Memburu Peluang Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung membuka jalan pertumbuhan properti di sejumlah kawasan yang dilalui. Namun, peluang itu juga menghadapi tantangan lesunya daya beli. Dibutuhkan kerja ekstra semua pihak untuk memaksimalkan kesempatan tersebut.
Di atas jalan berdebu dan berlubang di Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (30/7/2018), sejumlah truk pengangkut tanah melaju pelan menuju lokasi proyek pembangunan kawasan Summarecon Bandung. Suasana itu menjadi gambaran awal peluang pertumbuhan properti di kawasan yang berdekatan dengan lokasi pembangunan transit oriented development (TOD) kereta cepat Jakarta-Bandung di Tegaluar, Kabupaten Bandung.
Selain perumahan, Summarecon Bandung juga akan membangun kawasan perkantoran dan industri kreatif. Pengembangan kawasan itu diharapkan menjadi bagian dari rencana menghadirkan pusat perekonomian baru di wilayah Bandung timur. Tidak hanya itu, Gedebage dan sekitarnya juga akan dimanfaatkan untuk lokasi kantor pemerintahan dan pendidikan meski target pastinya belum terang hingga sekarang.
Proyek Summarecon menjadi bagian Bandung Teknopolis yang digagas Pemerintah Kota Bandung. Kawasan ini diproyeksikan menjadi kota masa depan. Terletak di pinggiran Kota Bandung, Gedebage masih menyisakan sejumlah bidang lahan terbuka sehingga memungkinkan dibangun properti. Sementara, kawasan lain relatif lebih padat dan kontur tanahnya kurang mendukung.
Perencanaan pengembangan jangka panjang di beberapa sektor membuat Gedebage semakin strategis. Hal itu dapat memicu pembangunan infrastruktur lainnya sebagai dampak kawasan yang semakin sibuk dan padat.
Saat ini, di Gedebage terdapat stadion bertaraf internasional Gelora Bandung Lautan Api yang berkapasitas 38.000 kursi. Kawasan Gedebage juga berdekatan dengan tempat strategis lainnya, seperti Markas Kepolisian Daerah Jabar dan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
Terkait akses, Gedebage dapat dijangkau melalui Jalan Soekarno-Hatta yang berstatus jalan nasional. Gedebage juga bersebelahan dengan Tol Padalarang-Cileunyi di sisi selatan. Kehadiran TOD kereta cepat di Tegaluar menambah pilihan transportasi menuju Gedebage sebab jarak kedua lokasi tidak sampai 5 kilometer.
Sekretaris Daerah Jabar Iwa Karniwa mengatakan, pengembangan kawasan membutuhkan dukungan akses transportasi terintegrasi. Untuk itu, TOD kereta cepat di Tegaluar akan dihubungkan dengan delapan stasiun kereta ringan di Bandung Raya yang meliputi Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Sumedang.
”Harus terjadi konektivitas antarmoda transportasi. Saat ini kami sudah menyurati Kementerian Perhubungan untuk mendapatkan izin trase kereta ringan tersebut,” ujarnya di Kota Bandung, Kamis (2/8/2018).
Menurut Iwa, proyek kereta cepat berpotensi membuat geliat ekonomi di kawasan Bandung timur semakin bergairah. Apalagi terjadi kolaborasi pengembangan kawasan antara pemerintah dan investasi swasta.
Investasi itu diprediksi berdampak pada pertumbuhan properti. Sebab, kebutuhan properti cenderung sejalan dengan semakin ramainya dan mobilitas masyarakat di suatu kawasan.
”Oleh sebab itu, Tegaluar dan Gedebage berpotensi menjadi pusat perekonomian baru dan diharapkan turut menyejahterakan masyarakat sekitarnya,” ucapnya.
Pembangunan perumahan skala kecil juga mulai terlihat di Tegaluar. Selain itu, beberapa bidang tanah di lokasi permukiman dan sawah banyak ditawarkan untuk dijual.
Mukhlis (38), warga Tegaluar, mengatakan, sejak tiga tahun terakhir, banyak warga menjual lahannya. Tak hanya dampak ganti rugi lahan karena menjadi trase kereta cepat, tetapi juga dijual kepada beberapa pengusaha properti.
”Informasinya akan digunakan untuk membangun perumahan. Namun, sebagian besar belum dieksekusi (dibangun perumahan). Beberapa warga juga memilih pindah setelah menerima ganti rugi,” ucapnya.
Lesu
Ketua Dewan Pengurus Daerah Real Estate Indonesia Jabar Joko Suranto tak memungkiri pembangunan proyek strategis, seperti kereta cepat, akan membuka peluang tumbuhnya sektor properti. Namun, sejumlah tantangan juga harus dihadapi pihak pengembang yang ingin membangun di kawasan itu.
”Asumsinya memang pembangunan infrastruktur akan menjadi peluang bagus untuk sektor properti. Namun, pengembang tidak bisa merealisasikan pembangunan hanya dengan asumsi. Sebab, kondisi perekonomian masyarakat saat ini tengah tidak mudah,” ujarnya.
Joko mengatakan, sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, sekitar 43 juta jiwa, kebutuhan rumah di Jabar masih tinggi. Ini sejalan dengan angka kekurangan rumah atau backlog yang terus meningkat.
”Secara nasional backlog lebih dari 11 juta rumah. Sekitar 30-35 persen berada di Jabar. Namun, ini bukan jaminan bisnis properti gampang tumbuh begitu saja,” ujarnya.
Menurut Joko, kesanggupan daya beli masyarakat sangat berkolerasi terhadap kelangsungan bisnis properti. Persoalannya, lesunya daya beli properti belum juga pulih sejak 2014.
”Misalnya, jika biasanya satu pengembang bisa menjual 10 rumah per bulan, kini hanya 5 unit. Memang tetap ada yang laku, tetapi belum mencapai target penjualan,” ujarnya.
Kondisi itu membuat sejumlah pengembang mengubah orientasi pasar. Mereka fokus membangun hunian dengan harga tertentu agar memudahkan penjualannya. Bahkan, beberapa pengembang rehat membangun untuk sementara waktu.
”Mereka menunggu saat yang tepat untuk kembali membangun karena jika saat ini dipaksakan beroperasi akan kesulitan menjualnya. Kami berharap di semester II-2018 penjualan properti bisa normal lagi,” katanya.
Selain lesunya daya beli, pembangunan properti juga dihadapkan pada kenaikan harga tanah dan proses perizinan. Untuk itu, Joko berharap pemerintah mempermudah perizinan kepada pengembang dalam membangun properti.
”Seharusnya pemerintah menyadari, memenuhi kebutuhan rumah adalah tanggung jawab mereka. Dengan begitu, proses perizinannya bisa dibantu. Kami siap membayar biaya perizinan sesuai ketentuan,” ujarnya.
Dengan proyeksi mengangkut 29.000 penumpang per hari, kereta cepat Jakarta-Bandung bisa menjadi magnet bagi pertumbuhan properti, terutama di sekitar kawasan stasiun. Namun, tanpa kerja sama terintegrasi oleh semua pihak, peluang itu terancam tidak dapat termanfaatkan dengan maksimal.