Berpotensi Wisata Sejarah, Pulau Biak Butuh Akses Transportasi
Oleh
Iwan Santosa
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pulau Biak sebagai situs pertempuran berdarah pada Perang Dunia II tahun 1944, membutuhkan akses transportasi untuk mengembangkan potensi wisata sejarah dan juga pariwisata alam dan budaya. Staf Ahli Bupati Biak, Piet Wospakrik, dalam Diskusi Battle of Biak di @america, Jakarta, Kamis (23/8), mengatakan, keberadaan Biak yang strategis sebagai hub transportasi di kawasan termasuk dengan negara tetangga perlu dibuka untuk mengembangkan daerah.
“Sudah ada pembicaraan dengan operator wisata sejarah Perang Dunia II di Palau. Wisatawan Jepang yang berziarah atau pun menikmati keindahan alam di Palau selama ini terbang langsung dari Narita, Tokyo, ke Palau yang hanya satu jam penerbangan dari Biak. Jaman dulu pun Biak pernah jadi hub transportasi udara dari Jakarta ke Los Angeles, Amerika Serikat,” kata Wospakrik.
Menurut dia, penerbangan langsung dari Tokyo untuk wisata Perang Dunia II dari Jepang ke Biak pun perlu dijajaki. Saat ini, wisatawan Jepang, Amerika Serikat, dan Tiongkok memang menjadi salah satu sumber pemasukan Palau yang berbatasan laut dengan Papua di sebelah utara Manokwari.
Semasa Perang Dunia II, lebih dari 6.000 serdadu Angkatan Darat (Kaigun) Jepang gugur di Biak dan di pihak Amerika Serikat, sebanyak 400-an serdadu Divisi 41 Angkatan Darat Amerika Serikat gugur. Dalam pertempuran tersebut, 12.000 serdadu Amerika Serikat berhadapan dengan 11.000 prajurit Jepang dan tenaga bantuan, seperti Romusha dari Jawa, yang didatangkan untuk membangun sistem pertahanan di gua-gua yang berada di perbukitan di Biak di kawasan Parai dan Mokmer.
Terdapat berbagai gua besar ukuran diameter ruangan 50 meter – 100 meter persegi di sejumlah tempat di Biak yang dijadikan kubu pertahanan Jepang semasa Perang Dunia II. Masih terdapat ribuan artefak dan sisa jenazah prajurit yang tersebar di selatan Biak di kawasan Parai dan Landasan Mokmer yang kini menjadi Bandara Frans Kaisiepo.
Potensi wisata
Fotografer senior Oscar Motuloh sekaligus Direktur Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) dalam kesempatan sama menceritakan, potensi wisata Perang Dunia II di Biak tidak saja terdapat di permukaan daratan Biak. “Tim kami memotret berbagai artefak sisa Perang Dunia II di perairan Biak seperti beragam bangkai pesawat, kapal dan perlengkapan perang. Tim fotografer juga sudah mendata berbagai situs yang tersebar di Biak hingga Pulau Owi di selatan Biak,”kata Motuloh yang menampilkan berbagai foto terakhir dari situs PD II di Biak.
Wakil Atase Penerangan Kedutaan Besar Amerika Serikat Alexia Branch dalam pembukaan diskusi menyambut baik upaya melestarikan sejarah bersama Indonesia dan Amerika Serikat termasuk situs Perang Dunia II di Biak. “Kita belajar dari berbagai hubungan di masa silam antara Indonesia dan Amerika Serikat. Banyak hal yang merupakan warisan bersama (shared heritage) yang harus kita lestarikan,”kata Alexia Branch.
Pelestarian dan pengembangan wisata sejarah dan wisata alam di Biak, menurut Piet Wospakrik, akan membantu pembangunan Kabupaten Biak yang berfokus pada kesejahteraan masyarakat dan sektor pendidikan.
Selain Palau, situs wisata sejarah Perang Dunia II di sekitar Papua yang juga ramai dikunjungi wisatawan terdapat di Papua Nugini, di Kepulauan Solomon, di Kepulauan Marianas, hingga Filipina serta Sabah, Malaysia.
Di Sabah, untuk mengikuti napak tilas Sandakan Death March yakni jalur ribuan prajurit Australia dipaksa berjalan kaki lebih dari 100 kilometer di hutan rimba dari Sandakan ke Ranau di dekat Gunung Kinabalu, warga Australia harus antri (waiting list) hingga enam bulan.
Di Prefektur Iwate, Jepang, terdapat Museum Perang Pasifik yang berisi berbagai artefak dari Perang di Biak. Sebagian besar prajurit Jepang yang gugur di Biak, berasal dari Iwate di Pulau Honshu.