Di Balik Jiwa Juang Joni Kala Marshal di Perbatasan RI-Timor Leste
NAMA Joni Ande Kala Marshal (14) begitu populer setelah berhasil memanjat tiang bendera setinggi 23 meter untuk mengurai tali bendera yang tersangkut di puncak tiang bendera saat upacara pengibaran bendera Merah Putih, 17 Agustus 2018. Ternyata, tidak hanya Joni Kala, tetapi hampir semua anak, terutama anak eks Timor Timur di perbatasan RI-Timor Leste, memiliki rasa cinta tinggi terhadap NKRI. Perang saudara dan pergolakan setelah jajak pendapat di Timor Timur pada 1999 menginspirasi semangat itu.
Kepala Desa Silawan Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Ferdy Mones di Desa Silawan, Kamis (23/8/2018), mengatakan, Joni Ande Kala Marshal, siswa kelas VII SMP Silawan, lahir pada 2004 di Desa Silawan. Kedua orangtuanya adalah warga eks Timor Timur (Timtim), tepatnya dari Distrik Liquica, Timor Leste. Mereka mengungsi setelah jajak pendapat Timtim, 30 Agustus 1999.
Joni Ande Kala Marshal, siswa kelas VII SMP Silawan, lahir pada 2004 di Desa Silawan. Kedua orangtuanya adalah warga eks Timor Timur (Timtim), tepatnya dari Distrik Liquica, Timor Leste. Mereka mengungsi setelah jajak pendapat Timtim, 30 Agustus 1999.
”Kisah bergabungnya kedua orangtua Joni ke NKRI bersama warga Timtim lain, setelah jajak pendapat, selalu diceritakan kepada anak-anak yang lahir di wilayah NKRI. Perang saudara dan pergolakan itu telah membangkitkan semangat dan daya juang tinggi, terutama menyangkut NKRI. Mereka meninggalkan tanah leluhur di Timor Leste, dan bergabung ke dalam NKRI, bukan tanpa alasan,” kata Mones.
Sebagian besar anak di perbatasan, terutama eks Timtim, memiliki cita-cita hampir sama, yakni ingin menjadi anggota TNI bukan anggota Polri, sama seperti cita-cita Joni Kala Marshal. Sikap membela negara, termasuk Pancasila, bendera Merah Putih, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, dan simbol-simbol kenegaraan lain, sangat tinggi.
Darah sebagai pejuang dimiliki para orangtua, yang adalah warga eks Timtim, mengalir deras di hati, pikiran, dan semangat hidup anak-anak mereka. Kisah-kisah perjuangan, pergolakan, dan pengalaman-pengalaman pahit masa lalu di Timtim, dituturkan kepada anak-anak, yang kemudian membangkitkan semangat heroik seperti Joni Kala.
Semangat ini pula merambat ke mayoritas anak-anak perbatasan RI-Timor Leste. Hal ini terbukti dari sikap mengikuti pendidikan, bergotong royong membersihkan lingkungan di perbatasan, dan selalu terlibat di dalam kegiatan bersama perbatasan.
Mones mengatakan, tidak satu pejabat pun yang hadir pada peringatan HUT Ke-73 Kemerdekaan RI itu memerintahkan Joni Kala Marshal untuk memanjat tiang bendera setinggi 23 meter. Saat itu, tali bendera itu tersangkut di puncak tiang bendera, dan semua orang menyaksikan dengan tenang dan penasaran. Petugas pengibar bendera tampak kebingungan menghadapi situasi itu.
Secara mendadak, Joni Kala muncul dari barisan anak-anak SMP Silawan. Saat itu ia hadir sebagai anggota kor. Ia memanjat tiang bendera itu dengan penuh semangat. Peserta upacara berjumlah sekitar 400 orang menyaksikan apa yang bakal dilakukan anak itu, sebelum ia meraih tiang bendera.
Ternyata Joni Kala nekat memanjat tiang bendera dengan kaki hampa. Pada pertengahan tiang, ia sempat kewalahan karena tiang bendera dari pipa dua dim itu sangat licin. Namun, sejumlah peserta meyakinkan dia untuk terus memanjat. Joni akhirnya mencapai sasaran, yakni mengurai tali yang tersangkut.
Kecintaan anak-anak di perbatasan RI-Timor Leste terhadap NKRI termasuk tinggi, terutama anak-anak eks Timtim. Mestinya kecintaan itu bisa terungkap dalam berbagai hal, tidak hanya menyangkut aksi membela negara secara fisik.
Victorino Fahik Marshal, ayah Joni Kala Marshal, mengatakan, tidak ada yang istimewa dari empat putranya, termasuk Joni Kala Marshal. Hanya mereka semua selalu dinasihati untuk tetap tinggal di perbatasan RI. Mereka diajari untuk bekerja keras, menafkahi hidup sendiri. Salah satu di antaranya belajar yang rajin, disiplin, dan tekun.
