MUI: Masyarakat Tak Perlu Ragu Imunisasi MR
JAKARTA, KOMPAS – Masyarakat diminta tak perlu ragu untuk mengikuti imunisasi measles-rubella atau MR yang tengah dilaksanakan pemerintah. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia melalui Fatwa Nomor 33 Tahun 2018 telah membolehkan penggunaan vaksin campak-rubela atau measles-rubella dalam program kampanye nasional imunisasi MR.
Fatwa MUI yang dikeluarkan pada Senin (20/8/2018) tersebut bersifat mubah. Artinya, para ulama sepakat untuk membolehkan penggunaan vaksin MR atas tiga pertimbangan, salah satunya adalah belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci.
“Fatwa ini bisa dijadikan pijakan dan panduan bagi pemerintah dalam pelaksanaan kegiatan imunisasi MR. Ini bisa jadi rujukan juga untuk masyarakat agar tidak ragu lagi mengikuti imunisasi dengan vaksin yang disediakan pemerintah,” kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam dalam jumpa pers soal sosialisasi Fatwa MUI yang diselenggarakan Kementerian Kesehatan di Jakarta, Kamis (23/8/2018).
Kemarin, Kementerian Kesehatan mengundang kepala dinas kesehatan dari 34 provinsi untuk membahas pentingnya pelaksanaan imunisasi MR. “Pertemuan ini dilakukan agar semua dapat penjelasan utuh tentang imunisasi MR, khususnya dari segi keagamaan dan kesehatan,” kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes Anung Sugihantono.
Sosialisasi
Pertemuan tersebut diharapkan dapat menghapus keraguan masyarakat dan pemerintah setempat untuk melaksanakan imunisasi. Para kepala dinas kesehatan agar mendorong masyarakat untuk tidak ragu lagi untuk melakukan imunisasi mengingat dampak yang ditimbulkan dari penyakit MR.
“Kami masih terus mensosialisasikan hal ini kepada semua daerah,” kata Anung. Sosialisasi ini terutama dilakukan di 28 provinsi di luar Pulau Jawa yang sedang melaksanakan imunisasi MR tahap II. Hingga 22 Agustus 2018, persentase jumlah anak yang telah diimunisasi MR di 28 provinsi ini adalah 30,2 persen dari 32 juta anak.
Program vaksinasi massal MR dilakukan pemerintah dengan menargetkan seluruh anak di Indonesia yang berusia 9 bulan hingga 15 tahun yang diperkirakan berjumlah 67 juta jiwa. Imunisasi massal untuk 35 juta anak di Jawa dilakukan pada Agustus-September 2017.
Untuk mendukung pelaksanaan imunisasi MR, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo juga telah menerbitkan surat dukungan dalam rangka kampanye dan introduksi imunisasi MR. Surat dukungan ditujukan kepada seluruh gubernur, bupati, dan walikota.
Surat dukungan tersebut ditujukan kepada seluruh gubernur, bupati, dan walikota terkait. Isi surat tersebut antara lain mendukung operasionalisasi pelaksanaan kegiatan, melakukan rapat koordinasi dengan instansi terkait dengan melibatkan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah, dan melibatkan partisipasi serta pemberdayaan masyarakat dalam kampanye tersebut.
Sejumlah masyarakat di daerah menunjukkan resistensi terhadap imunisasi MR, seperti di Kepulauan Riau. Hal ini karena vaksin MR belum memperoleh sertifikasi halal saat imunisasi MR tahap II dilakukan pada 1 Agustus 2018.
Penolakan serupa juga terjadi di Sumatera Utara. “Setelah (program imunisasi MR tahap II) berjalan hampir satu bulan, kami menghadapi penolakan dari masyarakat terutama karena pandangan agama terkait halal tidaknya vaksin MR. Namun, kami optimistis ke depan masyarakat akan lebih bisa menerima setelah MUI mengeluarkan mubah vaksin MR,” kata Kepala Dinas Kesehatan Sumut Agustama, di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Sumatera Utara, di Medan, Kamis.
Program imunisasi MR di Sumut baru mencakup 900.414 anak dari target selama dua bulan 4,29 juta anak atau 21 persen.
Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia dr Aman Bhakti Pulungan mengatakan, suatu daerah dapat dikatakan aman dari MR apabila cakupan imunisasinya 90-95 persen. "Ada 15 provinsi yang memenuhi kriteria itu, seperti Sumatera Selatan dan Jambi,” kata Aman.
Hak sehat
Komisioner Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan, imunisasi MR merupakan salah satu upaya pemenuhan hak setiap anak untuk hidup sehat. Upaya ini harus dilakukan secara komprehensif, yaitu sejak anak masih ada di dalam kandungan, hingga anak itu tumbuh besar.
“Kesehatan adalah hak dasar anak yang harus dipenuhi oleh pemerintah, pemda, keluarga, dan masyarakat. Ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014,” kata Jasra, di Jakarta.
Dampak penyakit campak-rubella cukup serius. Agustama mengatakan, jika virus rubela menyerang anak, gejalanya mirip seperti campak, yakni demam dan ruam kulit. Karena itu di Indonesia, rubela sering disebut campak Jerman.
Namun, katanya, serangan virus pada ibu hamil sangat berbahaya karena akan menyebabkan sindrom rubela kongenital (congenital rubella syndrome/CRS). Sindrom ini membuat bayi terlahir dengan penyakit jantung bawaan, ketulian, katarak, dan kerusakan jaringan otak.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, jumlah kasus yang diduga campak-rubela pada 2014-Juli 2018 sebanyak 57.056 kasus. Dari data itu, sebanyak 8.964 kasus positif campak dan 5.737 kasus positif rubela. Bahkan, menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2015, Indonesia termasuk 10 negara dengan jumlah kasus campak terbesar di dunia.
Hal ini mengkhawatirkan apabila melihat jumlah penduduk Indonesia yang satu per tiganya adalah anak-anak usia 0-18 tahun. Angka ini setara dengan 87 juta jiwa. Belum lagi, Indonesia diprediksi akan menghadapi bonus demografi pada tahun 2030 hingga 2045, yaitu saat anak-anak mencapai usia produktif.
“Akan bermasalah di masa depan jika kesehatan mereka tidak dibentengi. Mereka tidak akan bisa bersaing dengan negara-negara lain. Mereka mungkin bisa hidup (bila terjangkit campak-rubela), tetapi kualitas hidupnya tidak akan baik jika tidak sehat,” kata Jasra.
Dari sisi ekonomi, butuh biaya besar untuk mengobati orang yang terkena virus campak-rubela. Menurut data Kementerian kesehatan, kerugian makro ekonomi yang ditimbulkan dari penyakit campak-rubela di Indonesia dari tahun 2014 hingga Juli 2018 mencapai Rp 6,7 triliun.
Biaya untuk mengobati seseorang yang terkena penyakit campak adalah sekitar Rp 2,7 juta hingga Rp 13 juta. Biaya untuk pengobatan CRS lebih dari Rp 395 juta per orang. Campak-rubela dapat diantisipasi dengan imunisasi yang dapat diperoleh dengan biaya sekitar Rp 29.000 per orang.
Peranan orangtua
Karena itu, kata Jastra, tuntutan konstitusional serta tuntutan untuk menjamin hak tumbuh dan kembang anak menjadi alasan pentingnya sosialisasi dilakukan. Sejumlah pihak dapat dilibatkan dalam sosialisasi, seperti tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga orangtua.
Orangtua memegang peranan penting dalam sosialisasi sebab orangtualah yang umumnya menjadi penentu keputusan bagi anak, sedangkan anak yang dianggap dewasa pemikirannya dapat diajak berdiskusi mengenai vaksinasi MR. Oleh sebab itu, kesadaran orangtua akan konsekuensi penyakit campak-rubella sangat dibutuhkan.
Sosialisasi melalui tokoh agama juga pernah dilakukan sebelumnya, yaitu saat program KB dilaksanakan pada masa Orde Baru. Mulanya, masyarakat pun resisten dengan program KB. Namun, setelah dilakukan pendekatan dan sosialisasi terhadap dampaknya, masyarakat akhirnya dapat menerima program itu.
“Saya kira pola yang sama bisa dilakukan,” kata Jasra. (SEKAR GANDHAWANGI)