JAKARTA, KOMPAS – Pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu atau SVLK secara wajib atau mandatory membuat seluruh ekspor produk kayu wajib memiliki dokumen legal. Kelengkapan dokumen ini pun juga acapkali dipersyaratkan negara tujuan impor meski importir tak memintanya.
Pemberlakuan tanpa pandang besar-kecil industri ini seringkali mempersulit industri kecil menengah (IKM) perkayuan dan IKM hutan hak atau petani hutan rakyat. Ini karena sertifikasi membutuhkan biaya yang tak sedikit dan terkesan birokratis-administratif.
Karena itu, pemerintah berulang-kali memodifikasi persyaratan SVLK bagi IKM, antara lain menentukan tarif serta penilaian berkelompok agar biaya lebih terjangkau. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Perindustrian mendanai proses sertifikasi bagi kelompok IKM tersebut.
“Kita (pemerintah), berharap proses sertifikasi oleh pelaku IKM dapat berlangsung dengan lebih cepat, untuk mendorong peningkatan iklim usaha, serta meningkatkan kinerja ekspor produk kayu Indonesia,” kata Darmin Nasution, Menteri Koordinator bidang Perekonomian yang juga Ad-interim Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jumat (24/8/2018), di Jakarta.
Syarat ekspor
Darmin mencanangkan Program Nasional Fasilitasi Sertifikasi Legalitas Kayu Bagi IKM dan Petani Hutan Rakyat. Ia menandaskan posisi IKM sangat penting mendapatkan SVLK karena menjadi syarat ekspor serta beberapa negara tujuan seperti Eropa dan Australia.
Posisi IKM sangat penting mendapatkan SVLK karena menjadi syarat ekspor serta beberapa negara tujuan seperti Eropa dan Australia.
Ini adalah bagian dari upaya kami memperbaiki ekspor, kalau ekspor baik, defisit transaksi berjalan akan bisa kita kendalikan. Kalau sudah begitu, kita bisa kendalikan lebih stabil," kata Darmin
Pada tahun 2018, kata Darmin, pemerintah memberikan bantuan kepada IKM berupa sertifikasi legalitas kayu bagi 153 kelompok atau 4.086 IKM yang terdiri 346 unit IKM perkayuan dan 3.740 unit IKM Hutan Hak. Pada tahun anggaran 2019, lanjutnya, pembiayaan sertifikasi kembali digulirkan bagi 150 kelompok atau setara 4.500 unit IKM yang terdiri 700 unit IKM perkayuan dan 3.800 unit IKM Hutan Hak.
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK Hilman Nugroho mengatakan tahun 2018 dialokasikan dana Rp 7,5 miliar untuk membantu sertifikasi IKM. Kemudian, tahun 2019, dana ditingkatkan menjadi Rp 9 miliar.
Ia mengatakan, kendala saat ini adalah menginventarisasi jumlah dan lokasi IKM serta memastikan kesiapan persyaratan dasar mengikuti SVLK. “Itu kan (sertifikasi) business to business (antara IKM dengan Lembaga Sertifikasi). Tidak efektif kalau biaya (APBN) keluar, tapi tidak lulus,” kata dia.
Maria Murliantini, IKM furniture asal Jepara, Jawa Tengah, mengatakan, persyaratan dalam SVLK tidak akan menjadi kendala apabila sejak awal beroperasi industri memenuhi seluruh persyaratan seperti surat izin usaha perdagangan, nomor pokok wajib pajak, tanda daftar industri, izin mendirikan bangunan, dan berbagai syarat dasar. “Yang bikin sulit itu karena merasa legalitas tidak lengkap,” kata dia.
Berdasarkan data Kementerian Koordinator Perekonomian, SVLK telah menjangkau 22,3 juta hektar (121 konsesi hutan alam/logging dan 85 konsesi hutan tanaman industri) serta 3.264 industri. Dari sisi perkembangan nilai ekspor, sejak SVLK dimulai tahun 2013 nilai ekspor mencapai 6,2 miliar dollar AS dan terus meningkat hingga tahun 2017 (10,9 miliar dollar AS).