kata Struebig.
Sejak 2000, enam Unit Perlindungan dan Konservasi Harimau telah bekerja di sekitar taman nasional, merespons insiden yang melibatkan harimau dan manusia, serta berpatroli di dalam hutan.
Tim memetakan pertemuan dari laporan Unit Perlindungan dan Konservasi Harimau dan media massa lokal antara 2000 dan 2013. Tim mengelompokkan informasi ini ke dalam empat jenis pertemuan sesuai dengan Strategi Manajemen Masalah Harimau Pemerintah Indonesia, yaitu pertama, 106 penampakan harimau. Kedua, 83 serangan harimau terhadap ternak. Ketiga, 12 serangan harimau terhadap manusia. Keempat, 27 kasus pemindahan harimau, biasanya dengan perangkap atau racun, dengan insiden individu yang terjadi setidaknya satu bulan terpisah di desa yang sama.
Sebagian besar insiden diselesaikan dengan teknik mitigasi, seperti pencegah kebisingan, tetapi 35 persen kasus meningkat ke pertemuan lain, termasuk setidaknya empat harimau yang secara sengaja dibunuh setelah penampakan.
Meskipun Unit Perlindungan dan Konservasi Harimau tetap aktif di seluruh bentang alam, laporan dari penduduk desa berhenti pada awal 2014 karena para pemburu menyusup ke daerah tersebut sebagai tanggapan atas meningkatnya permintaan untuk kulit harimau.
Meskipun risiko menghadapi harimau umumnya lebih besar di sekitar desa-desa berpenduduk dekat hutan atau sungai, profil geografis mengungkapkan tiga tempat di mana risiko pertemuan manusia-harimau sangat tinggi, yaitu di Merangin, Jambi; Pesisir Selatan, Sumbar; dan Lebong, Bengkulu.
Dengan kata lain, sejumlah besar serangan harimau cenderung terbatas pada beberapa wilayah geografis, dan pola yang sama ini terbukti dari laporan penampakan di tiga wilayah itu. Oleh karena itu, data pengamatan dari beberapa wilayah tertentu lebih informatif untuk membantu unit tanggap peringatan dari potensi insiden di masa depan sebelum mereka meningkat menjadi cedera atau korban jiwa. Selain itu, intervensi juga dapat bersifat pre-emptif, berdasarkan laporan penampakan harimau, dan terfokus pada sejumlah area terbatas sebelum serangan terjadi.
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini sangat signifikan dan membuka kemungkinan baru untuk tindakan yang lebih bertarget yang tidak hanya akan meningkatkan efisiensi, tetapi—yang lebih penting—memastikan bahwa lebih sedikit orang dan harimau yang menjadi korban akibat interaksi mereka. Penelitian ini telah menunjukkan, misalnya, bahwa jika informasi ini tersedia pada saat itu, intervensi pre-emptif menggunakan prediksi ini dapat mencegah hingga 51 persen serangan terhadap ternak dan manusia, berpotensi menyelamatkan 15 harimau.