Dibutuhkan Inovasi dan Kreasi agar Industri Ritel Tidak Tergilas Digitalisasi
Oleh
ADHI KUSUMAPUTRA
·3 menit baca
PANDU WIYOGA UNTUK KOMPAS
Hari Belanja Diskon Indonesia digelar sejumlah toko ritel di Jakarta dan Palembang dari 8 Agustus hingga 2 September 2018.
JAKARTA, KOMPAS — Kreasi dan inovasi diperlukan agar industri ritel tidak lenyap digilas digitalisasi industri. Berbagai strategi diterapkan guna menggaet minat belanja masyarakat, dari menggandeng pasar daring, menyediakan ruang lebih nyaman bagi pengunjung, hingga memanfaatkan momen spesial semisal HUT Kemerdekaan RI dan ajang Asian Games 2018.
Acara Hari Belanja Diskon Indonesia (HBDI) yang berlangsung dari 8 Agustus hingga 2 September merupakan salah satu inovasi industri ritel guna memikat pembeli. Saat pertama kali digelar pada 2017, strategi tersebut berhasil meraup angka penjualan sebesar Rp 20 triliun. Pada 2018, angka penjualan ditargetkan meningkat sebesar 15-20 persen.
”Saat ini, angka penjualan masih on the track dengan target yang telah ditentukan,” kata Ketua Panitia HBDI Fetty Kwartati di Jakarta, Kamis (23/8/2018). Meskipun menolak memberikan detail angka penjualan, Fetty optimistis target penjualan akan tercapai dengan melihat tren penjualan dua mingu pertama HBDI.
Keyakinan Fetty tersebut cukup beralasan melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekonomi Indonesia triwulan II-2018 tumbuh 5,27 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Adapun pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2018 meningkat 4,21 persen dibandingkan triwulan sebelumnya.
Momen HUT Kemerdekaan RI dan Asian Games diyakini akan ikut mendongkrak jumlah pengunjung yang tahun lalu mencapai 20 juta orang. ”Tahun lalu kami masih mencari format yang tepat, tetapi kini strategi kami jauh lebih matang. Prediksi kami jumlah pengunjung akan meningkat lebih dari 20 persen dibandingkan tahun lalu,” ujar Fetty.
Meskipun awalnya penyelenggaraan HBDI 2018 akan menggandeng pasar daring (market place), kenyataannya belum terlaksana. ”Saat ini kami masih mengkaji kemungkinan kerja sama itu. Kemungkinan tahun depan kami akan menggandeng pasar daring,” kata Fetty.
Saat konferensi pers pembukaan HBDI, Senin (30/7/2018), ada dua model penyelenggaraan HBDI secara daring yang dikaji. Pertama, menerapkan diskon pada barang yang dipajang di web toko ritel. Kedua, menggandeng pasar daring sebagai mitra acara HBD (Kompas.id, 30/7/2018).
PANDU WIYOGA UNTUK KOMPAS
CEO Sogo sekaligus Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Handaka Santosa.
”Sebenarnya kedua model itu bukan hal baru bagi pengusaha ritel,” kata CEO Sogo sekaligus Dewan Penasihat Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Handaka Santosa. Menurut dia, kini yang lebih perlu segera diusahakan pemerintah adalah ekosistem usaha yang adil bagi pengusaha ritel dan pengusaha pasar daring.
Meskipun pasar daring sedang dalam masa keemasan, Handaka yakin toko ritel tetap memiliki pangsa pasar sendiri. ”Ada dua hal yang tidak bisa didapatkan konsumen saat berbelanja di pasar daring, yaitu pengalaman melihat barang yang akan dibeli secara langsung dan pengalaman mendapatkan pelayanan profesional,” ucap Handaka.
Kedua hal itu diyakini Handaka menjadi nilai lebih toko ritel dibanding pasar daring. Beberapa konsumen pun sependapat dengan hal itu, salah satunya adalah Paulina Rian (22). ”Kalau lihat barangnya secara langsung aku jadi ngerasa aman. Aku bela-belain ke mal yang agak jauh supaya dapat semacam quality insurancegitu,” kata Paulina.
Seorang konsumen lain, Yunita Dwi Rahmayani (23), juga merasakan hal yang sama. ”Kalau soal pakaian, aku lebih mantap datang langsung dan nyoba barang yang aku mau beli,” ujar Yunita. Dia mengatakan, biasanya menggunakan pasar daring untuk membeli barang yang tidak membutuhkan ukuran khusus, misalnya alat tulis atau buku. (PANDU WIYOGA)