Mengenang 10 Tahun Perkenalan Waerebo dengan Dunia Luar
Agustus 2008, Kampung Adat Waerebo, Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Selatan, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur diperkenalkan ke dunia luar oleh Yayasan Rumah Asuh, yang bergerak khusus mencari, merawat, dan melestarikan rumah-rumah tradisional di seluruh pelosok tanah air.
Sejak saat itu, Waerebo mengenal dunia luar dan masyarakat luar mengenal Waerebo. Masyarakat kecil Waerebo yang tenggelam dalam keunikan lokal, makin dicintai dan mendapatkan kesejahteraan.
Pendiri dan Pemimpin Yayasan Rumah Asuh Indonesia (YRAI), Yori Antar di Waerebo, Jumat (17/8) mengatakan, sampai Agustus 2008, tidak ada yang kenal tentang Waerebo. Masyarakat berpenduduk sekitar 659 jiwa itu hidup dalam keterasingan dan keterisolasian. Mereka tidak kenal dunia luar.
“Saat itu yayasan ini sedang mencari rumah-rumah adat tradisional di seluruh pelosok tanah air. Kami melihat ada gambar unik dan aneh dari sejumlah rumah adat yang ditemukan di internet. Semua anggota YRAI mencari melalui berbagai media, dan melalui sumber-sumber lisan terpercaya,” kata Yori.
Ternyata rumah berbentuk kerucut dengan atap dari ijuk dan ilalang itu ada di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Setelah tiba di Manggarai pun, tidak banyak warga Manggari tahu tentang Waerebo. Hanya orang tertentu, paham tentang kampung adat tradisional itu, terutama mereka yang berdiam di Desa Satar Lenda, sekitar 85 km arah selatan Ruteng.
Setelah menemukan kampung Waerebo Agustus 2008, Yori kembali ke Jakarta dan mengedarkan foto-foto perjumpaan pertama kali dirinya dan rekan arsitek lain ke dunia luar. Tahun 2011, ia mengajak fotografer senior Harian Kompas, Arbain Rambey mengunjungi Waerebo. Sejak itu Waerebo makin mendunia. Tahun 2013, Waerebo diakui Unesco menjadi salah satu situs warisan dunia.
Pada peringatan perkenalan 10 tahun Waerebo ke dunia luar, digelar upacara bendera di pelataran kampung Waerebo, diikuti 68 arsitek nasional yang tergabung dalam Yayasan Rumah Asuh Indonesia, 60 karyawan pajak dari Kantor Wilayah Pajak Nusa Tenggara, turis-turis asing, dan lokal. Sekitar 200 pengunjung mengikuti upacara hari itu.
Pendiri dan Ketua Yayasan Rumah Asuh Yori Antar mengatakan, Flores terutama Waerebo menjadi ikon restrukturisasi kampung atau dusun adat di tanah air. Melalui Waerebo orang belajar bagaimana menghargai budaya sendiri dengan segala kearifan lokal di dalamnya. Jati diri suatu suku bangsa terletak pada bagaimana masyarakat itu menghargai, mengakui, dan menjalani budaya sendiri, tanpa harus menerima kemajuan dari luar.
“Wairebo adalah jendela untuk melihat dunia luar. Banyak kearifan lokal yang bisa dipelajari dari Waerebo terutama gotong royong dalam semua hal. Sikap gotong royong sebagai warisan budaya bangsa, hampir punah di kalangan masyarakat karena masuknya modernisasi,”kata Yori.
Gotong royong terlihat jelas di kalangan masyarakat Waerebo saat membangun rumah, mengerjakan jalan setapak, atau bekerja di ladang. Hal lain yang dipelajari dari Waerebo adalah kearifan lokal masih kuat dipertahankan terutama proses membangun rumah adat.
