JAKARTA, KOMPAS - Peningkatan impor pangan berpotensi mematikan usaha petani di dalam negeri. Tanpa kontrol yang baik dan keberpihakan ke petani, produksi dalam negeri akan semakin tertekan, seperti terjadi pada sejumlah komoditas.
Di tengah klaim surplus, impor sejumlah komoditas pangan terjadi ketika harga komoditas serupa di tingkat produsen di dalam negeri anjlok, seperti kini terjadi pada gula dan garam. Situasi itu dinilai ironis karena turut menyumbang defisit neraca perdagangan yang sepanjang Januari-Juli 2018 tercatat 3,09 miliar dollar AS.
Sejumlah petani dan asosiasi petani padi, tebu, bawang, dan petambak garam yang ditemui dan dihubungi Kompas Jumat-Minggu (24-26/8/2018), berharap pemerintah menghitung dampak impor ke produsen dalam negeri. Kebijakan impor semestinya tidak menggerus tujuan mencapai kedaulatan pangan.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa berpendapat, sebab disparitas harga yang cukup tinggi, gula impor legal dan ilegal menghancurkan harga gula petani. Petani semakin terpuruk dan malas membudidayakan tebu. Dampaknya berantai, produksi turun dan impor terus meningkat, tercermin di data beberapa tahun terakhir.
Hancurnya produksi kedelai sejak akhir tahun 1990-an menunjukkan kebijakan impor kedelai mematikan petani pembudidaya. Menurut Andreas, pada tahun 2000-an, harga kedelai impor hanya setengah biaya produksi kedelai lokal. Dampaknya, produksi nasional kian tergantikan dan surut. Tahun 2017, porsi kedelai impor telah mencapai 93 persen kebutuhan nasional.
Selain sejumlah komoditas itu, para peternak unggas dan sapi dalam negeri juga mencemaskan dampak semakin terbukanya impor terkait revisi sejumlah peraturan untuk memenuhi ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Mereka berharap pemerintah menyusun lebih rinci program peningkatan daya saing.
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian, Syukur Iwantoro, Senin (27/8/2018) menyatakan, demi memproteksi produk peternakan dalam negeri, pemerintah menerapkan instrumen teknis. Acuannya meliputi standar sanitasi dan lingkungan produksi, sertifikasi halal, bebas penyakit, serta Standar Nasional Indonesia SNI.
Kontrol impor
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, impor memang melonjak cukup signifikan. Namun, bukan berarti pemerintah lepas tangan, peternak dan petani tetap akan dilindungi. Kementerian Perdagangan hanya mengontrol 30 persen dari ratusan perizinan impor.
Apalagi kini pengawasan barang impor kategori larangan dan pembatasan bergeser dari wilayah kepabeanan ke luar kepabeanan. "Antisipasi kami adalah memperketat izin usaha impor baru," ujarnya.
Kementerian Perdagangan sedang berupaya agar barang-barang impor masuk ke Pusat Logistik Berikat dahulu. Dengan begitu, keluarnya barang-barang itu bisa lebih terkendali. Selain itu, jadwal impor diatur dengan menyesuaikan neraca perdagangan per bulan. Tujuannya mencegah neraca perdagangan tidak defisit setiap bulan.
Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian, Haris Munandar, impor bahan baku industri tak masalah sepanjang ada proses peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Sebaliknya, substitusi impor pun tidak masalah dijalankan apabila memang bahan baku tersebut ada dan mampu mencukupi kebutuhan di dalam negeri.
Produksi dalam negeri digenjot untuk mengurangi ketergantungan impor. Produk olahan bernilai tambah diharapkan mengisi pasar dalam negeri agar tidak tergerus produk impor. (FERRY SANTOSO)