Delapan Tahun Bergulat dengan Sakit, Sastrawan Senior Hamsad Rangkuti Akhirnya Berpulang
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Setelah delapan tahun bergulat dengan sakit, sastrawan senior Hamsad Rangkuti akhirnya mengembuskan napas terakhir, Minggu (26/08/2018), pukul 06.00, di rumahnya di Jalan Swadaya 8, Tanah Baru, Depok, Jawa Barat. Sebelum meninggal, Hamsad menderita stroke selama dua tahun tiga bulan dan bahkan koma selama 35 hari.
Keluarga dan beberapa rekan sastrawan mengantar kepergian Hamsad, kemarin. Tampak melayat penulis senior Eka Budianta, Noorca Marendra Massardi, dan sejumlah kawan dekat Hamsad.
Setelah doa didaraskan di makam, Nurwindasari, istri Hamsad, membacakan puisi karya Yudhistira ANM Massardi berjudul ”Kematian Itu #4”. Puisi ini dibuat Yudhistira di Bekasi pada 26 Agustus 2018 khusus untuk Hamsad.
Sejak 2010, sastrawan peraih Khatulistiwa Literary Award 2003 ini mulai mengalami gangguan kesehatan. Kondisi sekitar rumahnya yang tidak sehat karena keberadaan tempat pembuangan sampah menjadikan kesehatan Hamsad semakin buruk. Dua tahun sebelumnya, istrinya juga terkena kanker payudara.
”Pak Hamsad mulai sakit muntah berak di rumah yang telah 35 tahun kami singgahi itu. Kami mau jual, tetapi tidak laku karena di depan rumah kami dibangun bak sampah 6 meter x 11 meter. Lima tahun lalu, kami kemudian memutuskan pindah ke tempat lain karena tidak tahan dengan bibit-bibit penyakit di sana,” ungkap Nurwindasari.
Setelah sempat tinggal di rumah orangtua, Hamsad dan istri kemudian dibangunkan sebuah rumah kecil 3,5 meter x 5 meter yang letaknya satu kilometer dari rumah lamanya di Depok. Sementara itu, meski berulang kali protes ke pemerintah daerah setempat, nasib rumah lama mereka yang ”berubah” menjadi tempat sampah hingga sekarang belum jelas.
Serangan stroke
Juni 2016 ketika pulang ke kampung halamannya di Medan, Hamsad mendapat serangan stroke hingga pingsan. Sejak saat itulah, tepatnya selama dua tahun tiga bulan, Hamsad praktis tidak bisa apa-apa. Ia harus makan dan minum dengan selang, buang air kecil dengan selang, bergantung pada tabung oksigen dan infus.
Tiga bulan terakhir, Hamsad empat kali masuk rumah sakit. ”Pak Hamsad sebenarnya memerlukan ruang ICU. Dua tahun lalu, kami pernah mencoba membawa beliau ke ICU selama 12 hari dengan biaya total Rp 240 juta. Dalam satu hari, biayanya mencapai Rp 20 juta, biaya rumah sakit kelas tiga. Tapi karena kekuatan finansial kami terbatas, akhirnya kami tidak mampu lagi membawa beliau ke ICU,” kata Nurwindasari.
Cobaan keluarga Hamsad tak berhenti di sini. Saat Hamsad masih dirawat di rumah sakit, Nurwindasari justru mengalami kecelakaan. Ia tertabrak kendaraan. Ia harus menggunakan bantuan kursi roda selama tiga bulan dan tongkat selama enam bulan untuk berjalan.
Penulis Noorca Marendra Massardi saat mengantarkan almarhum ke peristirahatan terakhir mengungkapkan, hari ini merupakan hari terbaik bagi Hamsad karena Tuhan akhirnya memberikan jalan terbaik untuk menyelesaikan semua penderitaan Hamsad di dunia.
Mengejutkan jagat sastra Indonesia
”Saya mengenal Hamsad sudah lama sejak tahun 1976 di Balai Budaya. Saya tidak mengira beliau adalah pengarang cerpen. Dulu di Balai Budaya beliau adalah Sekretaris Redaksi dan Pemimpin Redaksi Majalah Horison. Sampai tahun 1980-an, tiba-tiba karya-karyanya mengejutkan jagat sastra Indonesia. Dia sastrawan bagus dan jalan hidupnya sederhana,” ujar Noorca.
Menurut Noorca, jalan panjang perjuangan berat Hamsad hingga akhir hidupnya sangat memprihatinkan. Meski demikian, perhatian pemerintah terhadap sastrawan senior ini masih sangat kurang.
Sepak terjang sastrawan kelahiran Titi Kuning, Medan, Sumatera Utara, 7 Mei 1943, ini sangat luar biasa. Novel pertamanya, Ketika Lampu Berwarna Merah, diterbitkan Kompas pada 1981. Sejumlah cerpennya juga telah diterjemahkan ke beberapa bahasa asing, seperti Sampah Bulan Desember (diterjemahkan ke bahasa Inggris) dan Sukri Membawa Pisau Belati (diterjemahkan ke bahasa Jerman).
”Karyanya berjudul ’Umur Panjang untuk Tuan Joyokoroyo’ dan ’Senyum Seorang Jenderal pada 17 Agustus’ diterbitkan oleh Monash Asia Institute dalam Beyond the Horizon, Short Stories from Contemporary Indonesia. Karya cerpennya yang tetap unik meski mengangkat persoalan keseharian adalah ciri yang tak lekang dalam dunia kesusastraan Indonesia. Ciri itu berbaur dengan perilakunya yang akrab, bersahaja, dan ramah kepada siapa saja,” tambah sastrawan Sihar Ramses Simatupang.