Angga dari Yayasan Rumah Asuh yang berperan sebagai inspektur upacara pada peringatan HUT Kemerdekaan itu mengatakan, kekuatan tradisi lokal mencerminkan keaslian masyarakat di suatu daerah. Waerebo telah merawat, menjaga, dan mempertahankan tradisi lokal, warisan leluhur dari generasi ke generasi.
Ketua Adat Waerebo Aleksander Ngadus mengatakan, sangat sulit mempertahankan Waerebo dari gempuran modernisasi. Tetapi berkat dukungan semua pihak, terutama YRAI, Indocon, Pemda, dan para turis pencinta budaya Waerebo membuat masyarakat Waerebo makin kuat berdiri di atas adat dan tradisi lokal, warisan leluhur.
“Kami mohon maaf kepada para pengunjung atas penerimaan yang kurang memuaskan kepada para tamu yang datang mengunjungi kami. Terutama salah seorang tamu dari kantor pajak yang mengalami luka lecet di kaki karena terpeset dan jatuh saat mendaki menuju kampung ini. Semua kekurangan dan keterbatasan, terus kami catat dan kami perbaiki atau tingkatkan di masa yang akan datang, dengan tetap mengedepankan keunikan-keunikan lokal,”kata Ngadus.
Dihadapan para peserta, Ngadus berjanji akan tetap mempertahankan budaya dan tradisi lokal Waerebo. Rumah Gendang dengan tanduk kerbau di atasnya, sebagai lambang kekuatan dan keutuhan Waerebo masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Waerebo tidak akan berubah wajah dan tradisi lokal.
Pengunjung yang datang ke Waerebo, Kamis (16/8) untuk merayakan HUT Kemerdekaan RI di Waerebo Jumat (17/8) sekitar 200 orang. Mereka menginap pada tujuh unit rumah adat di kampung itu. Semua pengunjung, turis lokal dan mancanegara sama –sama merasakan tidur malam di dalam satu ruangan bersama.
Semua menikmati makanan dan minuman dari satu wadah yang sama, menikmati rasa dingin yang sama, menggunakan bantal dan selimut yang sama hanya beda warna, sama-sama antre di kamar mandi, dan sama-sama berfoto ria di pelataran rumah adat Waerebo.
Upacara bendera di Waerebo pun terkesan unik. Bendera sudah diikatkan pada tiang berukuran sekitar 7 meter, dibawa oleh dua orang, kemudian diserahkan kepada tujuh pria dewasa yang sudah siap berdiri jajar di tangga dari satu tiang bambu. Bendera itu dioper dari tangan ke tangan orang yang berdiri di sepanjang atap rumah menuju bubungan atap tertinggi. Bendera akhirnya sampai pada orang paling terakhir di puncak rumah. Orang terakhir itu menancapkan bendera berukuran 7 meter itu di bubungan atap paling tinggi.
Bendera pun berkibar, lagu "Indonesia Raya" dinyanyikan, dilanjutkan dengan lagu "Berkibarlah benderaku". Semua peserta bersikap hormat termasuk turis asing yang hadir.
Selain itu dinyanyikan pula lagu kebangsaan, "Padamu Negeri", dan lagu "Gugur Bunga". Ratusan siswa SD dan SMP diundang merayatakan peringatan perkenalan Waerebo dengan dunia luar.
Peringatan 10 tahun Werebo diperkenalkan ke dunia luar, 17 Agustus 2018, sebagai titik awal pengelolaan kampung-kampung adat di sejumlah daerah di Indonesia. Waerebo sebagai "pilot project
Yayasan Rumah Asuh telah menata 18 kampung adat di seluruh provinsi di Indonesia, selain Waerebo, NTT, juga ada di Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan, Papua, Sumatera Utara dan Riau, Tarung di Sumba Barat, dan terakhir di Kampung Adat Gurusina di Ngada. Yayasan Rumah Asuh akan membangun kembali beberapa rumah adat dari total 27 rumah adat yang terbakar di Gurusina, Senin (13/8).