Mantan Paraboy Itu Kini Meraih Medali Emas Asian Games
Oleh
DEFRI WERDIONO
·4 menit baca
Raut muka Suliasih (53) tampak ceria. Mata perempuan paruh baya itu berbinar saat menceritakan bagaimana dirinya mendapatkan informasi soal keberhasilan anaknya, Jafro Megawanto (22) meraih medali emas pada cabang olahraga Paralayang Asian Games 2018 di arena paralayang Gunung Mas, Jawa Barat.
Jafro meraih dua medali emas untuk nomor ketepatan mendarat (accuracy) perorangan putra dan beregu putra. Orangtua Jafro mendengar kabar menggembirakan itu dengan melihat langsung di televisi dan informasi dari sejumlah tetangga.
Jafro sendiri tidak secara langsung memberitahukan keberasilannya itu kepada sang bunda. Meski, setiap hendak berlomba, dia selalu mengabari orangtua melalui video call.
“Dia anaknya rendah hati, jadi tidak ngasih kabar kalau memeroleh emas. Hanya sebelum berlaga dia selalu menghubungi saya. Lalu saya doakan agar berhasil,” ujar Suliasih saat ditemui di rumahnya di Kelurahan Songgokerto, Kecamatan Batu, Kota Batu, Jawa Timur, Jumat (24/8/2018) siang.
Sepanjang Asian Games (AG), menurut Suliasih, anaknya empat kali menghubungi dirinya melalui video call. Keluarga pun belum tahu pasti kapan Jafro dan lima orang rekannya kembali ke Batu usai mengikuti Asian Games.
Selain Jafro, ada lima atlet paralayang asal Songgokerto yang berlaga di AG. Mereka adalah kakak beradik Joni Effendi dan Rika Wijayanti, Ike Ayu Wulandari, Roni Pratama, dan Ardi Kurniawan.
Pada AG 2018 Rika juga meraih perunggu, kalah dengan atlet Thailand Nunnapat Phuchong (emas) dan Korea Selatan Lee Da-gyeom (perak).
Rika sendiri pernah meraih gelar juara dunia perempuan pada tahun 2017. Adapun Roni Pratama, sejak Desember 2017 menempati posisi teratas daftar peringkat atlet paralayang dunia untuk kelas akurasi oleh Federasi Aeronatika Internasional.
Menurut Suliasih, Jafro remaja mulai belajar terbang saat berumur 13 tahun atau duduk di bangku kelas 2 SMP. Sebelumnya, sejak SD ia sudah bersinggungan dengan olahraga paralayang namun hanya sebatas sebagai paraboy (tukang lipat parasut). Kebetulan rumah orangtua Jafro berada tidak jauh dari arena paralayang Gunung Banyak.
Meski dekat dengan lokasi latihan, menurut Suliasih, proses latihan terbang anaknya tidak berlangsung lancar. Beberapa kali dirinya meminta Jafro menunda latihan dengan alasan tidak memiliki biaya. Maklum Suliasih dan suaminya, Budi Sutrisno (63) hanya bekerja sebagai petani.
“Untuk latihan perlu terbang puluhan kali. Kalau tidak salah 40 kali. Dan setiap latihan perlu naik ojek menuju tempat tinggal landas di atas Gunung Banyak. Kadang tidak ada ongkos untuk bayar ojek. Jadi terkadang saya minta untuk ditunda dulu latihannya,” katanya.
Meski begitu, pihak keluarga sangat mendukung apa yang dilakukan Jafro. Saat ini adik Jafro, Narawinda Agustiningtyas yang masih duduk di bangku sekolah, juga mulai belajar terbang.
Selain Jafro, status sebagai paraboy juga dialami oleh atlet lainnya asal Songgokerto, seperti Rika Wijayanti dan Roni Pratama. “Hampir semua atlet paralayang di Batu ini awalnya adalah paraboy. Mereka membantu atlet lain atau wisatawan melipat parasut. Dari kegiatan itu mereka dapat uang jajan,” kata Bawon (51), orangtua Rika Wijayanti.
Berbeda dengan orangtua Jafro yang telah mendapat kabar keberhasilan anaknya meraih medali, Bawon mengaku belum mendapat kabar, termasuk dari Rika maupun Joni. Bawon juga mengaku belum tahu kapan anaknya akan pulang dari berlaga di AG, berikut jenis sambutan dari pemerintah daerah.
Sementara itu kabar tentang prestasi yang diraih Arek-arek Songgokerto ini sudah menyebar ke hampir seluruh pelosok kampung. Tiap warga yang ditanya alamat rumah Jafro, Rika, maupun atlet yang lain langsung mengarahkan ke lokasi yang dimaksud.
Di luar rasa senang dan bangga warga atas prestasi yang diraih oleh para atlet setempat, hampir tak terlihat ada simbol khusus sebagai penanda keberhasilan pahlawan olahraga setempat itu, baik yang ada di jalanan Songgokerto maupun Kota Batu.
Jumat siang, puncak Gunung Banyak dan Lapangan Songgo Maruto yang menjadi “Kawah Candradimuka” Jafro dan kawan-kawan, juga masih terdiam dalam paparan terik matahari musim kemarau. Hanya ada Nur Cholis (35), salah seorang penarik ojek paralayang, menemani anaknya bermain di tepi lapangan.