”Kalau mereka ingin melihat saudara-saudara di Timor Leste, silakan berangkat ke sana tetapi tidak harus menjadi warga Timor Leste. Di sini lebih aman. Kita cari makan bebas, tidak ada yang mengganggu,” kata Victorino didampingi istrinya Lorensa Kama.
Penjabat Gubernur NTT Robert Simbolon dan sejumlah unsur pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Provinsi NTT, menerima Joni Kala di rumah jabatan gubernur NTT di Kupang, Rabu (22/8/2018), seusai Joni Kala bertemu Presiden Joko Widodo dan sejumlah pejabat di Jakarta. Simbolon mengungkapkan rasa kagum atas Joni Kala yang heroik dan pemberani sebagai seorang bocah SMP yang ia tunjukkan di saat-saat genting.
”Saya kagum pada sikap heroikmu Joni. Pada saat genting, kamu mengambil keputusan yang tepat. Tetap bersemangat untuk belajar, berjuang, dan meraih cita-cita yang lebih heroik lagi,” kata Simbolon.
Saya kagum pada sikap heroikmu Joni. Pada saat genting, kamu mengambil keputusan yang tepat. Tetap bersemangat untuk belajar, berjuang, dan meraih cita-cita yang lebih heroik lagi.
Simbolon mengajak semua OPD memberikan dukungan kepada Joni Kala atas prestasi itu. Secara spontan terkumpul dana Rp 25 juta dari para unsur pimpinan OPD provinsi untuk disumbangkan kepada Joni Kala, di samping janji Pemprov NTT memberikan beasiswa kepada Joni Kala sampai S-1 di perguruan tinggi apa saja sesuai pilihan Joni Kala.
Atas prestasi itu, Joni Kala berhasil mengumpulkan sekitar Rp 200 juta, di samping rumah dari Presiden Joko Widodo dan sejumlah hadiah lain, termasuk janji beasiwa sampai perguruan tinggi.
Namun, bantuan demi bantuan yang diperoleh Joni mendapat tanggapan beragam dari masyarakat Silawan. Markus Ose (45), tokoh masyarakat Silawan, mengatakan, bantuan itu tidak hanya fokus pada Joni Kala, tetapi seluruh masyarakat Desa Silawan, yang berdiam di perbatasan Motaain-Batu Gade, Timor Leste.
Agustinho Araujo (54), warga Silawan, mengatakan, sebaiknya semua anak di perbatasan memdapatkan perhatian serupa dari pemerintah. Anak-anak berprestasi diberikan beasiswa sampai perguruan tinggi oleh pemerintah, tidak hanya Joni Kala.
Tokoh masyarakat Timor Timur yang juga mantan anggota DPRD Timtim (1994-1999), Armindo Soares, mengatakan, anak-anak di perbatasan RI-Timor Leste, termasuk anak eks Timtim, memiliki semangat dan daya juang tinggi. Mereka kalah bersaing di bidang pendidikan karena kemampuan orangtua terbatas. Mereka sebenarnya memiliki cita-cita tinggi seperti mayoritas anak Indonesia.
”Ada ratusan bahkan ribuan anak eks Timtim yang berdiam di Timor Barat bersama orangtua, seperti di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Malaka, Belu, dan Timor Tengah Utara, tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Rata-rata orangtua pekerja serabutan sehingga sangat sulit menyekolahkan anak sampai ke perguruan tinggi, bahkan sekolah menengah saja sulit,” kata Soares.
Warga eks Timtim itu berprofesi sebagai petani, tetapi mereka tidak memiliki lahan untuk bertani. Beberapa di antara mereka terpaksa menjadi petani penggarap, terutama di lahan basah. Namun, hasil yang diperoleh tidak seberapa. Untuk makan sehari-hari saja tidak cukup.
Ratusan anak eks Timtim memilih menjadi tukang ojek, dorong gerobak di pasar, petani penggarap lahan kering, buruh bangunan, dan kerja serabutan lain. Sangat jarang mereka melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
Antonio da Costa, warga Tuapukan, Desa Oebelo, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang, mengatakan, jangankan memiliki lahan garapan. Hak untuk mendapatkan raskin, bantuan langsung tunai, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar saja sangat diskriminatif.
”Kami di sini sebagai warga kelas dua. Teman-teman dari Timtim yang berdiam di Belu, Malaka, Timor Tengah Utara, mendapat perlakuan yang sama dengan penduduk lokal. Tetapi di Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan, kami diperlakukan tidak sama dengan penduduk lokal oleh aparat pemerintah desa,” kata da Costa.
Ia bersama sejumlah warga eks Timtim di Tuapukan berencana pulang ke Timor Leste setelah anak-anak mereka selesai mengikuti pendidikan dasar di Desa Oebelo. Sebanyak 10 kepala keluarga sudah mendaftar di Yayasan CIS Timor untuk dipulangkan ke Timor Leste.