Kisah ”Pulau” di Tengah Kota
Kawasan Pulomas di Kelurahan Kayu Putih, Pulogadung, Jakarta Timur makin tenar. Tempat laga cabang ketangkasan berkuda dan sepeda BMX Asian Games 2018 ini jadi tuan rumah tamu-tamu asing. Padahal, dulu, tempat ini berupa sawah dan tanah kosong.
Susanti (52) bangga. Kelurahan tempat tinggalnya, Kayu Putih, menjadi pusat perhatian karena ada arena berkuda bernama Jakarta International Equestrian Park (JIEP) Pulomas.
”Teman-teman pada tanya, equestrian park di mana. Saya bilang, itu yang bekas pacuan kuda. Itu ada Kayu Putih lho,” tutur warga RT 012 RW 007 kelurahan Kayu Putih itu, Rabu (15/8/2018).
Sebagai salah satu tempat laga Asian Games, JIEP Pulomas jadi panggungnya atlet-atlet se-Asia meraih prestasi terbaik di cabang berkuda. Arena laga ini disebut-sebut sebagai salah satu yang terbaik di dunia, bukan hanya di Asia.
Pencapaian ini hasil dari revitalisasi yang dilakukan PT Pulo Mas Jaya dengan biaya Rp 417 miliar. Arena seluas 35 hektar itu dapat dipakai untuk lomba nomor jumping, dressage, cross country, dan trilomba berkuda yang menggabungkan ketiga nomor.
Tidak hanya itu, Pulomas (digandeng sebagai nama administratif) makin banyak kedatangan tamu mancanegara sejalan dengan adanya arena laga cabang BMX—kelas dunia juga—bernama Pulomas International BMX Center. Pembangunan area di lahan 2 hektar itu menelan biaya Rp 8 miliar.
Di antara sawah-sawah
Fasilitas-fasilitas kelas dunia itu belum terbayangkan 50 tahun lalu. Sebab, kawasan Pulomas berasal dari sawah-sawah dan tanah kosong. Nah, keberadaan sawah di masa lampau berkaitan erat dengan adanya kata pulo atau pulau untuk unsur nama Pulomas.
Kata pulo di Pulomas bukan satu-satunya dipakai untuk menyebut sebuah kawasan. Di radius tujuh kilometer dari kawasan elite itu, ada kawasan Jalan Pulo Besar dan Jalan Pulo Kecil di Kelurahan Sunter Jaya, Jakarta Utara, serta Jalan Pulo Nangka (Kelurahan Kayu Putih), Jalan Pulo Kambing (Kelurahan Rawa Terate), dan Jalan Pulo Jahe (Kelurahan Jatinegara) di Jakarta Timur.
Nama-nama jalan tersebut merujuk pada kampung-kampung yang ada. Tidak hanya itu. Nama kecamatan lokasi Pulomas dan Pulo Nangka berada juga menggunakan kata pulo, yakni Pulogadung. Namun, Pulomas saat itu bukan permukiman, melainkan tanah kosong yang dengan luas 15 hektar.
Ketua RT 009 RW 016 Kayu Putih, Mursidi (65), menceritakan, kampung-kampung itu dinamai pulo di masa lampau karena berada di antara sawah-sawah tadah hujan. Sewaktu musim hujan tiba, air masuk ke hamparan persawahan sehingga menjadi mirip lautan yang mengelilingi ”pulau-pulau” kampung dan tanah.
Meski demikian, Mursidi tidak tahu awal mula kata pulo digunakan. Pun soal ada-tidaknya kaitan dengan logam mulia di balik nama Pulomas. ”Nama Pulomas sudah terdengar sejak saya ingat,” kata pria yang sejak lahir tinggal di Pulau Nangka tersebut.
Warga senior di Pulo Nangka, Aspas (80), menceritakan, Pulomas dan sekitarnya dulu tergolong sepi dan rawan. Jarak antarrumah 400-500 meter. ”Sebelum tahun 1970-an, kalau sudah maghrib saja pada takut lewat. Seram,” ujarnya.
Aspas menambahkan, penghuni kampung-kampung di sekitar Pulomas waktu itu kebanyakan orang Betawi. Pekerjaan mereka mayoritas adalah petani, menggarap sawah-sawah tadah hujan yang ada. Mursidi merupakan salah satu petani tersebut.
Keluarga Mursidi punya sawah 4 hektar, dengan 2 hektar di antaranya berlokasi di Pulogadung, sedangkan lainnya di kawasan yang sekarang masuk Kelapa Gading. Ia menuturkan, dari 4 hektar tersebut, keluarganya bisa memanen rata-rata 15 ton padi per tahun. Sawah hanya bisa ditanami setahun sekali, yakni setiap musim hujan datang.
