YOGYAKARTA, KOMPAS — Pengembangan ilmu kedokteran nuklir di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, misalnya keterbatasan fasilitas dan sumber daya manusia serta adanya fobia terhadap teknologi nuklir. Hingga sekarang, baru ada 15 rumah sakit di Indonesia yang memiliki fasilitas kedokteran nuklir, sedangkan dokter spesialis kedokteran nuklir yang aktif hanya 41 orang.
”Memang di Indonesia perkembangan kedokteran nuklir tidak seperti yang kita harapkan,” kata Guru Besar Kedokteran Nuklir Universitas Padjadjaran, Bandung, Achmad Hussein Sundawa Kartamihardja di sela-sela Rapat Koordinasi Nasional Keselamatan Radiasi pada Fasilitas Kedokteran Nuklir, Selasa (28/8/2018), di Yogyakarta.
Kedokteran nuklir merupakan cabang ilmu kedokteran yang menggunakan zat radioaktif untuk mendiagnosis dan menyembuhkan penyakit. Hussein menyatakan, masih ada sejumlah masalah yang menghambat pengembangan kedokteran nuklir di Indonesia. Salah satunya adalah adanya fobia atau ketakutan berlebihan terhadap teknologi nuklir atau zat radioaktif.
Hussein menuturkan, fobia itu tidak hanya tumbuh di kalangan masyarakat awam, tetapi juga dimiliki sebagian dokter di Indonesia yang tidak mempunyai pengetahuan memadai ihwal kedokteran nuklir. Kondisi itu terjadi karena tidak semua fakultas kedokteran di Indonesia mengajarkan ihwal kedokteran nuklir.
”Tidak semua fakultas kedokteran mengajarkan kedokteran nuklir. Jadi, lulusan-lulusannya, ya, wajar saja enggak ngerti kedokteran nuklir,” ujar Hussein yang merupakan dokter spesialis kedokteran nuklir di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung.
Hussein mengatakan, selama ini, muncul fobia bahwa penggunaan zat radioaktif untuk diagnosis atau penyembuhan penyakit akan menimbulkan dampak negatif, misalnya menyebabkan kanker dan kemandulan. Padahal, dia menambahkan, jika diberikan dengan dosis yang tepat, penggunaan zat radioaktif tidak menimbulkan dampak negatif.
Selain adanya fobia, pengembangan kedokteran nuklir juga terkendala oleh sedikitnya jumlah sumber daya manusia di bidang itu. Menurut Hussein, saat ini, hanya ada 41 dokter spesialis kedokteran nuklir yang aktif di Indonesia. ”Jumlah dokter spesialis kedokteran nuklir di Indonesia masih terlalu sedikit,” ungkapnya.
Terbatas
Berbagai masalah itu membuat pengembangan ilmu kedokteran nuklir di Indonesia belum maksimal. Hussein menuturkan, di sejumlah negara, kedokteran nuklir telah dimanfaatkan untuk terapi penyembuhan sejumlah penyakit kanker, semisal kanker kelenjar getah bening, kanker prostat, dan kanker hati.
Sementara itu, kata Hussein, penggunaan kedokteran nuklir di Indonesia masih terbatas untuk terapi beberapa penyakit, misalnya kanker tiroid, penyakit hipertiroid, dan penyakit neuroblastoma. Hipertiroid adalah kondisi kelenjar tiroid yang terlalu aktif memproduksi hormon, sementara neuroblastoma adalah kanker langka yang berkembang dari neuroblasts atau sel-sel saraf yang belum matang pada anak-anak.
Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Jazi Eko Istiyanto mengatakan, Bapeten terus berupaya memudahkan proses perizinan untuk pembukaan fasilitas kedokteran nuklir tanpa mengorbankan aspek keselamatan. Saat ini, proses perizinan fasilitas kedokteran nuklir sudah terintegrasi dengan sistem Online Single Submission yang dibuat pemerintah. ”Bapeten ingin mendorong nuklir memberikan kemanfaatan yang maksimal bagi masyarakat,” ujarnya.
Jazi menambahkan, saat ini, baru ada 15 rumah sakit di Indonesia yang memiliki dan mengoperasikan fasilitas kedokteran nuklir. Selain itu, ada lima rumah sakit lain yang akan membangun fasilitas kedokteran nuklir.