Semua orang pasti sepakat, tinja atau feses bayi yang tertinggal di popok bekas pasti jorok. Namun siapa sangka, tinja bayi itu berpeluang untuk dijadikan sumber prebiotik baru di masa depan. Prebiotik itu bisa digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan bakteri baik di usus.
Dugaan itu diperoleh dari studi yang dilakukan Ravinder Nagpal dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Kedokteran Molekuler, Sekolah Kedokteran Wake Forest, Winston-Salem, Carolina Utara, Amerika Serikat dan sejumlah rekan yang dipublikasikan di jurnal Scientific Reports, Kamis (23/8/2018). Para peneliti menginvestigasi potensi tinja bayi menjadi sumber mikroba yang berkontribusi pada kesehatan sistem pencernaan.
Sejumlah bakteri pada feses bayi yang diekstraksi dapat meningkatkan produksi asam lemak rantai pendek (short-chain fatty acid/SCFA) pada tikus. Dengan demikian, manfaat itu kemungkinan besar juga bisa terjadi pada usus manusia.
Sejumlah bakteri pada feses bayi yang diekstraksi dapat meningkatkan produksi asam lemak rantai pendek (short-chain fatty acid/SCFA) pada tikus.
Molekul SCFA merupakan bagian dari asam lemak yang dihasilkan secara langsung oleh sejumlah mikoba usus melalui proses fermentasi serat. SCFA ini menjaga kesehatan usus dan melindungi manusia dari sejumlah penyakit. Karena itu, probiotik yang mengandung mikroba yang ada dalam feses bayi dapat memberikan manfaat guna meningkatkan produksi SCFA dalam sistem pencernaan yang terganggu.
“SCFA adalah komponen kunci untuk kesehatan usus yang baik,” kata pimpinan studi Hariom Yadav, asisten professor kedokteran molekuler di Sekolah Kedokteran Wake Forest, Winston-Salem, Carolina Utara, AS seperti dikutip Live Science, Jumat (24/8/2018).
“Orang yang memiliki gangguan diabetes, obesitas, gangguan autoimun, dan kanker seringkali memiliki SCFA lebih sedikit (dibanding orang yang sehat). Karena itu, meningkatkan jumlah SCFA dapat membantu menjaga atau memperbaiki lingkungan usus hingga menjadi normal dan akhirnya, bisa memperbaiki kesehatan tubuh,” tambahnya.
Transplantasi mikrobiota tinja (fecal microbiota transplants/FMT) atau transplantasi tinja dapat menjadi metode mengatasi gangguan usus dengan memasukkan beragam jenis bakteri dari sistem pencernaan yang baik. Bakteri baik itu diperoleh dengan cara disuling dari tinja donor. Metode ini bisa memperbaiki ketidakseimbangan keragaman mikoba dalam usus. Ketidakseimbangan microbiota usus itu umumnya terjadi karena bakteri Clostridium difficile (C diff) terlalu mendominasi sehingga memicu gangguan usus yang serius.
Transplantasi mikrobiota tinja (fecal microbiota transplants/FMT) atau transplantasi tinja dapat menjadi metode mengatasi gangguan usus dengan memasukkan beragam jenis bakteri dari sistem pencernaan yang baik.
Sebelumnya, tim peneliti sudah mempelajari penggunaan probiotik yang berisi bakteri usus yang sehat dan menguji dampaknya pada usus yang telah terinfeksi penyakit. Kini, studi baru diarahkan untuk mengetahui bagaimana peran probiotik dalam memengaruhi produksi SCFA dalam usus yang sehat.
Untuk mengetahui peran prebiotik dalam memproduksi SCFA, peneliti memilih meneliti tinja bayi karena mikrobioma di usus bayi bebas dari penyakit yang terkait dengan pertambahan umur, seperti diabetes dan kanker. Selain itu, tinja bayi tersedia cukup banyak di bekas popok mereka.
“Tinja bayi selalu tersedia,” kata Yadav.
Penelitian
Studi dilakukan peneliti dengan mengisoloasi 10 galur (strain) bakteri yang terdiri atas lima spesies bakteri Lactobacillus dan lima spesies bakteri Enterococcus yang diambil dari tinja 34 bayi. Identifikasi galur itu dilakukan untuk meneliti kandidit terbaik tinja untuk membuat probiotik. Prebiotik itu tersusun dari campuran mikroba yang mampu bertahan dalam usus manusia, sekaligus mampu menstimulasi produksi SCFA.
Selanjutnya, peneliti menguji probiotik dari campuran 10 galur bakteri itu dalam dosis yang berbeda pada tikus dan dalam medium tinja manusia untuk meniru lingkungan sistem pencernaan manusia. Hasilnya, meski dalam dosis tunggal, prebiotik itu mampu menjaga keseimbangan mikrobiota sehat dan meningkatkan produksi SCFA di tikus dan feses manusia.
“Studi ini memberikan bukti bahwa probiotik yang berasal dari manusia dapat dieksploitasi untuk (perawatan) penyakit pada manusia yang terkait dengan ketidakseimbangan mikobiota dan penurunan produksi SCFA di usus,” ungkap Yadav.
Meski demikian, sejumlah riset lanjutan masih diperlukan sebelum probiotik dari tinja bayi itu tersedia di toko. Namun, setidaknya studi ini telah memberi dasar bagi penyelidikan pengaruh probiotik pada mikrobiota di tubuh manusia, sistem metabolisme tubuh dan penyakit yang berkaitan dengannya.