MAGELANG, KOMPAS- Guru dan dosen menjadi salah satu sumber penyebaran paham radikalisme di sekolah dan universitas. Melalui materi pelajaran dan kegiatan di sekolah dan kampus, mereka menyebarkan paham radikalisme dan kekerasan atas nama agama kepada para murid dan mahasiswanya.
Persoalan itu terungkap dari hasil survei oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2017. Survei tentang tingkat keberagamaan di kalangan pelajar dan mahasiswa ini, dilakukan dengan mengambil sampel 2.000 mahasiswa dan pelajar SMA dari 34 provinsi di Indonesia.
Ketua Tim Survei UIN Syarif Hidayatullah, Prof Dr Jamhari Ma’ruf, Jumat (24/8/2018) di Magelang, Jawa Tengah, mengatakan, hasil penelitian memperlihatkan bahwa 30 persen dari 2.000 pelajar dan mahasiswa telah terpapar paham radikal. Selain dari media sosial, paham radikal juga diperoleh mahasiswa secara langsung dari penuturan guru dan dosennya.
“Berdasar penuturan mereka, paham radikal tersebut ada yang disampaikan oleh guru agama atau guru dari berbagai bidang studi lainnya, baik itu dalam pelajaran di kelas maupun kegiatan-kegiatan di luar kelas,” ujar Jamhari, saat ditemui di sela-sela pembukaan acara peace camp di Pondok Pesantren Pabelan di Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat ini.
Paham radikal disampaikan oleh guru agama atau guru dari berbagai bidang studi lainnya.
Peace camp adalah pelatihan melibatkan 28 guru dari 19 SMA/MA di Yogyakarta, Magelang dan Semarang. Dari pelatihan yang dilakukan Pondok Pesantren Pabelan dan Tidar Heritage Foundation ini, diharapkan guru dapat menjadi agen perdamaian, dan mengajarkan tentang indahnya keberagaman di sekolah.
Kegiatan di luar sekolah yang dimanfaatkan untuk penyebaran paham radikal antara lain adalah pengajian atau kegiatan rohani Islam. Di dalam kelas, paham ini disisipkan dalam materi pelajaran. Bahkan, saat mengajar, para guru ini pun seringkali menyebut bahwa materi yang ada di buku sebenarnya salah dan bertentangan dengan ajaran agama.
Menolak perbedaan
Dengan paham radikal yang diterimanya, 30 persen pelajar dan mahasiswa itu sudah beropini menolak perbedaan agama, melakukan kekerasan, dan percaya bahwa bom bunuh diri adalah bagian dari perjuangan.
Cendekiawan Muslim sekaligus mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof Dr Komaruddin Hidayat, mengatakan, peran guru sebagai penyebar paham radikalisme di sekolah tersebut, sebenarnya sudah berlangsung 10 tahun terakhir.
Selain terbukti dari hasil penelitian dan survei yang sudah beberapa kali dilakukan oleh UIN Syarif Hidayatullah, adanya peran guru dalam penyebaran paham radikal ini juga semakin dikuatkan oleh hasil survei dari Lembaga dan universitas lainnya.
Penyebaran paham radikal ini, menurut dia, kebanyakan justru dilakukan oleh guru non agama.
Radikalisme yang menolak perbedaan agama diperparah oleh tambahan muatan kepentingan dan intervensi politik.
“Hanya dengan berbekal informasi atau pengetahuan yang didapat dari internet, para guru yang tidak mendalami agama tersebut, merasa bahwa pemahamanannya adalah yang paling benar, dan dari situlah dia berupaya membuat agar semakin banyak orang sepaham dengan dirinya,” ujarnya.
Di era sekarang, radikalisme yang menolak perbedaan agama, juga makin diperparah oleh tambahan muatan kepentingan, serta adanya intervensi politik. Dengan adanya berbagai kepentingan tersebut, maka agama pun seringkali, dibawa-bawa dalam ajang pemilihan kepala daerah atau Pemilu.
“Tidak sekedar mencederai keberagaman, maka pada akhirnya radikalisme melukai demokrasi, politik, dan identitas bangsa,” ujarnya.