Akhir riwayat sawah
Tahun 1963, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta—saat itu DCI Djaya—memprakarsai pendirian Yayasan Perumahan Pulo Mas, yang dipimpin Presiden Direktur bernama JP Darussalam. Mereka menyiapkan pembangunan kota satelit DKI di daerah Pulomas, di sebelah timur Jakarta. Proyek bakal berjalan pada lahan seluas 350 hektar guna membangun sekitar 10.000 rumah sehingga akan menampung lebih kurang 50.000 penduduk Ibu Kota.
Pulomas direncanakan memiliki pusat-pusat perdagangan, pendidikan, tempat rekreasi, serta tempat perindustrian (Kompas, 11 Agustus 1966). Rencana ini menjadi penanda akhir riwayat sawah di kawasan Pulomas dan sekitarnya.
Mursidi mengatakan, Yayasan Perumahan Pulo Mas waktu itu mengukur seluruh bidang lahan penduduk, baik yang berniat menjual lahannya maupun yang tidak. Bagi yang memilih menjual lahannya, yayasan mengarahkan untuk datang ke suatu tempat guna menerima pembayaran.
Kala itu, perekonomian sedang susah. Keluarga Mursidi pun memutuskan ikut menjual 2 hektar sawah di Pulogadung kepada Yayasan Perumahan Pulo Mas, dengan harga Rp 300 per meter persegi. Mereka kemudian menyesal karena pada 1966, pemerintahan Presiden Soekarno mengganti uang lama dengan uang baru dan menurunkan nilainya. Uang baru bernilai Rp 1 setara dengan uang lama bernilai Rp 1.000.
Pemerintah DCI Djaya juga memprakarsai pembangunan gelanggang pacuan kuda di Pulomas. Mengutip Kompas tanggal 11 Januari 1969, telah terkumpul uang Rp 150 juta sebagai modal untuk pembangunan pacuan kuda di lahan 86 hektar untuk tahap pertama. Akhirnya pacuan kuda ini diresmikan Gubernur Ali Sadikin pada Agustus 1971.
Terkait perumahan, Kompas (3/5/1972) mewartakan, JP Darusalam menyatakan bahwa proyek Pulomas direncanakan sebagai Taman Pulo Mas atau Pulo Mas Garden. Menurut pengalaman Mursidi, rumah-rumah di Pulomas mulai ada tahun 1976.
Awal riwayat banjir
Mursidi juga mengingat tahun 1976 sebagai awal mula banjir di setiap musim hujan di kampung-kampung sekitar proyek Pulomas, termasuk di Pulo Nangka. Seiring kurangnya persawahan, air yang biasanya parkir di sawah-sawah tidak punya jalan lain kecuali masuk ke gang-gang permukiman. ”Dulu, walau banjir seperti apa, enggak pernah banjir Pulo Nangka ini. Air masuk sawah semua,” ujarnya.
Ia mengenang, awalnya, genangan air hanya setinggi 20 sentimeter (cm) dari permukaan jalan dan tidak masuk rumahnya. Waktu banjir sedang parah-parahnya di Jakarta tahun 2007, air masuk ke rumah dengan ketinggian 20 cm dari muka lantai.
Sementara itu, Susanti mengatakan, sejak tinggal di dekat Pulomas tahun 1971, banjir sudah sering terjadi setiap tahun, terutama di Perumahan Villa Mas. Namun, banjir tidak lagi dirasakannya setelah sodetan Kanal Timur selesai dibangun akhir 2010 dan Waduk Ria Rio terus dikeruk.
Persoalan banjir teratasi, tetapi Mursidi tetap merasa kehilangan. Keasrian Pulomas dan sekitarnya di masa lampau tak lagi ada. Dulu, beragam tanaman, seperti pohon sengon, bambu, pisang, dan kelapa, tumbuh di kawasan tersebut. Kicauan burung pun masih ramai. ”Enak dulu. Orang tidak begitu banyak. Asri semua,” katanya.
Warga sekitar Pulomas juga kehilangan ruang terbuka yang bisa diakses publik. Ketua RW 016 Kayu Putih, Gani (49), mengenang sewaktu masih muda di mana dia bebas bermain bola di berbagai tempat karena banyaknya tanah lapang di kawasan Pulomas.
Namun, ruang terbuka itu semakin langka seiring dengan pembangunan kota. Pada April 2014, warga memprotes PT Pulo Mas Jaya terkait rencana pembangunan 120 rumah berlantai dua di area yang biasa dipakai sepak bola di kawasan itu. Kini, warga kembali berharap tempat laga ketangkasan berkuda dan BMX dapat diakses warga sebagai ruang terbuka kekinian.